Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Perempuan dan Laki-laki Bisa Memilih untuk Tidak Tunduk dengan Patriarki

Rizki Muhammad Iqbal oleh Rizki Muhammad Iqbal
5 Oktober 2020
A A
Jadi Perempuan Sulit? Maaf, Jadi Pria Juga Ada Kalanya Sulit, Nona terminal mojok.co

Jadi Perempuan Sulit? Maaf, Jadi Pria Juga Ada Kalanya Sulit, Nona terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Persoalan gender masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh pandangan umum masyarakat mengenai gender. Setiap perempuan dididik untuk berperilaku halus, sopan, elegan, ora cuwawakan, dan anggun mempesona. Sedangkan laki-laki diharapkan untuk menjadi sosok yang tegas, pemberani, tidak cengeng dan dominan.

Pandangan umum tentang gender inilah yang menyebabkan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh masing-masing orang, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Setidaknya, tema besar inilah yang menjadi keluh kesah salah satu penulis di Terminal Mojok dengan artikel berjudul “Jadi Perempuan Sulit? Maaf, Jadi Pria Juga Ada Kalanya Sulit, Nona” yang ditulis oleh mas Sigit Candra Lesmana tertanggal 02 Oktober 2020. Tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankanlah saya untuk menanggapi pandangan yang blio tawarkan.

Saya ingin memberikan pandangan sesuai dengan perspektif yang blio ambil, yaitu sisi maskulinitas pada laki-laki dan pandangan umum masyarakat yang melekat padanya. Gagasan tentang maskulinitas memuat nilai-nilai sosial yang dilekatkan atau diidentikkan dengan laki-laki, seperti bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku. Stigma yang dilekatkan pada identitas laki-laki ini menciptakan ekspektasi berlebihan mengenai bagaimana laki-laki harus menyesuaikan diri dengan pandangan umum masyarakat.

Dalam artikel tersebut bisa dirasakan sambatnya seorang laki-laki dalam menghadapi berbagai tuntutan dalam masyarakat yang mengharuskan bahwa laki-laki harus kuat, tegar, dominan dan tidak cengeng. Namun, sambatannya ini justru yang membuat gagasannya menjadi kontradiktif.

Bagaimana bisa? Dari narasi yang dia buat ini memuat unsur kekuatan di satu sisi, yakni pandangannya yang mengkritik pemaksaan maskulinitas pada laki-laki. Namun, di lain sisi memuat unsur kelemahan, yakni memilih untuk tunduk pada pandangan maskulinitas tersebut. Maka, sambatnya ini tidak bisa mengubah keadaan dirinya sendiri.

Mas Sigit ini sadar pada tidak sehatnya pandangan umum masyarakat mengenai maskulinitas, namun tetap tidak berpengaruh pada realisasinya sendiri. Blio tidak merealisasikannya namun justru beradaptasi dengan pandangan maskulinitas yang dikritiknya itu.

Di sini blio memosisikan laki-laki sebagai objek masyarakat, bukan sebagai subjek atas dirinya sendiri. Seolah-olah laki-laki tidak memiliki kehendak yang rasional untuk melakukan apa yang dia inginkan karena takut pada persepsi umum yang ada.

Lalu apa akibatnya jika kita tunduk pada persepsi umum mengenai maskulinitas tersebut? Kalau yang tidak kuat namun tetap memaksakan identitas laki-laki untuk tetap berada pada dirinya sendiri, jatuhnya toxic, Mas.

Baca Juga:

4 Hal yang Perlu Dipertimbangkan Perempuan Sebelum Tinggal di Kos Campur

Aturan Tidak Tertulis di Toilet Perempuan yang Perlu Diperhatikan agar Sama-sama Nyaman

Jika sudah toxic, kita akan berusaha memaksakan atribut laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat patriarki. Jika kita tidak berhasil mewujudkannya, kita akan depresi karena merasa ditekan oleh tuntutan maskulinitas tersebut.

Kita harus melihat dari segi kausalnya di sini. Depresi disebabkan karena ketidakmampuan kita untuk memenuhi ekspektasi masyarakat mengenai maskulinitas. Bukankah kita memiliki hak untuk tidak memenuhi ekspektasi tersebut?

Mas Sigit ini menempatkan posisi laki-laki berada di bawah tekanan masyarakat dalam bentuk tingkah laku dan cara berpikir yang bukan ditentukan oleh keinginannya sendiri. Seperti dalam narasinya tentang patah hati.

Blio berpendapat bahwa perempuan bisa lebih bebas untuk mengekspresikan diri, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki dibatasi oleh pandangan maskulinitas bahwa laki-laki harus kuat.

Narasi tersebut terlalu mengkotak-kotakkan ekspresi yang bisa dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan, yang artinya blio sendiri larut dalam pandangan umum maskulinitas yang blio kritik sendiri. Padahal, laki-laki juga bebas mengekspresikan diri jika dia mau dan tidak memilih tunduk pada persepsi umum maskulinitas.

Kemudian narasinya tentang pilihan tempat curhat yang juga mengkotak-kotakkan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, tempat curhat laki-laki sangat terbatas, sedangkan tempat curhat perempuan lebih luas. Padahal tidak begitu.

Laki-laki bisa curhat kepada siapa saja, tergantung pada dirinya yang mempercayai kerabat atau teman yang akan dicurhatinya atau tidak. Jika tidak ada kerabat atau teman yang bisa dipercayai sebagai tempat curhat, bisa kok kita download aplikasi Simsimi di Play Store.

Saya juga tidak setuju dengan pendapat yang blio kemukakan tentang tuntutan yang dihadapkan pada laki-laki perihal materi. Menurutnya, laki-laki yang masih dalam tahap berusaha namun belum mapan tidak akan dihargai.

Ini bukan tentang mencari seberapa berartinya usaha kita dari orang lain. Namun, lebih kepada seberapa berartinya usaha itu untuk diri kita sendiri.

Dari narasi “jadi pria itu tidak gampang, banyak tuntutan”, kita juga bisa menangkap nilai maskulinitas yang terkandung di dalamnya. Kata-kata itu juga cenderung bersifat penyerahan diri terhadap pemaksaan maskulinitas yang tidak diinginkannya sendiri.

Sekarang sudah bukan zaman mesolitikum, di mana masyarakat hidup berpindah-pindah dengan pembagian sistem kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dihadapkan pada kapak genggam dan panah untuk berburu, sedangkan perempuan mendekam dalam diam untuk tetap meramu.

Bukan pula jaman di awal abad ke-19, ketika para pemilik pabrik lebih suka merekrut dan mempekerjakan perempuan karena mereka lebih nrimo ing pandum. Dalam artian bahwa perempuan bisa bekerja secara maksimal dalam kurun waktu yang panjang, namun digaji dengan upah yang rendah.

Sekarang pria bisa bekerja di bidang apa saja, begitupun perempuan. Namun, yang kita persoalkan di sini adalah pandangan mengenai ekspektasi masyarakat mengenai identitas yang seharusnya ada pada diri laki-laki.

Jika dalam dikotomi kendali ala filsafat Stoa, kita bisa mengendalikan hal-hal yang berada di bawah kendali kita, seperti perilaku, pikiran maupun persepsi kita sendiri. Namun, kita tidak bisa mengendalikan perilaku dan persepsi orang lain.

Maka dari itu, kita bisa berperilaku bebas seperti apa yang kita inginkan tanpa harus tunduk terhadap pandangan maskulinitas ala masyarakat patriarki. Kita memang tidak bisa mengubah sikap dan perilaku orang lain, namun kita bisa mengubah sikap kita sendiri melalui proses realisasi tanpa harus tunduk pada prasangka kita mengenai pendapat orang lain.

BACA JUGA Kaderisasi dan Romantisme PMII lewat PBAK dan tulisan-tulisan lainnya dari Rizki Muhammad Iqbal.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 5 Oktober 2020 oleh

Tags: genderLaki-lakimasyarakatPatriarkiPerempuan
Rizki Muhammad Iqbal

Rizki Muhammad Iqbal

Suka selonjoran sambil makan gorengan.

ArtikelTerkait

perempuan

Perempuan, Ini Cara Menghadapi Nyinyiran Mengerdilkan

30 Juni 2019
3 Alasan Perempuan Minta Ditemani Kalau ke Toilet

3 Alasan Perempuan Minta Ditemani Kalau ke Toilet

28 November 2020
gender dalam suku bugis

Mengenal Lima Gender dalam Suku Bugis

22 April 2020
Melihat Perempuan sebagai Pelaku Kekerasan terminal mojok.co

Melihat Perempuan sebagai Pelaku Kekerasan

6 April 2021
Panduan Menggunakan Panggilan ‘Eneng’, ‘Teteh’, ‘Ceuceu’, dan ‘Nyai’ kepada Perempuan Sunda Terminal Mojok

Panduan Menggunakan Panggilan ‘Eneng’, ‘Teteh’, ‘Ceuceu’, dan ‘Nyai’ kepada Perempuan Sunda

11 Januari 2021

Film Yuni: Ternyata Jadi Perempuan Itu Menakutkan

11 Desember 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025
Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

30 November 2025
Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

2 Desember 2025
Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang (Unsplash)

Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang dengan Pesona yang Membuat Saya Betah

4 Desember 2025
4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop Mojok.co

4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop

4 Desember 2025
Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.