Saya agak bisa mendaku diri sebagai salah satu penonton setia Trans7. Saya sudah mengikuti stasiun ini sejak masih menyandang nama TV7. Dan, menurut saya, perubahan yang terjadi pada stasiun televisi tersebut selalu menarik untuk dibahas. Termasuk beberapa acara televisi mereka yang makin mirip budaya KKN masa kini.
Sejak era Medina Kamil hingga sekarang, stasiun televisi ini masih menjadi idola banyak orang, tentu termasuk saya. Meski sudah jarang nonton televisi, Trans7 tetap akan menjadi andalan ketika mau nonton televisi lagi. Dan atas rasa cinta itu, saya ingin sedikit memberi semacam masukan sederhana yang berasal dari lubuk hati terdalam.
Baca halaman selanjutnya….
Masukan untuk stasiun televisi favorit saya
Setelah memaafkan Heru Gundul yang berubah menjadi pria ceroboh dan banyak dialog, saya kira kehadiran anak-anak kota ke desa masih belum memberikan kesenangan yang paripurna. Bahkan hal ini juga menjalar hingga ke Si Bolang.
Mereka konon senang menggali budaya, hobi bersinergi dengan alam, dan seperti tingkah laku bawaan Trans7, yaitu akan “menderita” jika tak masak bersama di alam terbuka. Tingkah acara-acara macam ini justru mengingatkan saya pada budaya KKN yang kerap dianggap adiluhung itu.
Orang kota yang “terpelajar” datang, dan sudah pasti mencoba mengakrabkan diri dengan warga lokal. Di satu sisi ini baik, mana ada yang bilang silaturahmi itu jahat. Tapi, kostum yang warga kenakan, rumah-rumah dan dapur jadul yang ditampilkan, dan logat-logat yang dipaksakan, membuat desa lagi-lagi dipandang dari sisi eksotisnya semata.
Pokoknya harus ketara benar mana yang kota mana yang desa, meski itu semua bukan hal yang nyata. Romantisme desa di acara-acara tersebut sangat dibuat-buat, tidak natural. Dear Trans7, Hal ini makin menguatkan sebuah pandangan jika desa hanyalah semacam tempat yang seharusnya lawas, full alam, tertinggal, dan punya jarak nan jauh dengan kota dan terkadang KKN menegaskan hal itu.
KKN masa kini di mata saya
Iya, seperti KKN yang kerap menjadikan desa sebagai kawasan untuk mahasiswa menyatu dan turun langsung ke masyarakat. Mereka mengaku belajar, namun yang lebih kerap terjadi adalah menciptakan jarak.
Dear Trans7, ini aneh, dan sudah pasti salah. Bukankah menjadi seorang mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat juga? Jika menjadi pelajar dan belajar di perguruan tinggi tak dianggap sebagai bentuk kegiatan atau menyatu dengan masyarakat, lalu mereka itu ngapain?
Atau jangan-jangan, ada sebuah pandangan bahwa mahasiswa adalah makhluk yang lebih tinggi dari masyarakat desa, sehingga mereka perlu turun. Wah, gawat kalau begitu.
Jangan menjauhkan mahasiswa dari desa
Memang, menjadi mahasiswa bisa dianggap sebagai sebuah privilese. Namun, tak bisa juga menjauhkan mahasiswa dari masyarakat desa. Seperti para host khas anak kota itu, yang datang dengan segala keurbanannya, dan warga harus mau menjadi sedesa mungkin, selawas mungkin, dan sesederhana mungkin.
Tak ubahnya para warga desa di dunia nyata yang harus mau mendengar dan bersabar menyimak penyuluhan tetek bengek perihal hal-hal yang mereka sudah tahu keluar dari mulut para mahasiswa itu. Dear Trans7, mereka harus mau berpura-pura tak tahu dan merendah demi para tamunya itu.
Apalagi saat ada kegiatan bikin papan penunjuk jalan, yang sudah pasti tak guna. Padahal warga sudah tahu dan hafal daerahnya sendiri. Kaca mata mereka soal desa ala FTV di Trans7, mau tak mau membuat KKN sangat cocok untuk dihilangkan.
Tentu tak semua yang mengikuti KKN punya pandangan macam itu, saya yakin ada juga yang memang niat mengabdi pun dibutuhkan pengabdiannya. Tapi, banyak hal positif lain yang bisa dilakukan oleh mahasiswa selain KKN. Tentu sayang jika tenaga dan pikiran para mahasiswa itu terbuang untuk kegiatan semacam ini.
Seperti Trans 7, yang makin hobi mendatangkan orang kota ke desa untuk sekadar membikin jarak dengan desa seperti KKN. Padahal, desa punya banyak hal untuk diangkat. Seperti desa yang terjangkiti penyakit urban, atau desa-desa yang terusir dengan alasan pembangunan, dan itu semua tak cukup ditanggulangi dengan hanya memasak bersama di alam terbuka.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Yamadipati Seno