Kita (harusnya) masih ingat kasus korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara yang tega mengkorupsi dana bantuan sosial pada masa pandemi covid-19 di Indonesia. Tampaknya, orang-orang seperti Bapak tersebut tidak hanya ada di Indonesia. Bahkan ada di Eropa, tepatnya di Ukraina. Di tengah situasi negara yang sedang karut-marut akibat invasi yang dilakukan Rusia, warga Ukraina harus berhadapan juga dengan kasus korupsi yang menerpa negaranya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada dua dugaan kasus korupsi yang sedang diselidiki.
National Anti-Corruption Bureau of Ukraine atau yang biasa disingkat NABU ini adalah KPK yang dimiliki Ukraina. Sebelumnya NABU telah menangkap Wakil Menteri Infrastruktur Vasyl Lozynskyi dengan dugaan suap sebesar 400.000 dolar Amerika Serikat yang diterimanya untuk proyek pengadaan pembangkit listrik. Lozynskyi ditangkap pada tanggal 22 Januari dan diumumkan sendiri oleh NABU.
Sebelumnya kita tahu bahwa warga Ukraina harus tahan dingin dan gelap karena kerusakan pembangkit listrik yang terkena rudal Rusia. Ternyata di balik kesusahan itu masih ada pejabat korup yang masih berusaha memperkaya dirinya sendiri, persis seperti Pak Juliari.
Korupsi pengadaan pembangkit listrik tersebut ternyata hanya salah satu kasus yang diduga terjadi di tengah invasi. Karena media Ukraina berhasil mengendus dugaan kasus korupsi lainnya, kali ini adalah dugaan penggelembungan harga dalam kontrak ransum militer.
Sama seperti di Indonesia, pejabat Ukraina berusaha melakukan mark-up harga-harga yang ada di dalam salinan kontrak tersebut. Apa jangan-jangan mereka terinspirasi Indonesia, ya? Di dalam salinan kesepakatan, harga satuan per butir telur ditulis sebesar 17 hryvnia. Padahal, kalau harga di tokonya cuma sebesar 7 hryvnia per butir. Tidak cuma itu, harga kentang juga berupaya di-mark-up. Dalam Salinan kontrak, harga kentang per kilo ditulis sebesar 22 hryvnia. Padahal, kalau harga di tokonya cuma sebesar 9 hryvnia per kilogram.
Respons pejabat Ukraina yaitu Kementerian Pertahanan juga mirip sekali dengan kelakuan pejabat di Indonesia. Alih-alih mengakui kesalahannya, mereka malah menganggap laporan itu palsu dan merupakan upaya penyesatan. Bahkan mereka meminta agar Badan Keamanan Nasional menyelidiki media yang menerbitkan laporan tersebut.
Kesamaan kasus dan kelakuan pejabat Ukraina tersebut pada akhirnya semakin membuat saya yakin bahwa kayaknya mereka memang benar terinspirasi dengan kejadian di Indonesia. Cuma, apa yang dilakukan oleh pejabat di Ukraina itu tampaknya jauh lebih kejam karena dilakukan di tengah situasi perang yang sedang bergejolak. Kok bisanya mereka tega melakukan itu ditengah warganya yang was-was akan ancaman rudal dan peluru serta banyaknya prajurit yang sudah tewas akibat invasi yang dilakukan Russia.
Akan tetapi, saya sebenarnya tidak terlalu kaget juga ketika mendengar kasus korupsi ini setelah saya mengetahui bahwa Ukraina memang masih memiliki masalah terkait korupsi di negaranya. Bahkan Ukraina berada di urutan 122 dalam laporan indeks persepsi korupsi yang diterbitkan oleh Transparency International, sementara Indonesia memang sedikit lebih baik dengan menduduki peringkat 96.
Sedikit lebih baik, tapi ada Juliari. Wadoooh.
Saya kira korupsi di Eropa bakal dilakukan dengan cara yang lebih elegan. Ternyata masih sama-sama juga dengan Indonesia yaitu dengan main mark-up harga. Kejadian ini juga seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah Ukraina, karena dengan adanya korupsi, berbagai lembaga donor atau filantropis bakal berpikir kembali dalam membantu. Jangan-jangan bantuan yang dikirim bukan untuk membantu rakyat Ukraina, malahan cuma untuk membantu pejabat Ukraina agar lebih kaya di tengah invasi Rusia.
Penulis: Muhammad Arief Bimaputra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mentertawakan Permohonan Bebas Juliari Batubara, si Paling Menderita