Tren dunia menulis bergerak lincah, terutama 5 tahun terakhir ini. Seiring munculnya media online, yang menerima kiriman dari penulis luar. Penulis pemula tak perlu bersusah payah lagi merintis jalan kepenulisan, setidaknya tidak seperti perjuangan penulis era lama.
Kita tahu, di zaman koran cetak, menembus kolom opini susahnya minta ampun. Apalagi kalau kamu belum punya nama dan baru mulai belajar menulis. Bisa dipastikan, ruangan yang tersisa untukmu sangat kecil. Paling banter kans yang memungkinkan adalah surat pembaca atau iklan kecik.
Maka dari itu, artikel di koran cetak, kebanyakan, diisi oleh para profesor doktor, artis, atau tokoh politik. Calon penulis, apalagi yang tidak punya modal kapabilitas yang mumpuni, lebih baik minggir dulu, mencari jalan lain.
Hingga kemudian booming media sosial seperti Facebook dan Twitter, membuat penulis pemula mendapatkan ruang supaya tulisannya menemukan pembaca. Pangsa pasar baru ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Maka kemudian lahir kanal online yang menerima tulisan dari pihak luar, sebut saja Mojok, Kumparan, Kompasiana, Qureta, dan masih banyak lainnya.
Tentu kemunculan media-media itu diiringi tumbuhnya penulis muda yang bersinar pada masanya. Sebut saja Puthut EA, Iqbal Aji Daryono, Agus Mulyadi, Hasanudin Abdurrakhman, Jonru Ginting, dan sebagainya.
Bisa jadi, riuhnya dunia tulis-menulis waktu itu karena dipengaruhi suasana politik yang menghangat. Muncul kubu-kubuan. Saling balas membalas tulisan. Jonru dkk., di satu sisi, berhadap-hadapan dengan Iqbal dkk., di sisi yang lain.
Kondisi keterbukaan berwacana mendapatkan tempat yang memadai dengan luasnya media. Hal ini bagi beberapa kalangan ditangkap sebagai sebuah peluang. Sebagai sebuah pasar yang terbuka.
Seiring luasnya ceruk pasar, membuat penulis bergenre palugada menjamur. “Apa lu minta gue ada”. Apa pun tema tulisan, bisa ditulis siapa saja. Bergesernya mereka yang tersegmentasi, di era koran cetak, beralih menjadi penulis yang serba ada, dan bisa.
Pandangan personal para penulis terhadap berbagai isu sangat menarik untuk dinikmati pada masa kini. Pembaca nampaknya tidak begitu peduli terhadap kapabilitas latar belakang penulis. Asal tulisannya enak dan renyah untuk dinikmati, jadilah ia seorang penulis idaman.
Fenomena ini lantas membuat penulis pemula, setelah era Iqbal Aji dkk., berlomba-lomba untuk mengikuti jejak langkah mereka. Tulisan-tulisan nakal khas warung kopi bisa muncul ke permukaan.
Pertarungan antarpemula makin sengit, dengan ruang penerimaan naskah yang tidak beranjak. Saya mendengar isu, untuk di Mojok sehari bisa 100 naskah masuk, belum lagi media lain. Mereka sungguh-sungguh penulis muda yang tangguh. Tapi lebih tangguh redakturnya, sih, yang harus menyeleksi puluhan bahkan ratusan naskah setiap hari.
Ketika para pemula mulai merintis jalan karier kepenulisannya, lalu apa kabar penulis kawakan tadi? Ya mereka tetap saja menulis, tentu tanpa bersaing seperti yang lain. Dan satu lagi, mereka memperluas akses kepenulisannya.
Mereka, penulis kawakan yang usia sebenarnya masih muda, tetap menulis dengan tekun. Seperti biasanya. Lalu mengumpulkannya dan menjadikan buku.
Penulis serba bisa, begitu saya menyebutnya. Mereka yang tidak hanya menulis. Bisa sebagai guru, bisa pedagang, bisa marketing, bisa pengusaha.
Bisa sebagai guru, manakala sedang berlaku sebagai mentor atau narasumber pada pelatihan, seminar, atau workshop. Kadang datang sebagai undangan, kadang bersama manajemennya berlaku sebagai pihak penyelenggara.
Bisa sebagai pedagang, manakala ia sedang menjual buku-bukunya. Penulis andal era kini tidak hanya piawai merangkai kata. Mereka dituntut lebih. Bisa menjadi editor, kadang me-layout sendiri naskahnya. Beberapa punya kelebihan desain grafis, malah sekalian membuat cover bukunya. Mencetaknya, lalu menjualnya sendiri.
Bisa juga marketing, ketika sedang mempromosikan buku-bukunya. Berbekal nama besarnya, tak sulit bagi penulis kesohor untuk mempromosikan buku-bukunya.
Berbekal followers seabreg, murid yang tersebar, akses terhadap ruang publik sudah ia genggam. Rasanya, meluncurkan satu atau dua gambar promo lengkap dengan caption menarik di media sosialnya, niscaya mampu membuat oplah penjualan bukunya naik berkali lipat.
Maka jika untuk aktivitasnya itu diperlukan kantor, nampaknya penulis ini perlu membuat banyak kantor. Ruang kerja di rumah, untuk kegiatan menulis. Ruang guru, untuk aktivitasnya menjalani mentor kelas-kelas penulisan. Toko buku, untuk aktivitasnya dalam penjualan. Dan satu lagi, ruko untuk tempat marketingnya.
Tapi sekat-sekat ruang kantor itu juga sudah bergeser. Sekarang semua bisa di-handle lewat genggaman tangan, melalui gawai. Semua aktivitas bisa dilakukan tanpa menggeser pantat.
Lalu bagaimana nasib penulis pemula seperti saya dan kawan-kawan ini? Saya kira pilihan realistisnya adalah terus berlatih menulis, dengan tekun. Kalau sudah pintar, nanti bisa memperluas akses, seperti jejak para pendahulu. Itu juga kalau tren mereka belum berubah.
BACA JUGA Sulitnya Menemukan Studio Musik di Masa Sekarang atau tulisan Sofyan Aziz lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.