Belakangan ini hawanya terasa sangat dingin. Jogja, Bandung, Malang, dikabarkan mengalami penurunan suhu yang cukup drastis, termasuk kawasan Dieng yang kembali diselimuti es. Musim bediding sudah datang.
Jangan dibayangkan bediding itu kayak di Eropa, yang kalau dingin dianggap lumrah. Yang pasti, penurunan suhu ini bikin orang punya passion yang sama, yaitu bangun siang. Suara azan subuh pun seolah menjadi lantunan lagu pengantar untuk melanjutkan tidur.
Bagaimana dengan reaksi masyarakat? Sudah terjadi setiap tahun saja masih banyak yang gumun, heran. Bediding itu normal terjadi. Nggak perli diromantisasi, lah.
Bediding memang sudah ada periodisasinya setiap tahun. Mulai Juli sampai Agustus, biasanya. Hal ini terjadi karena Pulau Jawa berada di selatan garis Khatulistiwa dan dekat dengan Australia.
Bediding atau mbediding adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menamai perubahan suhu yang mencolok di awal musim kemarau. Suhu pada malam hari terasa sangat dingin. Namun, di siang hari, mataharinya serasa ada dua.
Karena fenomena ini terjadi pada awal-awal musim kemarau, hal ini bisa disebut sebagai masa transisi dari musim sebelumnya yaitu musim penghujan. Oleh karena itu, orang Jawa lebih sering menyebutnya dengan mongso (musim) bediding.
Dalam kalender pertanian Jawa, yaitu Pranoto Mongso, musim bediding masuk ke “kasa” atau “kasiji” yaitu musim pertama dalam penanggalan pertanian Jawa. Kasiji berlangsung selama 40an hari, mulai pertengahan Juni sampai awal Agustus. Dalam Pranoto Mongso disebutkan bahwa kasa’ atau kasiji ditandai dengan para petani yang membakar jerami sisa panen padi, kayu mengering, dan dimulainya musim palawija.
Sesuai kaidah Pranoto Mongso, musim bediding biasanya dimanfaatkan untuk menanam tanaman palawija, semisal jagung, singkong, ubi, dan lain sebagainya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, pasalnya saat musim bediding tanah sudah tidak terlalu basah seperti saat musim penghujan. Sudah gembur akibat dari terserapnya air ke dalam tanah.
Tanah yang gembur, ditambah panas di siang hari merupakan perpaduan yang pas untuk tumbuhnya tanaman baru. Cadangan air masih mencukupi, dan juga matahari yang bersinar sepanjang hari.
Selain istilah bediding yang sering digunakan untuk menyebut fenomena ini, masih ada istilah lain yang digunakan untuk menyebut fenomena ini. Misalnya saja di Kota Malang, di Malang fenomena seperti ini disebut sebagai musim maba atau mahasiswa baru. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, pasalnya fenomena ini biasanya terjadi saat kampus-kampus di Malang sedang melaksanakan ospek, di mana Malang akan dipenuhi wajah-wajah baru berkepala plontos dengan pakaian batik, atau malah muda-mudi berpakaian serba putih sedang berkeliling kota.
Saya sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Malang tentu pernah merasakan atmosfer musim bediding atau musim maba di sini, rasanya sangat berat. Subuh-subuh yang sangat dingin harus sudah mandi dan sudah rapi, sampai di kampus masih ada kabut yang setia menemani, kadang ditambah rintik-rintik gerimis, kemudian saat menjelang siang, cuaca menjadi panas menyengat. Semua itu dilakukan untuk apa? Ya untuk ikut ospek lah.
Ya maklum, di Malang nggak kayak di Jogja dan sekitarnya. Hawa dingin udah jadi makanan sehari-hari. Ya ada panasnya, sih. Tapi nggak setiap hari dan kadang nggak semenyengat di Jogja.
Oleh sebab itu, untuk menandai musim peralihan, bisa dilihat dari wajah-wajah baru yang tersiksa karena harus bangun pagi demi ospek. Subuh-subuh mandi. Brrr….
BACA JUGA Pengalaman Saya Berguru Ilmu Kebal yang Berakhir Mengecewakan dan tulisan Imron Amrulloh lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.