Beberapa hari lalu saya nonton film dari Netflix berjudul The Trial of The Chicago 7. Awalnya, saya nggak punya rencana sama sekali menonton film ini. Pun nggak ada dalam daftar film yang ingin saya tonton. Seminggu sebelumnya, salah seorang teman telah nonton duluan, tapi saya sama sekali belum tertarik.
Hingga saya coba-coba saja memutar film ini. Saya nggak memasang ekspektasi apapun. Nothing to lose, pokoknya nonton dulu. Film pun berjalan. Dan ternyata melebihi ekspektasi saya. Saya terbawa alur cerita sampai menit terakhir. Coba-coba saya itu ternyata menyenangkan juga.
Film ini menjadi hasil karya sutradara Aaron Sorkin yang pertama kali saya tonton. The Trial of The Chicago 7 menceritakan proses peradilan kelompok aktivis anti perang Vietnam-Amerika di Chicago pada 1968. Perang Amerika-Vietnam disebut-sebut sebagai salah satu kesalahan terbesar Amerika dalam sejarah. Perang itu sendiri terjadi antara Vietnam Utara yang beraliran komunis dan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat. Amerika mengirim pasukannya ke Vietnam Selatan, dalam rangka perang dingin dengan Uni Soviet. Dalam perang ini, 57.000 tentara Amerika terbunuh dan 270.000 mengalami luka-luka.
Hal itulah yang mempelopori tujuh aktivis melakukan protes kepada pemerintah. Mereka adalah Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen), Jerry Rubin (Jeremy Strong), Tom Hayden (Eddie Redmayne), Rennie Davis (Alex Sharp), David Dellinger (John Carroll Lynch), Lee Winer (Noah Robbins), dan John Froines (Daniel Flaherty). Abbie dan Rubin adalah pendiri Youth International Party, sementara Hayden, Davis, dan Dellinger tergabung dalam Students for Democratic Society. Pada saat peradilan berlangsung, pengadilan menambahkan satu terdakwa, yakni Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II), anggota Black Panther party.
Menonton film ini mengingatkan saya pada dua film Korea Selatan yang mengangkat tema serupa. Yang pertama adalah 1987: When the Day Comes. Sedangkan, yang kedua adalah The Attorney. Dua film itu bersama The Trial of The Chicago 7 menangkap potret buruk peradilan dan otoritas hukum sebuah negara.
Ketidakadilan dan foulplay yang dilakukan pihak militer dan negara itu sendiri dapat dengan gamblang kita lihat dalam The Trial of The Chicago 7. Saya pun nggak sadar kalau beberapa scene di sana membuat mata saya basah seketika. Ulasan berikut mengandung spoiler.
Kejaksaan memaksakan pengadilan untuk Chicago 7
Di bagian awal film, kita diperlihatkan scene pertemuan antara jaksa muda Richard Schultz, jaksa penuntut utama Tom Foran, dan jaksa agung federal John Mitchell. Kejaksaan bersikeras menuntut Chicago 7 dengan the Rap Brown Law. Namun, Schultz kemudian berpendapat bahwa masyarakat akan melihatnya sebagai pembatasan kebebasan berpendapat. Schultz juga memandang Chicago 7 sebagai kelompok yang anti kemapanan, anti sosial, dan kurang pantas, tetapi tidak satu pun dari hal-hal itu dapat didakwa. Namun, Mitchell bersikeras tujuh orang itu mendapat hukuman di pengadilan.
Foulplay pada dua juri
Asisten pengacara Chicago 7, Thomas Foran, menyatakan hasil pengamatannya terhadap para juri selama sidang. Pada Hayden, Foran berkata “Juri enam dan sebelas. Mereka bersama kita”. Foran melihat juri enam membawa novel James Baldwin, sementara juri sebelas mengangguk selama pembelaan terdakwa. Nggak lama setelah itu, hakim memanggil Kunstler (pengacara Chicago 7) dan Schultz akibat laporan pengancaman dua juri. Katanya sih ditemukan surat ancaman mengatasnamakan Black Panthers (kelompoknya Bobby Seale). Kedua juri itu dipersilakan mundur dari tanggung jawabnya sebagai juri dengan alasan takut nggak adil. Dua juri itu adalah juri enam dan sebelas. Sungguh sangat nggak masuk akal!
Fred Hampton dilenyapkan
Di pertengahan film, kita dikejutkan dengan berita terbunuhnya Fred Hampton, pemimpin Black Panthers. Kunstler mengabari Seale kalau Hampton terbunuh di rumahnya dini hari saat berselisih dengan para polisi. Ternyata, Seale sudah lebih dahulu tahu kabar itu. Kata Seale “Dia ditembak di bahu lebih dulu. Kita tidak bisa mengarahkan pistol jika tertembak di bahu. Kita tidak bisa menekan pemicunya. Tembakan kedua ada di kepalanya. Fred telah dieksekusi”.
Bobby Seale ditekan dan dibungkam
Pada sidang antara Amerika Serikat melawan delapan terdakwa ini, hakim Hoffman terlihat tidak adil sejak permulaan sidang. Ia melarang Bobby Seale berbicara dengan alasan pengacara Seale tidak hadir. Pengacara Seale saat itu tidak bisa hadir setelah menjalani operasi kandung empedu. Kunstler, pengacara tujuh terdakwa lainnya memprotes hakim karena ia tetap mengadakan sidang meskipun Kunstler meminta penundaan terkait nggak available-nya pengacara Seale. Selain itu, saat Seale menyatakan tidak adanya hubungan antara dirinya dan Chicago 7, hakim justru mendakwanya dengan tindakan penghinaan pengadilan. Selama sidang, Seale dipaksa diam oleh hakim. Saat Seale memprotes keras “pelenyapan” Fred, hakim membuat Seale dipukuli dan disiksa di ruangan belakang pengadilan. Seale kembali ke kursinya dengan mulut terbungkam kain dan tangan-kaki dirantai ke kursi.
Voir dire pada kesaksian Ramsey Clark
Sebuah terobosan dibuat oleh Kunstler selaku pengacara Chicago 7. Ia mendatangkan Ramsey Clark (Michael Keaton), jaksa agung yang menjabat saat kerusuhan antara polisi dan demonstran di Konvensi Nasional Partai Demokrat. Hakim Hoffmann nampak nggak senang dengan bersaksinya Clark. Hoffmann kemudian menerapkan voir dire jika Clark ingin bersaksi. Artinya, Clark boleh bersaksi tetapi majelis juri harus meninggalkan ruang sidang. Clark bilang kalau investigasi yang timnya pernah lakukan menyimpulkan kerusuhan dimulai oleh para polisi Chicago. Dan laporan lain menyatakan nggak adanya bukti konspirasi kekerasan dari para terdakwa. Kesaksian penting ini sayangnya tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan majelis juri.
Bobroknya peradilan saat itu membuat saya selaku penonton merasa kecewa dan (agaknya) frustrasi. Hakim Hoffmann adalah simbol paling kentara dari kebobrokan hukum itu sendiri. Rekayasa peradilan dan kriminalisasi aktivis berlangsung di bawah hidungnya. Agaknya benar kata Abbie, peradilan Chicago 7 adalah political trial dengan vonis diketuk jauh sebelum peradilan dimulai.
Film ini patut ditonton oleh tiap orang yang ingin merekonstruksi ulang makna perjuangan dan siapapun yang ingin menengok sejarah dunia. Juga bikin inget kalau tiap negara punya sejarah kelamnya masing-masing. Tak terkecuali bangsa kita.
BACA JUGA Seharusnya, Standar Penegak Hukum Itu kayak Nicholas Angel dan tulisan Maria Monasias Nataliani lainnya.