“Kok di Mataram jarang terlihat rumah makan Padang ya?”
Pertanyaan itu dilontarkan istri saya di suatu sore saat senja lagi indah-indahnya. Saat itu kami sedang menikmati jalan-jalan pertama sejak ketegangan akibat corona mulai surut. Kami berkeliling sepanjang kota Mataram, dan memang benar hampir tidak ada saya temukan rumah makan Padang hari itu. Bahkan beberapa rumah makan Padang yang dulu pernah menghiasi kota Mataram kini sudah berganti dengan warung makan Sasak.
“Beda banget sama di Jogja hampir sepanjang jalan kita temukan Rumah makan Padang.”
Perkataan istri saya mengingatkan saya pada rumah makan Padang yang berdiri dengan gagahnya di sepanjang jalan Kaliurang. Kamu bisa temukan belasan rumah makan Padang di jalan Kaliurang. Akhirnya timbul pertanyaan saya kenapa bisa di Jogja ada begitu banyak rumah makan Padang sedangkan di Mataram yang secara homogenitas masyarakatnya mirip-mirip dengan Jogja jarang ditemukan rumah makan Padang?
Dari riset sederhana saya menemukan beberapa alasan kenapa rumah makan Padang bisa sebegitu menjamurnya di Jogja, sedangkan di Mataram rumah makan Padang yang semakin tenggelam dalam ketiadaan.
Pendatang di Jogja lebih banyak dari pendatang di Mataram
Jogja sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan Mataram sama-sama banyak didatangi Mahasiswa dari berbagai penjuru daerah. Bedanya Jogja dari berbagai penjuru daerah Indonesia, Mataram dari berbagai penjuru NTB. Ada sih beberapa warga yang datang dari luar NTB tapi tidak terlalu banyak jumlahnya.
Selain dari golongan mahasiswa Jogja juga banyak didatangi oleh mereka yang ingin mencari peruntungan dunia kerja serta kehidupan yang lebih baik. Meski kota Jogja tidak lebih besar dari kota Mataram namun imej Jogja di mata orang sudah tertanam, bahwa Jogja adalah kota yang bisa menyajikan romantisme dan ramah terhadap pendatang.
Sebagai orang yang pernah merasakan tinggal di Jogja saya tidak menolak bahwa ada nuansa magis nan romantis, hanya saja saya tidak tahu apakah disebabkan lagu Kla Project atau memang suasana Jogja yang mengundang rindu terkadang sendu. Namun kalau mengenai keramahan warganya sudah tidak usah ditanya, memang benar adanya. Mungkin itu juga alasan pendatang lebih banyak datang ke Jogja dan berbagai jenis makanan juga lebih banyak tersedia, termasuk rumah makan Padang.
Sudah banyaknya makanan pedas di kota Mataram
Makanan asli Lombok sudah dari sananya pedas. Beda dengan makanan asli Jogja yang lebih manis. Dengan banyaknya pendatang dari luar di Jogja, yang mungkin kebanyakan menyukai makanan pedas, makan nasi Padang adalah pilihan yang bijak. Saya saja sebagai orang Lombok begitu gemar makan di rumah makan Padang ketika Jogja karena alasan itu.
Sayangnya di Lombok hampir semua jenis makanan itu pedas. Saya sengaja menyebut hampir untuk membuka peluang jika ada kesalahan data. Mungkin ada makanan khas Lombok yang tidak pedas, atau warung makanan dari daerah lain yang tidak pedas yang tidak saya temukan. Bahkan cemilan di Lombok, wabil khusus Mataram pun lebih banyak jenis cemilan pedas ketimbang manis. Bisa jadi itu menjadi salah alasan mengapa rumah makan Padang susah bertahan di Mataram karena telah banyak jenis makanan pedas di Mataram.
Harga makanan jauh lebih murah di Mataram
Sebenarnya bukan hanya makanan, harga properti, sewa kos, dan harga-harga lain Mataram memang jauh lebih murah. Makanya saya rada heran ketika mendengar orang mengatakan bahwa di Jogja itu enak murah-murah. Murah gundulmu. Mungkin benar jika perbandingannya adalah Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Tapi kalau dengan daerah lain belum tentu.
Misalnya di Mataram dengan sewa kos 4000-600ribu kamu sudah dapat kos-kosan dengan fasilitas kamar mandi di dalam ditambah lemari, kasur, dan dapur yang sudah tersedia. Di Jogja jangan harap bisa dapat yang seperti ini. Belum lagi ada kos-kosan dengan fasilitas ramah terhadap pasangan tanpa buku nikah dari penggrebekan ormas, warga yang suka ikut campur, bahkan dari Pol PP. Datangi saja kos-kosan yang dimiliki orang bernama Made, Ngurah, atau Putu dijamin aman dari penggerebekan. Ups, lupa “Mataram kota ibadah” adalah jargon kota Mataram. Bagian ini boleh dilupakan.
Soal makanan tentu jauh lebih menggoda, jika burjo seharga 7,500-8,000 rupiah hanya dapat nasi telur maka di Mataram 4,000-6,000 sudah dapat nasi balap lauknya ayam, tempe, mie dengan tambahan sayur. Itu saya membandingkan dengan burjo, warung makan paling murah bagi anak kosan di Jogja.
Nasi balap jika dibandingkan dengan nasi kucing yang harganya mirip juga tidak akan kalah. Sudah namanya lebih keren, nasi balap atau akrab disapa Racing Race ini tidak kalah dari segi porsi mau isi. Sudah isi memiliki lauk yang lebih banyak, porsinya juga lebih banyak dari nasi kucing. Bayangkan perut gembul mahasiswa kelaparan yang butuh tiga bungkus nasi kucing untuk kenyang. Segembul-gembulnya kamu hanya butuh dua bungkus nasi balap untuk kemudian nyenyak berhibernasi.
Jika kamu mau yang lebih wah lagi agak ke utara sedikit dari pusat kota maka kamu akan menemukan nasi belut seharga lima ribu rupiah dengan menu yang luar biasa dan porsi yang menggoda mahasiswa. Setelah kamu memakannya mungkin kamu bisa seperti Gusti Aditya membanggakan diri pernah makan belut dan mengisinya dalam kolom atribusi.
Jika di Jogja rumah makan Padang sudah masuk kategori makanan murah, maka di Mataram makanan tersebut masuk kategori makan rada mewah. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan di tengah gempuran makanan murah kota Mataram.
Jadi wajar jika di Jogja rumah makan Padang sukses mengkoloni warung makan Jogja dan gagal mengkoloni warung makan di Mataram. Secara makanan di Mataram sudah berdikari dari segi rasa maupun citra.
BACA JUGA Riset Saya untuk Membuktikan Apakah Penjual Nasi Padang Memang ‘Bias Gender’ dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.