FC Bayern Munchen baru saja meraih treble winner untuk musim 2019/20. FC Bayern meraih gelar Bundesliga kedelapan beruntun miliknya secara dramatis. FC Bayern sempat menduduki peringkat ketujuh klasemen Bundesliga dibawah kepemimpinan Niko Kovac, sebelum akhirnya diganti Hans-Dieter (Hansi) Flick.
Gaya permainan unik dari Flick yang kembali mempercayai pemain veteran Bayern, Thomas Müller dan Jerome Boateng, perlahan membuahkan hasil yang spektakuler. Bayern Munchen meraih gelar Bundesliga ke-8 di akhir musim dan ditutup dengan juara DFB Pokal. Namun, perhatian dunia bukanlah terfokus pada duo gelar lokal yang diraih Bayern, melainkan penampilan ultraluar biasa yang ditampilkan pada pertandingan demi pertandingan Liga Champions.
Bayern Munchen sudah menyita perhatian dengan penampilan ciamik kala menggunduli Tottenham Hotspur di kandang mereka dengan skor 2-7. Kala itu Bayern masih diarsiteki oleh Niko Kovac. Di tangan pelatih yang baru saja naik pangkat dari asisten menjadi pelatih pengganti sementara (kemudian menjadi pelatih kepala), Hansi Flick, penampilan Bayern semakin ganas dalam menghadapi lawan-lawannya.
Lolos dari fase grup, Bayern ditunggu Chelsea di babak 16 besar Liga Champions. Bermain laga away di kandang Chelsea tidak menjadi halangan berarti saat Bayern menekuk tuan rumah dengan skor 0-3. Leg kedua yang sejatinya dimainkan tidak terlalu lama dari leg pertama, harus ditunda karena covid-19. Setelah mendapat lampu hijau Liga Champions kembali dilanjutkan, Bayern Munchen kembali tancap gas melawan Chelsea. Laga yang digelar di Allianz Arena, kandang Bayern, harus dilakukan tanpa penonton untuk alasan kesehatan. Meskipun demikian, Bayern sukses hajar Chelsea 4-1.
Bayern Munchen benar-benar menjadi pusat perhatian dunia kala bertemu FC Barcelona di perempat final Liga Champions. Tidak ada satupun yang menduga bahwa Bayern Munchen akan mencetak sejarah pada laga yang digelar hanya 1 leg tersebut. Bayern menghancurkan Barcelona dengan skor telak 8-2, dengan 2 gol dan 1 assist yang dicetak oleh pemain Barcelona sendiri yang sedang dipinjamkan ke Bayern Munchen, Philippe Coutinho.
Bayern Munchen melenggang cukup mudah ke partai final setelah menekuk Olympique Lyonnais dengan skor 0-3. Di final, Bayern menghadapi klub Prancis lainnya, Paris Saint-Germain. Sundulan kepala mantan pemain Paris Saint-Germain, Kingsley Coman, membawa Bayern Munchen meraih gelar treble winner kedua sepanjang sejarah klub tersebut.
Ada catatan yang menarik mengenai formasi dan tipe bermain yang digunakan Bayern Munchen di bawah kepemimpinan Hansi Flick. Bayern Munchen melakukan pressing ketat di wilayah gawang lawan-lawan mereka. Artinya, Robert Lewandowski dan Thomas Müller menjadi aktor yang melakukan pressing ketat ke pemain bertahan lawan.
Hasilnya, pemain-pemain bertahan lawan yang jarang menghadapi pressing ketat akan kelabakan dan membuat kesalahan. Ketika passing yang tidak sempurna dibuat oleh lawan yang sudah grogi saat ditekan, di sanalah Bayern melakukan serangan supercepat yang sering berbuah gol.
Sekalipun pressing para penyerang Bayern gagal membendung passing, lini tengah dan sayap Bayern siap menghadang. Leon Goretzka, Thiago Alcantara, dan Joshua Kimmich menjadi lini tengah yang kokoh. Ditambah dengan kawalan dan tekanan yang dilakukan para pemain sayap superngebut Bayern, Kingsley Coman, Serge Gnabry, dan Ivan Perišić, membuat lawan kesulitan untuk mendapat aliran bola.
Jika bola masih dapat melewati lini tengah Die Roten—julukan Bayern, jangan dikira penyerang lawan akan mudah melenggang ke gawang. Mega bintang baru yang diklaim sebagai bek kiri terbaik dunia saat ini, Alphonso Davies, yang akan mengejar lawan dengan kecepatan bagaikan road runner. Apa yang akan terjadi jika bola dioper ke lini tengah bertahan Munchen? Jawabannya adalah David Alaba, Jerome Boateng, dan Niklas Süle yang siap membendung.
David Alaba menjelma dari bek kiri fenomenal yang turut mengantar Bayern pada 2013, menjadi bek tengah yang mengerikan dengan kecepatannya. Jangan remehkan sisi pertahanan kanan Bayern, ada Benjamin Pavard dan Joshua Kimmich yang mengawal. Setelah semuanya berhasil dilalui, jangan lupakan lini pertahanan terakhir Bayern, sang kapten Manuel Neuer. Penyerang lawan akan kesulitan menembus tembok satu ini. Pemain sekelas Mbappe tidak dibiarkan mencetak gol meski sudah dalam posisi offside pada laga final Liga Champions lalu.
Formasi Bayern sendiri dinilai sangat berbeda dari formasi-formasi biasa. Bayern Munchen menetapkan lini bertahan yang sangat tinggi, tepat di belakang garis tengah/kickoff. Hal ini sangat riskan dengan serangan balik dan umpan terobosan lawan yang dengan mudah mengoyak jala tim. Nyatanya tidak demikian dengan Bayern.
Hansi Flick memilih formasi yang sama hingga juara Liga Champions tanpa sekalipun menelan kekalahan. Hal ini adalah salah satu rekor yang diciptakan Bayern. Dengan pressing yang superketat yang dilakukan hampir seluruh pemain, terkecuali Neuer, Bayern memiliki serangan yang cepat dan mematikan saat mendapat bola. Umpan-umpan pintar yang tidak harus kuat namun tepat, kerap memanjakan Lewandowski untuk mencetak gol. Hasilnya, Lewandowski menjadi top skorer yang hanya kehilangan satu pertandingan tanpa mencetak gol, yakni pada laga final kontra PSG.
Kesuksesan Bayern ini tidak boleh ditiru oleh klub lain. Mengapa demikian? FC Bayern Munchen menerapkan high pressing dan lini bertahan yang tinggi, di wilayah pertengahan lapangan. Kedua hal ini sangat mudah dilawan dengan umpan terobosan ataupun giringan bola yang cepat dari pemain lawan yang memiliki kecepatan tinggi. Apa yang menjadi pembeda? Mengapa Bayern sukses dengan formasi tersebut? Jawabannya adalah kecepatan pemain-pemain yang dimiliki Bayern.
Hansi Flick sadar betul akan kekuatan fisik dan kecepatan para pemainnya. Contohnya adalah Alphonso Davies yang memiliki kecepatan hingga 36,51 km/jam. Dengan kecepatan bagaikan Road Runner tersebut, kecepatan lawan akan terkejar, terlebih ketika lawan membawa bola. David Alaba yang sebelumnya menempati posisi bek kiri turut memiliki kecepatan tipikal pemain sayap. Dengan transformasi dirinya menjadi bek tengah, rasanya sangat mudah baginya untuk berlari melindungi lawan dengan kecepatan tinggi.
Benjamin Pavard turut memiliki kecepatan yang lumayan di sisi kanan, belum lagi Joshua Kimmich yang memiliki lari kencang juga kerap mengisi posisi bertahan kanan kala Pavard cedera. Niklas Sule juga memiliki kecepatan yang tinggi meski memiliki postur yang besar. Hanya Jerome Boateng yang tidak memiliki kecepatan tinggi, namun mampu membaca ke mana arah bola akan datang.
Bukan hanya bek-bek superngebut, para pemain sayap Bayern turut memiliki kecepatan mematikan. Sebut saja Kingsley Coman yang dapat menempuh kecepatan 35,6 km/jam dan Serge Gnabry di atas kecepatan rata-rata. Selain itu, Bayern memiliki sang penerjemah ruang, Thomas Müller. Müller kerap membantu mencetak gol penting dan memberi assist kepada pemain lawannya.
Müller bukan tipikal pelari, bukan penggiring yang hebat, dan bukan pemilik tendangan gledek. Namun, bola sepertinya ingin terus menempel padanya. Dengan visi yang cermat dari arsitek Hansi Flick, Müller dengan mudah menjadi andalan lagi setelah sebelumnya meredup di bawah Kovac. Thiago Alcantara membenarkan bahwa permainan Bayern jangan diadopsi dan dijadikan tren untuk sepak bola modern. Kuatnya fisik para pemain Bayern yang ditampilkan jelas oleh perubahan fisik Leon Goretzka dan Lewandowski yang berubah menjadi kekar, serta cepatnya lini demi lini Bayern, sulit ditemukan pada tim-tim lain. Belum lagi sang kapten mereka, Manuel Neuer bisa menjadi sweeper keeper-defender menjadikan segala lini Bayern komplit.
Berbeda dengan tiki-taka yang sering disuguhkan Pep Guardiola, formasi Hansi Flick seolah menghidupkan kembali tren total football di mana semua menyerang, semua bertahan. Ketika Bayern mendapat bola, aliran bola dirasa lebih cepat mengalir ke depan, menuju para penyerang.
Ketika kehilangan bola, para penyerang sekalipun akan melakukan pressing ketat dan rela turun. Jika lawan melakukan umpan terobosan ke depan, Neuer sigap untuk menghalau di posisi tengah pertahanan, jauh dari gawangnya. Bek kiri dan kanan Bayern selalu membantu untuk naik, memberikan ruang kepada para pemain sayap untuk mencari posisi kosong dan membingungkan lawan. Sang penerjemah ruang, Müller, akan mencari posisi di mana bola akan jatuh yang berujung gol untuk Bayern baik umpan ataupun ia cetak sendiri.
Jika formasi ini ingin diikuti oleh klub-klub (bahkan timnas) lain, mereka harus bersiap dengan kekuatan fisik pemain-pemainnya mengingat seringnya pemain untuk pressing dan berlari. Kedua, passing yang pintar dan akurat menjadi fokus tersendiri. Bayern sukses dengan penguasaan bola yang sangat tinggi. Laga final kontra PSG, Bayern sukses menguasai 62% penguasaan bola. Hal ini tidak terlepas dari pressing yang dilakukan, dan tingginya akurasi umpan mereka.
Klub lain mungkin tidak memiliki pemain unik Bayern seperti Thomas Müller sang penerjemah ruang, Manuel Neuer yang bukan hanya kokoh di gawang, juga kokoh di lini pertahanan, David Alaba yang menjelma menjadi bek tengah yang ngebut, Joshua Kimmich yang dapat menempati posisi tengah juga bek kanan, hingga Alphonso Davies, sang fenomenal yang melewati sekian banyak lawan untuk memberi umpan ke depan juga mengejar lari penyerang lawan di belakang. Meski tidak memiliki pemain-pemain unik tersebut, klub lain harus mempersiapkan pemain mereka dengan kedisiplinan tinggi dan mengerti akan tugas mereka ketika mereka sedang diserang. Jika tidak dapat mengikuti tren Bayern Munchen secara baik, lebih baik jangan tiru Bayern Munchen. Mainlah dengan karakteristik dan filosofi masing-masing.
BACA JUGA Ki Seno Nugroho, Dalang yang Bikin Milenial Gandrung dengan Wayang dan tulisan Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.