Menjadi orang tua adalah salah satu impian banyak manusia dewasa. Merawat buah hati dari kecil, bermain bersama, mendidiknya hingga dewasa, merupakan sebagian kecil tanggung jawab yang harus setiap orang tua lakukan kepada anaknya masing-masing. Termasuk saya, yang sudah menjadi seorang bapak dari anak laki-laki yang kini berusia 3,5 tahun.
Bagi saya, memiliki buah hati termasuk dalam eustress, atau lebih familier dengan istilah stres positif. Singkatnya, eustress adalah kadar stres normal yang dirasakan saat menaklukkan tantangan positif. Menjadi seorang bapak, atau dengan kata lain memiliki anak, merupakan anugerah dalam hidup yang harus disyukuri dan dijalani dengan sepenuh hati.
Di sisi lain, memiliki anak di usia seperempat abad, disadari atau tidak, menjadi tantangan tersendiri. Selain rentan overthinking, ada persoalan yang menyangkut quarter life crisis yang betul-betul harus dihadapi. Sebagian besar menyangkut soal materi: mampu atau tidak memenuhi segala kebutuhannya, sanggup atau tidak memberikan fasilitas pendidikan yang mumpuni dalam jangka panjang, dan seterusnya, dan seterusnya.
Beberapa hal tersebut sering kali saya pikirkan tiap malam, tiap kali melihat anak memejamkan mata, terlelap dalam tidurnya.
Sebagian orang, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari, selalu beranggapan bahwa, jika belum mampu dan belum yakin secara finansial, baiknya menunda untuk memiliki anak. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya dengan melakukan program KB. Namun, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, “Sampai kapan?”
Apakah sepasang orang tua yang memang ingin berjuang dan berkomitmen menghidupi anak dengan sebaik-baiknya, meski harus terseok-seok, harus mengurungkan niat baiknya tersebut? Lalu, dengan cara seperti apa orang tua yang penghasilannya di bawah UMR, atau setara UMR, menghidupi anak-anaknya? Hal ini tak jarang menjadi pemicu overthinking sebagian orang tua yang berpenghasilan terbilang pas-pasan. Tergantung kapasitas dan porsinya masing-masing.
Sebagian ada yang menjadikannya beban, sebagian yang lain menganggapnya sebagai eustress, nanti juga akan berlalu. Dan seiring giatnya suatu usaha, seharusnya tidak akan mengkhianati hasil.
Sebagaimana diketahui, saat ini kebutuhan untuk anak hampir semua terbilang mahal. Mulai dari popok, susu, sampai dengan biaya pendidikan. Beberapa waktu yang lewat, bahkan sempat ramai dibahas oleh salah satu jasa perencanaan keuangan dan investasi, kemudian jadi bahan perbincangan di media sosial. Namun, alih-alih memberi gambaran dan ketenangan bagi para pasangan juga para orang tua muda, yang ada malah semakin overthinking dan terjebak dalam quarter life crisis.
Padahal, ada hal lain yang jauh lebih baik untuk diinfokan dan memberi manfaat, dibanding hanya fokus kepada rincian biaya yang sangat mahal. Misalnya saja memberi solusi atau bagaimana cara mengatur keuangan ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak. Bisa juga memberi referensi toko/lokasi membeli perlengkapan bayi dengan harga terjangkau. Mulai dari popok, susu, pakaian, dan lain sebagainya. Tentu saja akan jauh memberi manfaat.
Sebab, di tengah rentannya quarter life crisis dan overthinking pada kehidupan sekarang ini, rasanya rincian/gambaran biaya hidup yang begitu tinggi untuk anak dirasa kurang membantu. Yang ada malah semakin membuat seseorang semakin overthinking dan tidak tenang. Bukan menjadi sesuatu yang memberi solusi.
Kendati demikian, secara personal, seseorang harus berusaha untuk tetap berdikari. Setiap pilihan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Dan tentu saja ada risiko yang harus dihadapi. Hal tersebut membutuhkan perhitungan yang cukup matang.
Misalnya saja, untuk hal yang paling mendasar, perhitungan pengeluaran sehari-hari, perhitungan per-bulan, dan pengeluaran-pengeluaran lainnya. Ada prioritas dalam setiap kebutuhan. Mana yang lebih utama dan mana yang paling utama.
Dalam menghadapi overthinking soal materi, rumusan ini bisa jadi sesuatu yang patut dipertimbangkan dan diaplikasikan oleh saya, atau mungkin juga para orang tua lain di luar sana yang terkadang larut dalam quarter life crisis dalam menjalani kehidupan berkeluarga.
Solusi jitu lain, ketika menghadapi quarter life crisis dan overthinking, tak lain dan tak bukan adalah dihadapi dan dijalani sambil berproses. Karena permasalahan dalam hidup, tidak akan selesai begitu saja jika hanya dipikirkan. Tentu saja perlu ada aksi dan tindakan nyata untuk mengubah nasib diri sendiri.
BACA JUGA Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia dan tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.