Setelah arisan yang diadakan bersama teman-teman seangkatan alumni SMA berjalan lancar selama empat bulan, salah seorang teman mengirim pesan di grup WhatsApp, “Uangmu sepertinya banyak sekali ya, Gus! Bayar arisannya selalu tepat waktu.” Dan saya hanya membalas singkat, “Alhamdulillah.”
Tujuan arisan ini diadakan agar grup WhatsApp kami nggak sepi-sepi banget, silaturahmi tetap terjalin, dan supaya bisa membawa kemaslahatan untuk kami semua. Karena sekalinya grup WhatsApp kami ramai, yang dibicarakan hanya gibah-gibah unfaedah. Begitu kiranya kesimpulan yang saya tangkap dari usulan teman-teman setelah program arisan ini diketuk palu.
Mulanya saya khawatir, apakah saya mampu mengikuti arisan ini tanpa menunggak mengingat saya sudah tidak lagi bekerja selama setengah tahun lebih. Sedangkan uang tabungan dari hasil kerja saya di tempat sebelumnya semakin berkurang setiap harinya.
Sebelum arisan berlangsung pun saya sudah menyampaikan kekhawatiran ini kepada seorang teman yang bertanggung jawab sebagai koordinator. Dia meyakinkan saya, “Rezeki sudah ada yang mengatur.” Belum sempat saya merespons, dia melanjutkan, “Anggap saja ini bagian dari menabung daripada nanti uangmu habis dipakai yang bukan-bukan.”
Saya sepakat dengan apa yang disampaikannya di awal, tapi untuk yang berikutnya saya kurang sreg. Sejak dulu, saya ini orangnya sudah rajin menabung, jadi tanpa mengikuti arisan pun sebetulnya saya tetap bisa menabung. Dan itu bukti kalau uang yang saya miliki selama ini tidak pernah dipakai untuk yang bukan-bukan. Setelah melakukan perenungan dalam hitungan detik, akhirnya saya putuskan mengikuti arisan tersebut. Alasannya sederhana: demi kebersamaan.
Tidak seperti biasanya di mana para peserta arisan berkumpul bersama di satu tempat, lalu sedari awal masing-masing nama ditulis di kertas yang sudah disobek dengan ukuran yang sama, dimasukkan ke dalam stoples atau kaleng, lalu dikocok setiap minggu atau bulannya sampai keluar satu nama sambil disaksikan oleh semua peserta.
Arisan yang kami adakan ini justru punya cara main yang unik. Kami tidak perlu meluangkan waktu untuk berkumpul bersama, kami hanya perlu menunggu di tempat kami masing-masing sambil memantau grup WhatsApp siapa yang belum membayar dan siapa yang giliran mendapatkan arisan.
Tetapi, sebetulnya kami semua sudah tahu siapa yang akan mendapatkan giliran untuk menerima uang arisan di setiap akhir bulan. Sebab, sejak hari pertama arisan ini disahkan, semua nama peserta sudah diundi oleh koordinator sambil divideokan dan dibagikan ke grup WhatsApp. Saya sih percaya saja. Toh semuanya akan dapat giliran, hanya bulannya saja yang bergantian.
Dan saya, entah kebetulan atau tidak, kebagian di akhir. Ya, paling akhir, setelah setiap peserta mendapatkan gilirannya. Tidak ada perasaan senang, sebal, atau apa pun itu, bagi saya tetap biasa saja. Hitung-hitung menabung. Lebih tepatnya, memindahkan sebagian isi tabungan dari rekening saya ke rekening milik koordinator arisan. Dan ketika saya mendapat giliran, uang itu kembali lagi ke rekening saya. Memang tampak seperti pekerjaan yang sia-sia. Pun buang-buang waktu dan energi. Meski begitu, saya tetap mengikuti arisan ini, alasannya sederhana—saya ingatkan lagi: demi kebersamaan. Huft~
Di bulan pertama sampai keempat, saya membayar arisan setiap bulan. Bahkan sebelum tenggat waktu yang sudah ditentukan. Namun di bulan berikutnya, saya lunasi semuanya. Sehingga setiap bulan saya tidak perlu transfer-transfer lagi. Toh saya kebagian di akhir.
Hal itu saya lakukan, selain karena tabungan yang cukup, juga karena alasan lain. Yakni, saya berprinsip bahwa arisan itu semacam utang piutang. Jika uangnya sudah cukup, maka harus disegerakan, tidak boleh ditunda-tunda. Harus lekas dibayar. Terlebih, arisan itu melibatkan banyak orang. Kan kasihan kalau ada yang sudah dapat giliran, tapi masih ada yang belum bayar. Jumlah yang diterimanya jadi tidak sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Dan saya tidak mau jadi orang yang menyebabkan demikian.
Lagi-lagi, rasa cemas memang selalu membayangi. Muncul pertanyaan semacam, “Jika sebagian besar tabungan ini saya gunakan untuk membayar arisan sampai akhir, apakah di bulan berikutnya saya masih bisa makan? Sedangkan saya sendiri tidak tahu kapan saya akan dapat pekerjaan untuk mengganti isi tabungan yang terus berkurang ini, atau minimal bisa makan tanpa mengganggu isi tabungan.”
Namun, saya tetap berpegang teguh pada prinsip tadi, yakni mengikuti arisan sama seperti utang piutang, jika uangnya sudah ada maka harus segera dibayar. Prinsip lainnya lagi adalah rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Pemberi. Dan sepengetahuan saya, menunda-nunda pembayaran utang akan menghambat lancarnya rezeki kita. Begitu juga sebaliknya, semakin disegerakan, semakin cepat rezeki yang akan datang kepada kita.
Ternyata, eh ternyata, keyakinan saya terhadap prinsip tersebut tidak keliru sama sekali, lantaran di bulan keenam mengikuti arisan, saya mendapatkan tawaran kerja dari seorang teman lama. Teman yang saya ceritakan di artikel sebelumnya. Alhasil, tabungan bukannya habis, tapi justru malah bertambah karena hari ini adalah hari pertama saya menerima gaji. Alhamdulillah wa syukurillah.
BACA JUGA Arisan Beda dengan Menabung, Jangan Salah Paham! atau tulisan Agus Dhiki Saputra lainnya.