Setelah libur cukup lama, akhirnya ngaji rutinan malam Jumatan di masjid desa kembali digelar. Malam itu, kebetulan, yang ngisi kajian adalah ahli ibadah, Kiai Asmuni, sebagai sesepuh desa yang pitutur luhurnya selalu jadi pengiling buat masyarakat setempat. Di antara yang hadir dalam kajian malam itu adalah sepasang kawan baik; Kang Salim dan Misbah yang sedari awal tampak khusyuk menyimak dawuh demi dawuh yang disampaikan Kiai Asmuni.
“Materinya bosenin eee, Kang. Kajian yang dibawakan Kiai Asmuni itu saya udah sering denger pas masih di pesantren dulu.” Keluh Misbah selepas kajian, ketika dia dan Kang Salim masih asik rebahan di pelataran masjid sambil telanjang dada, menikmati semilir angin yang sejuk luar biasa
“Jadinya nggak ada spesial-spesialnya sama sekali,” lanjut Misbah. “Malah saya ngerasa ada beberapa hal yang menurut saya kok nggak pas gitu sama apa yang saya pelajari dan pahami dulu di pesantren.”
“Terus maksud kamu, karena yang dijelasin sama ahli ibadah Kiai Asmuni dan pemahamanmu itu berseberangan, lantas versimu yang paling bener gitu ta?” Jawab Kang Salim sehabis menyulut batang kreteknya. “Terus versinya Kiai Asmuni harus direvisi pakai pemahamanmu sebagai yang kamu anggap paling bener?”
“Harusnya sih gitu, Kang,” jawab Misbah kelimpungan.
“Gini, Mis, kamu mengklaim versimu udah yang paling bener dan versi Kiai Asmuni kurang begitu pas. Sementara, Kiai Asmuni pasti juga ngerasa bahwa yang dia sampaiin juga udah yang paling bisa dipertanggungjawabkan, Mis.” Kang Salim memberi jeda buat menghisap kretek sekaligus agar Misbah punya waktu buat merenung.
“Kamu mengklaim sumbermu paling autentik karena berasal dari pesantren dan mengutip dari kitab induknya langsung. Loh jangan salah, Kiai Asmuni juga bisa melakukan pembelaan dengan nunjukin rekam jejaknyanya selama nyantri puluhan tahun. Nunjukin sanad keilmuannya, nunjukin kitab-kitab referensinya, nunjukin hujjah-hujjah ulama lain. Pertanyaannya, Jika kamu ngerasa lebih bener atas Kiai Asmuni, begitu juga Kiai Asmuni pasti ngerasa versinya udah yang paling kredibel, lantas siapa atau mana yang bener-bener bener?”
Misbah tampak makin kelimpungan. Lama dia berpikir sambil garuk-garuk kepala, dan jawaban berikut yang terlontar, “Saya tahu maksud sampeyan mau bilang, kalau kedua-duanya punya potensi kebenaran. Versi saya ada benernya, versi Kiai Asmuni pun demikian. Iya, tho?” Kang Salim mengangguk mantap.
“Kalau sama-sama benernya, berarti nggak ada yang paling bener, gitu kan, Kang, maksud sampeyan?” Kang Salim kembali hanya mengangguk. “Berarti nggak ada kebenaran sejati dong, Kang, kalau gitu. Kalau nyatanya juga ada banyak versi kebenaran yang bertebaran di muka bumi.”
“Mis, gini, sumber dari segala sumber kebenaran itu kan Al-Quran. Kitab rujukanmu dan rujukan Kiai Asmuni ujung-ujungnya juga bersumber dari Al-Quran. Nah, analoginya, Al-Quran itu ketela, Mis.”
“Hah, ketela? Maksudnya, Kang?”
“Iya ketela. Ketela itu, kan, bisa diolah jadi kripik, tiwul, gorengan, atau yang lain-lain. Pertanyaannya, manakah yang paling ketela di antara jenis olahan ketela tersebut? Apakah kripik yang lebih layak dianggap ketela? Atau justru tiwul yang lebih memenuhi syarat disebut sebagai ketela? Atau jangan-jangan nggak ada yang paling ketela, alias semuanya ya emang ketela? Hanya olahannya saja yang berbeda.”
“Wah ya nggak ada yang paling ketela dong, Kang. Wong semua bahan dasarnya sama-sama dari ketela, kok.”
“Nah, itu dia jawabannya. Al-Quran juga gitu, Mis. Al-Quran itu bahan dasar, sementara tafsir-tafsir, mazhab-mazhab, atau pemahaman orang yang beragam versi itu adalah olahan semata, kripik, tiwul, atau gorengan. Jadi, siapa yang paling Al-Quran? Siapa yang paling bener? Nggak ada. Wong semuanya bersumber dari sana.”
“Terus, gimana dong cara saya nyikapin perbedaan versi antara saya dengan Kiai Asmuni?”
“Open mind, Mis. Apa yang diucapkan Kiai Asmuni kalau itu ada baiknya ambil saja. Kalau ada nggak cocoknya sama pemahaman kamu, ya bukan berarti itu salah dan kamu punya hak buat nyalah-nyalahin beliau. Itulah kebenaran sejati. Kebenaran itu juga soal pengalaman spiritual masing-masing yang jelas berbeda antara satu dengan yang lain, Mis.”
“Oh, kayak misalnya, nih, pas saya minum kopi ternyata pahit bagi lidah saya. Tapi ternyata kopi tersebut justru manis di lidah sampeyan. Saya nggak bisa maksain klaim bahwa yang bener adalah kopi itu pahit, begitu juga sampeyan nggak bisa serta merta maksain kalau yang bener kopi itu manis. Eh, gitu nggak sih, Kang?”
“Mashok itu, Mis. Gampang dipahami.”
Keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat. Setelah menuntaskan isapan kretek terakhirnya, Kang Salim kembali berucap, “Saya baru inget, ternyata bener juga apa kata Rumi dan Syekh Ibnu Athaillah, kalau kepintaran, kealiman, kesalehan, dan kezuhudan, di titik tertenu emang bisa jadi tabir yang menutupi dan menjauhkan seorang hamba dari Tuhan. Semakin pinter, alim, saleh, atau zuhud seseorang, justru semakin jauh dia sama Gusti Allah.”
“Loh, kok bisa, Kang? Bukannya kalau pinter dan alim itu bisa makin deket sama Gusti Allah karena dia tahu ilmunya. Saleh dan zuhud bisa tambah deket sama Gusti Allah karena orientasi hidupnya cuma buat ibadah thok.”
“Buktinya barusan itu, Mis. Dengan kepintaran yang kamu miliki kamu jadi sombong, ngerasa lebih tahu dan lebih bener dari Kiai Asmuni. Ahli ibadah juga bisa sombong ketika ngerasa dirinya lebih dekat sama Gusti Allah, sementara yang lain dianggep nggak. Alhasil suka ngerendahin orang lain, ngerasa diri paling superior, ngerasa diri udah yang paling surgawi. Nah, sikap sombong dan ngerasa ‘paling-paling’ ini kan Gusti Allah nggak demen tuh. Akhirnya malah dijauhin.”
“Eh iya juga sih, Kang.” Respons Misbah sambil tersipu, karena ngerasa tersindir.
“Pinter itu harus, Mis. Tapi jangan keblinger alias keminter. Boleh pinter, tapi nggak boleh minteri orang lain. Ada seorang sufi namanya Abu Wahab al-Sya’roni. Ketika dia mau berguru pada seorang wali besar bernama Syekh Ali al-Khawwash dia dikasih syarat, harus bakar semua buku-bukunya. Alasannya, agar ketika sang guru nerangin dia suatu ilmu, al-Sya’roni nggak langsung buka bukunya dan ujung-ujungnya malah kayak kamu tadi. Metode itu akhirnya berhasil bikin al-Sya’roni open mind dan jadi manusia multipersepsi, khazanah keilmuannya luas.”
“Wah, ya berat juga kalau misal saya harus bakar kitab-kitab saya dulu kalau mau dengerin kajian dari kiai-kiai gitu, Kang. Belinya dulu aja empet-empetan og.”
“Nggak gitu juga, Mis. Jadiin alegori aja. Jadi ketika kamu lagi dengerin orang lain maparin suatu gagasan atau wacana kebenaran versinya, kamu harus ‘bakar buku’ yang ada di kepalamu. Dalam artian hanguskan semua pengetahuan yang kamu miliki. Alias memosisikan diri jadi orang yang nggak tahu apa-apa.”
“Dengan gitu, pertama, kamu bakal terhindar dari sikap sombong dan congkak yang justru bakal menjauhkan kamu dari Gusti Allah. Kedua, wawasan kamu bakal nambah karena dapet versi lain dari apa yang kamu pahami sendiri. Yah, tapi nggak bisa dimungkiri sih, pelajaran paling berat emang kesediaan mendengar kebenaran versi orang lain dan menerima perbedaan sudut pandang.”
“Iya sih, Kang. Kita bisanya cuma nyerocos dan harus didengerin sekaligus dibenerin orang. Padahal Gusti Allah nyiptain dua telinga dan satu mulut kan maksudnya biar kita lebih banyak mendengar daripada ngomong,” celetuk Misbah yang disahut derik jangkrik dari sudut-sudut kegelapan. Malam kian larut, sementara dua kawan baik itu masih belum beranjak dari rebahannya.
*Diolah dari ceramah Cak Nun, Gus Mus, dan Gus Ulil Abshar Abdalla.
BACA JUGA Betapa Sumpeknya Orang yang Hidupnya Cuma Nyari Kesalahan dan Keburukan Orang Lain dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.