Ada perempuan, sekali selfie-selfie bisa sampai seratus kali banyaknya, tapi hasil yang dipilih dan diupload di halaman media sosialnya mungkin hanya tiga saja—selebihnya tidak diakui kalau itu dirinya yang sesungguhnya. Tragis memang, keberadaan foto yang idealnya menjadi gambaran realitas diri kita yang paling nyata dan mirip, ternyata justru banyak membuat kawula muda risih dan memalingkan dari kebenaran dirinya sendiri.
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan perempuan, laki-laki juga ada yang begitu. Fenomena “kamera jahat” telah banyak menghantui kawula muda generasi milenial, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan. Bagi mereka, hasil cekrek-an foto yang paling cakep sudah dianggap menjadi bagian dari dirinya yang sebenarnya. Padahal, ini tidak seperti fakta yang sesungguhnya, mereka hanya berimajinasi dan mungkin pula berfantasi dengan harapan, keelokan yang dihasilkan oleh “kamera jahat” benar-benar dirinya di kehidupan nyata.
Tentu ini seperti mimpi, tapi begitulah kenyataannya. Fenomena ini juga bisa menjadi gambaran bahwa banyak di antara kita ternyata sangat mendambakan sesuatu yang melampaui diri kita. Berfoto ria, bukan hanya menjadi aktivitas untuk mengabadikan momen-momen tertentu yang berharga, tapi ada sesuatu yang lebih “dalam” dari itu, yakni mengabadikan kecakepan yang dia sendiri sadar tidak akan pernah meraihnya di kehidupan nyata.
Keberadaan gadget yang makin hari makin canggih dengan kualitas gambar yang jernih dan berkualitas, tidak serta-merta membuat kawula muda ingin tampil apa adanya sesuai dengan dirinya sendiri. Tapi justru kecanggihan itu dijadikan ajang untuk berlomba-lomba agar kualitas selfi yang diambil makin menunjukkan wajah yang cemerlang dan menawan, tidak peduli apakah itu benar-benar menggambarkan dirinya yang sebenarnya, yang penting cakep dan semua orang senang melihatnya.
Pada titik semua-orang-senang-melihatnya inilah, “kamera jahat” bekerja dengan sangat produktif dan menjadi bagian penting bagaimana anak-anak muda ingin mengekspresikan dirinya dalam khayalan dan imajinasi. Berswafoto bukan lagi soal momen-momen indah yang harus diabadikan dengan kerabat dan keluarga, tetapi lebih tentang bagaimana diri ini dapat eksis di dunia ini dalam rupa yang betul-betul menjadi sesuatu yang dia harapkan.
Memang, hasil foto juga menjadi salah satu bentuk seni dan kreativitas manusia yang begitu menakjubkan. Seperti kameraman-kameramen yang dengan hebatnya memoles objek foto menjadi indah dan sangat artistik. Tapi selfie ini agaknya cukup berlainan, orang-orang yang sangat hobi dengan selfie ini, biasanya lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Coba kalau sedang foto bersama-sama, pasti dia akan langsung melihat gambar dirinya sendiri, sudah cakep atau belum, dan hal-hal tak penting lainnya.
Belum lagi soal berselfie di tempat wisata. Misalnya begini, ketika seseorang mau bepergian untuk wisata, jalan-jalan, dan ingin melihat keindahan alam di suatu tempat, harusnya keindahan alam itulah yang mesti dinikmati. Tapi faktanya, panorama alam yang indah itu tidak lagi penting, lagi-lagi soal apakah ketika berselfi sudah tampak cakep atau belum.
Akibat terlalu fanatik dengan “kamera jahat” ini, banyak kawula muda menjadi terkesan asing dari dirinya sendiri. Dan memilih menjadi sesuatu yang bukan dirinya, tetapi sekaligus seolah-olah menjadi dirinya yang sebenarnya.
Saya sendiri tidak menilai bahwa fenomena ini negatif, mungkin ini sebuah keniscayaan dari kecanggihan kamera yang membuat banyak orang terkagum-kagum dengan kualitas hasilnya, meski tak selalu menggambarkan bentuk dirinya yang asli.
Paling tidak, fenomena “kamera jahat” ini bisa membuat kita semakin mengerti bahwa tidak semua orang merasa bersyukur dengan keadaan dirinya, sehingga memilih menjadi sesuatu yang lain. Banyak orang butuh dilihat, diakui, dan dikagumi meski kenyataannya hanya sedikit yang peduli kepadanya. Tapi toh memang betul, kepedulian kita kepada sesama sangatlah terbatas dan cenderung masa bodo.
Harapan saya, betapa pun canggihnya sebuah kamera, orang tetap harus menjadi dirinya sendiri, tak peduli apapun bentuk dan keadaannya. Selain sebagai bukti atas rasa syukur kepada hidup dan yang telah memberi hidup, menjadi dirinya sendiri dengan tanpa polesan yang tidak penting akan membuat diri kita semakin menyadari jati diri kita yang sebenarnya.
Kita tidak perlu muluk-muluk dan memaksakan untuk melampaui diri kita sendiri, cukuplah orang tahu tampilan kita yang sebenarnya. Inilah sikap yang lebih jujur dan bijak dalam mengahapi sebuah kamera. (*)