Saya pernah melihat cuitan seseorang yang isinya kurang lebih bisa menahan belanja, pamer, dan banyak hal kecuali ghibah—membicarakan orang lain. Saat ini, tidak seperti jauh beberapa waktu sebelumnya, membicarakan orang apalagi soal keburukannya seakan hal yang lumrah. Baik secara langsung pun dalam thread di media sosial atau postingan di story.
Kini, jika tidak bisa menahan diri, aksi ghibah bisa dilakukan di mana pun—kapan pun. Pembuka obrolannya pun beragam dan biasanya dimulai dari basa-basi, “eh, Maemun sekarang kabarnya gimana, ya?”. Walaupun kalimat pembuka terbilang baik—menanyakan kabar—jika tidak dihentikan biasanya akan berujung ke membicarakan banyak hal tentang orang tersebut—tak jarang tentang hal negatif.
Kemudian yang lebih menyebalkan daripada itu adalah mereka yang seringkali ingin ghibah dan sudah pasti menjelek-jelekan, namun dengan lembut dan halusnya menggunakan dalih, “bukannya mau ngejelek-jelekin ya, tapi dia tuh nyebelin banget” dan seterusnya tergantung apa yang ingin dibicarakan.
Saya sendiri bukan manusia suci yang tidak pernah membicarakan orang lain di belakang, sebagai manusia biasa yang tidak tahan untuk julid dan ghibah secara proporsional jika ada sesuatu yang dianggap menarik diperbincangkan saya dan teman-teman pasti akan beraksi sebagaimana mestinya. Tapi tidak pernah sekalipun kami menggunakan kalimat, “bukannya mau ngomongin atau jelek-jelekin, ya” di awal. Sebab, kami sadar bahwa selembut apa pun penyampaiannya, sebaik dan sebagus apa pun ceritanya, ghibah tetaplah ghibah.
Lagipula, jika mau memperbincangkan keburukan orang lain baiknya jangan setengah-setengah. Kalimat seperti itu tidak akan membuat orang yang melakukan ghibah menjadi suci dan dianggap tidak bersalah. Lebih baik lagi ya tidak perlu membicarakan keburukan orang lain karena tidak ada gunanya sama sekali—tidak akan menyelesaikan masalah atau persoalan dengan teman.
Jika memang ada masalah dan harus segera diselesaikan alangkah baiknya bertemu dan berbincang. Hal demikian yang menjadikan seseorang tumbuh menjadi sosok yang bijak, terbuka terhadap pendapat, serta dewasa. Paling tidak berani mengungkapkan pendapat atau jujur kepada orang lain jika memang ada perilaku yang kurang atau tidak menyenangkan.
Pikir saya, justru akan lebih terkesan munafik jika yang suka berghibah ria namun selalu berlindung dengan tameng penyampaian “bukannya mau ngomongin kejelekan dia, ya, tapi..” Selain untuk memperbicangkan orang lain, kalimat tersebut juga bisa digunakan untuk seakan-akan mau merendah, tapi tetap saja berakhir dengan kesombongan “bukannya mau sombong, ya..” tapi ujung-ujungnya juga ya sombong.
Entah apa maksud dan tujuan kalimat tersebut. Selain tidak membuat seseorang kemudian menjadi baik, ungkapan tersebut juga hanya akan berujung kepada hal negatif dan seringkali kontradiktif. Yang seperti itu bahkan tak jarang memang bertujuan untuk menyampaikan hal yang negatif. Mulai dari ngomongin orang, sombong, juga hal mudarat lainnya.
Maka tidak heran jika selanjutnya akan ada lagi ungkapan-ungkapan bukannya mau-bukannya mau yang lain. Semisal, “bukannya mau melecehkan, ya”, “bukannya mau menjerumuskan ke hal yang baik, ya”, dan lain sebagainya yang bahkan lebih parah dan memuakkan.
Sejujurnya, saya sendiri sudah tidak mempermasalahkan juga mempedulikan omongan orang lain di belakang tentang diri saya. Sebab hal itu dirasa tidak ada gunanya dan tidak memberi keuntungan sedikit pun bagi kehidupan saya. Masih banyak teman juga keluarga jika saya salah, mereka lebih memilih berbicara dan mengingatkan secara langsung. Bukan hanya ngedumel.
Jika saya mengetahui ada seorang teman yang mejadikan saya sebagai bahan ghibah, biasanya saya tertawa dan mengambil keuntungan dari hal tersebut. Segala kekurangan yang relate dengan pekerjaan, bisa dijadikan bahan diskusi ketika ditanya kekurangan saat wawancara kerja—dasar oportunis.
Selain itu, saya juga selalu terngiang-ngiang kalimat “what doesn’t kill you makes you stronger” saat sedang ada masalah—untuk keren-kerenan agar terkesan kuat padahal hati menangis teriris. Bagi saya quote nan sok menguatkan tersebut bisa diaplikasikan saat mendengar celotehan orang di sekitar.
Lagipula kenapa sih kebanyakan dari kita suka mengurusi hidup orang lain? Memangnya kekurangan masalah hidup ya, sampai harus mencari-cari masalah untuk diributkan? Ingat, kesehatanmu itu, lho.