Sore itu hujan turun sangat lebat. Ditambah angin yang berhembus ugal-ugalan dan petir yang memekakkan telinga membuat suasana jadi makin mencekam. Sementara itu Misbah hampir saja nekat menerobos cuaca buruk tersebut karena hendak menghadiri majelis bulanan Kiai Basori di pusat kabupaten. Pikirnya kalau kesamber geledek itungannya mati syahid, kok.
Baru saja dia menstarter motornya dan bersiap mengenakan jas hujan, Kang Salim dengan tegas mencegahnya.
“Tunggu reda saja, Mis. Terlalu bahaya kalau kamu nekat.”
“Duh, tapi kayaknya kalau ditunggu-tunggu, hujan badai ini nggak bakal reda deh, Kang.”
“Ya kalau emang kenyataannya gitu, ya udah tho, Mis, nggak usah berangkat dulu nggak apa-apa,” Kang Salim menyarankan. “Bulan depan insyaallah masih ada kesempatan lagi.”
“Wah ya nggak bisa gitu, Kang. Kalau buat perkara baik, ngapain harus ditunda-tunda,” sanggah Misbah.
Misbah telah beres mengenakan jas hujannya, baru saja dia menuntun motornya sampai pekarangan, tiba-tiba kilat menyala terang sekali diikuti gelegar suara guntur yang luar biasa dahsyat. Dari raut wajahnya, tampak sekali Misbah jadi agak bimbang.
“Gimana, masih nekat mau berangkat?” Goda Kang Salim.
“Iya lah, Kang. Hujan badai bukan alasan buat nggak ngaji.”
“Haduh, Mis, Mis. Terus misalnya kamu kesamber petir di tengah jalan, kan ya akhirnya nggak bisa ngaji juga,” seloroh Kang Salim.
“Justru itu, Kang. Kemungkinan kesamber petir pasti ada wong cuacanya kayak gini,” Misbah enteng menanggapi. “Tapi kan nggak apa-apa tho, malah dihitung mati syahid lah kalau gitu. Mati dalam perjalanan menuju kebaikan.”
Kang Salim malah cengar-cengir mendengar tanggapan kawan baiknya itu.
“Ya udah, silakan aja kalau mau tetep berangkat. Tapi dulu itu ya, Mis, pas Madinah sedang diguyur hujan badai, Kanjeng Nabi malah menganjurkan orang-orang Madinah untuk salat di rumah aja. Nggak ke masjid dulu,” ucap Kang Salim sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
“Poinnya, salat di masjid itu perkara baik. Berangkat majelisan juga perkara baik. Tapi kalau ada sesuatu yang kiranya berpotensi membahayakan diri sendiri, sepertinya Kanjeng Nabi malah menyuruh kita buat membatalkan dulu nggak apa-apa. Nggak dosa juga, kok. Malah statusnya bisa jadi lebih afdal menahan diri di rumah ketimbang berangkat majelisan dalam situasi kayak gini. Kan mempertahankan nyawa itu perkara wajib. Iya nggak, Mis?”
Bayangan Kang Salim sudah lenyap dari ambang pintu. Sementara butuh waktu setengah menit kemudian bagi Misbah untuk mencerna kalimat-kalimat yang baru saja dilontarkan Kang Salim.
Setelah tersentak kesadarannya, Misbah langsung melepaskan jas hujannya, memarkir motor ke tempat semula, lantas menyusul Kang Salim ke dapur yang sedang memasak air untuk membuat wedang jahe sebagai penghangat.
“Loh, Mis, katanya mau mati syahid?” Gojlok Kang Salim.
“Nah, itu yang mau saya tanyakan ke sampeyan, Kang. Jadi….”
“Gini, Mis,” seolah tahu arah pertanyaan Misbah, Kang Salim langsung memotong. “Kamu tahu kalau terjun bebas dari gedung lantai lima itu kemungkinan besar bikin kamu modyar. Nah, kalau tetep kamu lakuin dan kamu bener-bener tewas karena itu, disebutnya apa, dong?”
“Ya…bunuh diri, Kang.”
“Persis,” respons Kang Salim sambil meracik dan mengaduk-aduk wedang jahe dalam gelas. “Kamu itu udah tahu kalau hujan petir begini berpotensi bikin kamu kesamber petir. Catat, kamu udah tahu risiko itu. Tapi kalau kamu nekat nerobos, ya itu sama dengan bunuh diri, Mis. Yang dihitung Gusti Allah bisa-bisa bukan mati syahid karena mau pergi majelisan. Tapi malah kesemberonoan kamu, alias dihitung mati bunuh diri. Dan itu dosa karena kamu telah mengabaikan kewajiban mempertahankan nyawa.”
“Ta…tapi, Kang. Bagaimana dengan setiap perang yang pernah dilakukan Kanjeng Nabi bersama para sahabatnya?” sangkal Misbah belum terima. “Soalnya para mujahid ini kan berani turun ke gelanggang perang atas iming-iming mati syahid, Kang. Apakah kematian mereka juga disebut sebagai mati bunuh diri? Karena seolah-olah mereka ini setor nyawa biar bisa mati syahid. Karena itu yang mereka cita-citakan.”
Kang Salim malah terkekeh mendengar ucapan Misbah. Tapi dia tak langusung menjawab. Kang Salim menyodorkan satu gelas wedang Jahe untuk Misbah. Dan keduanya kini duduk bersebelahan di meja makan.
“Ada mispemahaman tentang perang di masa lalu.”
“Gimana tuh, Kang?”
“Gini, dulu itu para sahabat dan para mujahid Islam itu memandang mati syahid bukan sebagai tujuan utama. Tapi semata hanya bonus. Tujuan utama ya gimana caranya Islam harus menang. Dan agar Islam menang, mereka harus berusaha agar nggak terbunuh selama perang.”
“Oh jadi seandainya saja para sahabat dan mujahid Islam ini menganggap mati syahid adalah tujuan utama, maka otomatis mereka malah terkesan nyah-nyoh sama musuh. Malah kayak-kayak nyerahin nyawa buat segera dibunuh. Biar dapet mati syahid. Tapi nyatanya mereka justru berperang habis-habisan, bukan pasrah-pasrahan.” Misbah mulai menangkap penjelasan dari Kang Salim.
“Yak, betul sekali,” Kang Salim memberi dua jempol untuk kawan baiknya itu. “Karena seumpama saja saat itu mereka berlaku demikian, maka mereka bakal menanggung dua dosa besar sekaligus. Pertama, dosa bunuh diri karena menyerahkan nyawa cuma-cuma ke tangan lawan. Kedua, dosa karena telah dengan sengaja membuat pasukan Islam kalah. Ya iya, tho, sebab karena mereka sengaja memilih segera mati, akhirnya pasukan Islam makin susut. Dan gara-gara itu akhirnya Islam jadi bulan-bulanan. Ini kalau ngomongin konteks perang masa itu loh, ya, Mis.”
“Waduh, tapi kayaknya mispemahaman kayak gini udah kadung menjangkiti pola pikir masyarakat muslim saat ini deh, Kang. Rata-rata kalau ngomongin mati syahid, kesannya ya malah setor nyawa, alias bunuh diri. Kayak saya ini,”
“Ada satu kasus lagi, Mis. Mmmm ada riwayat yang menyebut beberapa hal yang masuk kategori mati syahid. Nah, salah satunya yaitu mati karena tenggelam. Pas tahu kayak gitu, misalnya ada orang sengaja menenggelamkan diri biar dapet mati syahid, kira-kira bagaimana?”
“Wah iya juga ya, Kang. Harus ada kausalitasnya juga. Kayak misalanya ada orang mati tenggelam karena kepeleset abis mabok. Bakal gimana tuh, hukum mati tenggelamnya?”
Tak ada kalimat keluar dari keduanya, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya suara hujan dan petir bersahut-sahutan yang masih terdengar.
*Diolah dari penjelasan Gus Baha dan Prof. Quraish Shihab
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.