Kita pernah terperangah ketika seorang penceramah yang sangat dihormati, sebut saja AG, menyebut istrinya “turun mesin”. Maksud dari istilah ini yakni sudah pernah melahirkan (tapi konteksnya merendahkan). Bagi sesama perempuan, terutama yang mengenal atau ngefans dengan istri AG, perkataan tersebut sangat menyakitkan.
Faktanya, menggunakan istilah-istilah otomotif untuk menyebut hal-hal terkait dengan seks dan seksualitas itu seolah sudah dinormalisasi di keseharian. Biasanya, ini terjadi di kalangan sesama laki-laki. Dalam tata bahasa, disebut peyoratif. Tapi, dari perspektif gender, ini bisa dikategorikan seksis bahkan kekerasan verbal.
Selain “turun mesin”, berikut beberapa istilah lain yang biasanya muncul dalam percakapan:
- Bemper depan: payudara
- Bemper belakang: bokong
- Cuci busi: berhubungan seks
- Ganti oli: onani
- Onderdil: alat kelamin
- Kuat nanjak: stamina cukup kuat untuk posisi man on top (MOT) atau dikenal juga dengan istilah misionaris
Istilah yang paling sering kita dengar, sih, “bemper”. Pernah menyaksikan perempuan seksi yang melintas di depan sekelompok laki-laki dan mendapat cat calling atau siulan? Perilaku tak terpuji tersebut sering kali diikuti dengan kode-kode memakai istilah bemper (depan, belakang, atau keduanya sekaligus). Dan konteksnya tentu saja kurang ajar.
Istilah-istilah tersebut juga diucapkan oleh laki-laki dari berbagai kalangan. Tak memandang status sosial dan latar belakang pendidikan (termasuk usia dan citra kesalehan). Lantaran penasaran, untuk mengetahui alasan istilah otomotif dipakai ketika membicarakan tentang seks dan seksualitas, saya mengobrol dengan 4 orang laki-laki dengan latar belakang yang berbeda.
Habdi, 46 tahun, engineer
“Saya nggak pernah menyebut istilah itu untuk ke istri. Nggak tega, lah, masa ibunya anak-anak dibilang ‘turun mesin’, saya masih punya hati.”
“Kalau ke cewek-cewek lain, iya. Maklum nggak semua cewek baik-baik. Mereka sepertinya senang disebut punya ‘bemper’ yang besar karena itu modalnya mereka. Tapi, saya bukan laki-laki yang suka jajan, takut penyakit. Ikut-ikut teman saja cari hiburan, karaoke ditemani cewek. Kalau nggak mau ikut nanti disangka takut istri, harga diri saya bagaimana.”
“Nggak usah diambil hati kalau dengar istilah otomotif disebut begitu sama laki-laki buat perempuan. Ini bahasa kode saja, kalau disebut terang-terangan malah nggak sopan.”
Yono, 51 tahun, driver
“Saya ini, kan, punya anak, Mbak. Sudah ABG. Kalau ada yang ngomong begitu ke anak saya pasti sakit hati rasanya.”
“Memang saya pernah bilang ‘turun mesin’ dan ‘kuat nanjak’, zaman dulu masih muda, Mbak. Ke istri sendiri nggak pernah.”
“Pekerjaan saya ini kan sopir. Dulu malah serabutan jadi sopir cabutan bus antar provinsi juga pernah. Jauh dari istri susah nolak godaan di jalan, namanya laki-laki ada kebutuhannya, ada uangnya. Yang penting masih ingat nafkah buat anak istri. Istilah otomotif itu urusan laki-laki, wajar kalau pakai istilah otomotif ngomong urusan laki-laki di luar rumah. Perempuan nggak perlu tahu. Di luar rumah, laki-laki itu bujangan semuanya. Tapi ini pas saya masih muda. Sekarang sudah nggak kuat. Nanti istri curiga.”
Sugeng, 29 tahun, teknisi
“Ya, pasti pernah, hahaha. Waktu masih sekolah di STM aja sudah akrab sama istilah-istilah itu. Waktu masih sekolah belum kenal perempuan, saya anak baik-baik. Tapi namanya anak muda ‘ganti oli’ wajar. Biasa saja di kalangan teman laki-laki, waktu nongkrong di bengkel. Mulai tahunya istilah-istilah ini waktu sering nongkrong di bengkel modif motor. Anak balap liar saya dulu, hahaha.”
“Itu bahasa laki-laki saja. Biar perempuan nggak marah atau sakit hati. Otomotif urusannya laki-laki, perempuan nggak tahu. Makanya pakai istilah itu. Ya, nggak enak menyebut langsung, perlu disamarkan biar lebih halus dan rahasia.”
“Wah, kalau ke ibu, kakak perempuan, dan istri, nggak berani. Bisa panjang urusannya kalau ketahuan. Pas ngobrol sama teman saja. Cerita-cerita pengalaman atau curhat gitu, lah. Biar orang lain nggak tahu kami ngobrol soal apa, malu juga, hahaha.”
Surya, 36 tahun, senior officer
“Biasa saja, lah. Buat laki-laki motor dan mobil itu penting. Ya, kira-kira sama seperti perempuan. Makanya ada yang ngasih nama perempuan ke motor atau mobil kesayangannya. Kebetulan juga otomotif punya istilah yang pas. Coba soal komputer atau teknologi mesin, kan tidak ada yang pas buat menggambarkan soal pribadi begini.”
“Memang ada yang pakai istilah begitu karena tidak menghormati perempuan. Tapi jangan dipukul rata semua laki-laki bermaksud begitu, dong. Males juga sebut langsung pakai istilah yang sebenarnya, terlalu blak-blakan.”
“Perempuan juga pakai bahasa salon yang kebanci-bancian. Apa bedanya dengan istilah otomotif ini? Jangan dibikin persoalan besar lah, cuma istilah.”
***
Ada beberapa hal menarik dari obrolan dengan ke-4 laki-laki yang akrab dengan istilah-istilah otomatif untuk menjelaskan soal seks dan seksualitas tersebut.
Pertama, mereka memakai istilah tersebut setelah mendengar dari teman di pergaulan. Kedua, sama-sama risih jika menyebut istilah yang sebenarnya. Ketiga, mengaku tidak pernah memakai istilah tersebut ke perempuan-perempuan yang dikasihi dan dihormati. Keempat, menyebut istilah-istilah tersebut sebagai kode dan bahasa gaul. Kelima, memandang otomotif sebagai areanya laki-laki. Keenam, merasa tak perlu membicarakan seks pada pasangannya dan lebih nyaman membahas dengan teman sesama laki-laki (karena itu pakai kode). Ketujuh, tidak menganggap istilah-istilah tertentu seksis dan masuk dalam kategori kekerasan verbal.
Temuan yang ketiga dan ketujuh adalah yang paling menarik. Jika istilah otomotif tersebut dianggap lebih sopan, kenapa tidak memakainya untuk perempuan yang dikasihi dan dihormati?
Dari keempat orang di atas tidak ada yang menjawab dengan gamblang. Mereka menjelaskan istilah seperti ini hanya urusan sepele saja, tidak perlu dibahas. Istilah tersebut sudah umum di pergaulan, sudah tahu sama tahu. Padahal, mau diakui atau tidak, beberapa istilah tersebut dimaksudkan sebagai ejekan. Misalnya saja soal “turun mesin” yang bisa dikategorikan sebagai seksis dan kekerasan verbal.
Memakai bahasa sebagai tanda, simbol, dan ekspresi memang hak setiap orang. Namun, kita juga perlu memenuhi hak konstitusional, khususnya perlindungan diri, kehormatan dan martabat (Pasal 28 G Ayat 1), dan bebas dari diskriminasi (Pasal 28 I Ayat 2).