Apa yang dirasakan orang-orang ketika mendapatkan bantuan pemerintah? Sudah pasti senang dong. Apalagi di musim pandemi seperti ini saat semua sektor termasuk ekonomi terkena dampaknya. Aku pernah baca di Twitter, ada orang yang mendapat bantuan bukan digunakan dengan sebaik-baiknya, tapi malah digunakan untuk transaksi BO.
Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat di desaku. Bagi sebagian orang, bisa mendapat uang tambahan tanpa harus bekerja adalah anugerah yang sangat indah.
Bantuan yang dikucurkan oleh pemerintah banyak macamnya. Ya, tujuannya tidak lain untuk membantu dan menyejahterakan warganya. Mulai dari bantuan sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), listrik gratis, BLT dana desa, Kartu Prakerja, dan lain-lain. Hal ini membuat orang desa berbondong-bondong mendaftarkan dirinya sebagai warga yang tidak mampu ke balai desa setempat.
Berbahagialah mereka jika apa yang didapatkan sesuai dengan apa yang diharapkan. Mau dapat sembako atau uang tidak masalah, asal dapat. Namun, bagi mereka yang belum dapat harus bersabar karena bantuan dikucurkan dalam beberapa tahap. Lagi-lagi harus lolos tahap seleksi jika warga tersebut memang benar-benar warga yang kurang mampu. Padahal, seharusnya bantuan tersebut dibagi secara merata sebab semuanya terkena dampak dari pandemi ini. Ya, kecuali orang-orang dengan gaji di atas lima juta rupiah, mungkin mereka terhitung tidak membutuhkan.
Tapi, masih saja ada yang bilang, “Lho, Mbak kan punya mobil, jadi tidak perlu mendapat bantuan.” Begini saja, punya mobil pun kalau usaha tidak jalan ya sama saja. Mau dapat duit dari mana? Toh memandang mobil yang diam di garasi tidak akan membuat kita menjadi kenyang kan?
Namun, di balik itu semua kalian harus ingat satu hal, yaitu kebiasaan “noleh tonggo” khas warga desa. Jika melihat kesederhanaan khas orang desa sebenarnya mereka fine-fine aja. Apa yang tidak didapatkan orang-orang kota bisa didapatkan secara cuma-cuma oleh masyarakat desa. Tumbuhan liar masih banyak dan layak dikonsumsi. Jauh dari polusi dan bebas tanam sendiri. Mau makan daun singkong, tinggal pergi ke kebun belakang rumah. Mau ambil cabai tinggal “methil” satu per satu. Atau langkah terakhir adalah minta tetangganya.
Jadi, untuk makan sehari-hari masih terbilang aman. Tidak dimungkiri ada juga beberapa warga yang hidup di bawah standar masyarakat desa. Namun, melihat betapa tingginya tingkat kepedulian antarsesama masyarakat desa, tidak ada hal yang perlu dicemaskan. Mau memberi pisang sebiji, sayur semangkok, atau apa lah yang penting bisa membantu meringankan beban antarsesama. Meski sederhana, tapi justru itu poinnya.
Nah, sikap tersebut seperti sudah mendarah daging di lingkungan desa. Maka tak heran jika mereka yang mendapat bantuan pemerintah, saling memberi pada warga lainnya yang tidak mendapatkan. Itulah yang disebut dengan “noleh tanggane”. Bantuan sembako yang biasanya terdiri dari beras, sarden, dan aneka buah lainnya mereka bagikan kembali ke sanak saudaranya agar ikut merasakan bantuan dari pemerintah. Piye ta lur, kurang apik opo?
Bukan hanya sembako, bantuan yang berupa uang juga ikut kecipratan. Pasti ada saja uang puluhan ribu yang dibagikan kepada keponakan-keponakan yang masih kecil dan doyan jajan. Meski dipandang “tidak mampu”, tapi sikap khas noleh tonggo masyarakat desa itu emang top markotop.
Hitam putih dunia selalu ada. Ada beberapa warga yang malah memanfaatkan kesempatan untuk hura-hura. “Ayo njupuk duwit, mengko di gowo ning Bangsri.” Ya begitulah kiranya ucapan mereka. Bangsri adalah nama salah satu pasar di Jepara yang menyediakan banyak kebutuhan masyarakat.
Setelah dapat BST ada aja yang barang yang dibeli. Ibu-ibu pun jadi punya bahan nyinyiran layaknya Bu Tejo. Hadeeeh.
Intinya sih mau dapat atau tidak dapat bantuan pemerintah, kita nggak usah terlalu iri dengki sama tetangga. Kebutuhan seseorang tidak bisa diukur dengan harta benda. Sebaliknya, kebiasaan noleh tonggo itu tetap perlu. Biar semua merasa bahagia dengan tradisi saling memberi. Selebihnya, tetap jaga kesehatan, jauhi kerumunan, pakai masker kalau keluar rumah, dan selalu mencuci tangan. Semoga pandemi ini cepat berlalu.
BACA JUGA Obsesi Togel, Pergi ke Dukun Sampai Tidur di Kuburan Demi Dapat ‘Wangsit Nomor’ dan artikel Silviazana Fitriana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.