Belakangan ini saya nggak mau gabut-gabut banget dan kerja yang itu-itu doang, akhirnya saya kepikiran buat mencari satu kegiatan baru dan nggak terlalu sulit dilakukan. Setelah saya cari-cari, alhamdulillah saya menjumpai titik temu, kegiatan tersebut adalah menggambar. Kegiatan inilah yang akan membawa saya pada argumen bahwa memberikan gambar gratis ke teman itu nggak masalah.
Awalnya saya kembali ingin menggambar ketika saya sedang buka-buka galeri dan menyadari kalau di dalamnya banyak banget ilustrasi-ilustrasi dan quotes yang saya simpan sebelumnya.
Demi memuaskan rasa penasaran dan menghilangkan kegabutan, saya mencari tahu caranya bikin karya serupa. Setelah dicari, ternyata ada beberapa metode. Dua diantaranya adalah ada yang pakai cara tradisional dengan gambar pakai pensil dan alat yang sejenis, dan ada yang gambarnya pakai alat-alat digital. Metode kedua menggambar ini sangat baru bagi saya.
Kemudian saya mencari apa yang dibutuhkan untuk bikin gambar digital. Awalnya agak ragu sih, soalnya kebanyakan orang-orang menggunakan cara dan aplikasi yang agak rumit. Sampai akhirnya saya menemukan aplikasi yang cocok yang bisa saya gunakan di ponsel Android. Petualangan saya untuk menggambar dimulai.
Saya suka banget liatin gambar seorang tokoh yang dijadikan kartun. Akhirnya saya iseng-iseng aja menggambar tokoh. Setelah selesai, langsung saya share di media sosial pribadi walaupun hasilnya agak burik.
Beruntungnya, ada teman yang berbaik hati untuk saya tembaki banyak pertanyaan terkait pengembangan hasil gambarnya. Mulai dari pemilihan warna, bayangan, bikin rambut yang benar, bikin gambar hidung yang benar, dan beberapa pertanyaan lainnya.
Saya bersyukur karena katanya, ada perkembangan dari hasil gambar saya. Nah, di fase ini, saya memutuskan untuk iseng menggambar wajah teman-teman dekat saya. Saya ambil saja foto secara random, lalu saya gambar wajah mereka. Eh tapi, sebenarnya bukan gambar sih, lebih pada menjiplak, atau yang biasa disebut “tracing”. Setelah proses tracing selesai, langsung saya kirimkan kepada si empunya wajah. Awalnya saya pikir orang tersebut bakalan tertawa karena melihat hasil gambar saya, ternyata malah senang dan sangat berterima kasih. Di sinilah saya sangat bahagia.
Petualangan menggambar berlanjut dengan cara yang sama, yakni cari foto teman secara “random-tracing-kirim”. Sebab saya cukup pede dan udah agak lama menggambar wajah teman-teman, hasil gambar saya post ke media sosial. Lama-kelamaan, kayaknya ada yang tertarik lagi dengan hasil gambar saya. Banyak teman yang minta fotonya dijiplak dan dijadikan kartun seperti yang saya bagikan.
Tanpa pikir panjang, langsung saja saya iyakan dan langsung saya eksekusi. Gambar selesai, langsung kirim. Tanpa ada tendensi apa-apa, termasuk bayaran dari hasil gambarnya.
Ini pekerjaan yang cukup membahagiakan bagi saya. Sebab saya berpikir, bahwa kebahagiaan orang lain, adalah kebahagiaan saya juga.
Setelah sekitar satu bulan saya sering gambar-gambarin orang, ada satu teman saya yang berwatak dagang bilang bahwa gambar-gambar gitu bisa dijual dan jadi duit. Saya ragu, emang iya?
Teman saya ini membantu mempromosikan gambar saya dan menyarankan untuk memoles media sosial saya sendiri.
Sekitar dua bulan, saya kebanjiran pesanan dari teman-teman dekat. Walaupun rasanya agak berbeda, ada patokan tarif pada tiap gambarnya. Nah ini, masalahnya di sini. Setelah dua bulan, pesanan jadi turun dan saya nggak tahu harus ngapain lagi.
Perasaan sumringah seusai menggambar jadi hilang karena mikirin kenapa orderan sedikit banget. Saya jadi nggak bahagia kayak dulu waktu kasih gambar gratisan.
Dari sini saya sadar, kenapa yang dulunya kasih gratisan saya buahagia banget, sedangkan ketika diuangkan dan nggak ada pesanan, saya malah nggak menemukan nikmatnya menggambar lagi.
Saya muak banget sama perasaan sepi, akhirnya ya saya balik lagi untuk gambarin teman-teman yang mungkin belum kebagian saya gambarin. Mau nggak mau, bodo amat. Dibayar nggak dibayar, bodo amat. Tapi, kebanyakan sih, mau-mau aja kalau saya gambarin.
Nggak tahu kenapa, saya nggak setuju banget kalau semua harus berbayar dan saya harus mematok tarif. Rasanya nggak pas dan agak gimana ya.
Apalagi kalau ada yang buka usaha sejenis misuh-misuh dan chat ketika ada teman minta gratisan di-share ke media sosialnya. Padahal kan, nggak masalah. Namanya juga teman. Nggak enak juga kalau hubungan pertemanan jadi kaku gara-gara masalah sepele: minta gambar gratis.
Bagi saya nggak apa-apa, gambarin aja secara cuma-cuma. Hubungan pertemanan bisa jadi erat. Lagian, kita kan nggak tahu, di kemudian hari mungkin kita membutuhkan teman kita yang sedang minta gambar gratis ini.
Selain itu, menggambar buat teman secara gratis juga momen melatih skill. Semakin hari kita semakin lihai.
Duit mah kayaknya gampang. Cukup yakin aja sama yang memberi rezeki. Arahnya bisa nggak disangka-sangka. Mungkin dengan perasaan nggak enak kalau nggak kasih gambar gratis ke teman, Tuhan juga nggak enakan kalau nggak kasih kita rezeki.
Wong temen yang minta kok, itung-itungan. Ikatan pertemanan nggak pantas dikorbankan hanya demi perkara kecil ini. Jadi nggak masalah kalau mau gambar gratis.
Lalu, untungnya di mana? Kegiatan gambar saya jadi rame lagi. Saya jadi bahagia lagi mendengar ucapan terima kasih. Teman-teman saya juga tambah banyak.
BACA JUGA Mobile Legends dan Orang-orang Menjengkelkan di Dalamnya dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.