Sejak swakarantina dan kehilangan tujuan hidup, banyak hal aneh yang saya lakukan. Mulai dari membuka kembali playstation 1 yang sudah berdebu, hingga download aplikasi-aplikasi “tabu” macam Primbon dan Bigo Live. Terkhusus yang saya sebut terakhir, setidaknya telah membuat saya betah dan rela membuang-buang kuota malam dengan ikhlas.
Awalnya, saya kira aplikasi ini sama dengan Ome TV. Dua orang saling berhubungan secara random, uluk salam, atau hal aneh lainnya. Ya, mirip-mirip seperti Omegle, lah. Bisa berjumpa melalui video call atau hanya menggunakan chat saja. Eh, jebul, Bigo Live ini hanya berupa komunikasi satu arah di mana sang host menampilkan “kebolehannya” kepada viewers-nya.
Saya langsung tertarik lantaran konsepnya yang nggak bikin repot. Kita bisa bebas melihat siapa dan skip saja tanpa perasaan bersalah setelahnya. Berbeda dengan Ome TV yang kebanyakan bocil atau mas-mas nggak pakai baju yang kadang kala bukannya ngobrol, malah ngajak gelut dan adu bacot. Meskipun anehnya, saya justru meladeni pisuhan mereka.
Sebenarnya ada beberapa alasan yang membuat saya betah mampir ke aplikasi ini. Misalnya soal soal konsep dan beberapa hal lainnya. Tentu saya tidak akan membicarakan keunggulan secara fitur karena sejujurnya saya juga nggak paham-paham amat berbagai fitur di aplikasi ini. Namun, interaksi sang host, terkadang bikin saya terharu, kesemsem, atau malah kemekelen.
Pertama, konten yang mulai beragam. Saya nggak katakan mendidik lho ya, karena banyak host yang masih menampilkan konten dewasa atau senonoh sebagaimana Bigo Live hadir di awal tahun perilisannya. Namun, banyak juga yang kontennya mulai bervariasi dan menghibur. Semisal masak, mukbang, uji nyali, hingga lihat orang tidur.
Contoh terakhir yang saya sebutkan itu benar-benar terjadi. Ada mas-mas yang entah ketiduran waktu live atau jenis kontennya memang seperti itu. Saya nggak tahu persis. Tetapi yang jelas blio benar-benar tidur. Yang bikin nggak habis pikir, ada ratusan orang menontonnya. Makin nggak habis pikir lagi, saya pun malah ikutan nonton. Sebenarnya saya berharap mas itu kepentut atau ngorok, tapi harapan saya sama sekali nggak terwujud.
Kedua, konten uji nyali yang kadang-kadang bikin kemekelen setengah mati. Siapa sih yang nggak kemekelen kala suasana hening, nyenyet dan medeni, tiba-tiba hostnya bilang “gift supercar ntar aku masuk kamar mayat”. Maksud saya, ayolah, yang tadinya spaneng, tiba-tiba saya ngekek sendiri di kamar.
Bigo Live bisa bikin kita berinteraksi langsung dengan si empu konten ini. Syukur-syukur berinteraksi dengan makhluk astral. Tapi, terkadang demit-demit yang mampir di kamera itu hanya settingan belaka. Tapi tetap saja, konten seperti ini bisa bikin merinding sekaligus ngakak dalam satu waktu.
Host seakan memberikan kuasa pada penontonnya dan sang host dapat imbalan berupa gift dari pemirsanya. Kita tidak bisa menyuruh Harry Pantja dalam tayangan Dunia Lain untuk melakukan ini itu, tapi kita bisa menyuruh host Bigo Live untuk masuk kamar mayat hanya dengan gift dan star saja.
Ketiga, konten mukbang yang nggak biasa alias mbois puol. Antara takjub, gagal fokus, malu, dan acungi jempol menjadi satu. Ketika para YouTuber mukbang di ruang tertutup atau di tempat khusus, para host Bigo Live yang mengusung konten mukbang ini menggelar acara di warungnya langsung!
Selama live, kita bisa lihat para pegawai restoran lalu lalang, para pengunjung restoran lain yang bingung dan mungkin saja mbatin “ini anak makannya mbadog tenan”. Lha yang makin bikin saya kemekelen, para host ini makannya belepotan minta ampun dan pastinya ditonton satu restoran.
Keempat, tempat cari referensi musik. Ketika kebanyakan orang bertanya kepada mas-mas barista masalah konsumsi musik, saya mendingan lihat para host ketika live. Musiknya itu lho, jedag jedug berasa lagi di Sekaten. Tidak adanya copyright, menjadikan platform ini bebas menggunakan lagu apa saja.
Kebanyakan host memang menggunakan musik disko ala-ala pasar malam. Tapi banyak juga yang berprofesi sebagai disk jockey membuat konten main musik berjam-jam lamanya. Berasa DWP-an di kamar, kan.
Kelima, banyak artis yang bikin konten di platform ini. Banyak sih, tapi juga kebanyakan saya nggak hafal. Kebanyakan adalah artis sinetron, konten mereka hanya ngobrol-ngobrol tapi kita bisa tahu sisi lain si artis tersebut. Ya, kata kolom komentar sih, “Berasa video call sama artis”.
Saya pernah menggunakan fitur video call dan disetujui oleh salah satu host. Iseng saja saya tanya: Apa lingkungan sekitar nggak kasih stigma aneh-aneh lantaran bikin konten di platform ini? Blio pun menjawab begini, “Bigo Live adalah tempat cari makan. Sama kan seperti masnya yang kerja di tempat kerja, kebetulan nih tempat saya di Bigo Live. Tempat yang sering dilihat sebelah mata.”
Dengan mata kantuk, blio kembali bercerita, “Ketika tempat kerjaan (yang sesungguhnya, red) belum bisa nutup ongkos dapur, ya larinya ke sini. Asal nggak macem-macem, semoga uangnya nggak obong (intinya semoga berkah, red).”
Bigo Live sama seperti televisi. Kamu bebas menonton apa yang kamu mau. Swap dalam Bigo Live sama halnya dengan skip dalam YouTube atau remot dalam televisi. Kita bebas mengatur tontonan, konten dan host yang disukai. Memang ada yang ndablek, bikin konten di luar nalar. Hal itu pasti ada dan selalu ada.
Sejatinya Bigo Live sama dengan platform lainnya. Apa pun itu. Baik atau tidaknya nggak bisa dipukul sama rata, tapi masing-masing penggunaannya lah yang memberikan dampak. Baik dampak kecil, maupun dampak besar.
Istilahnya adalah karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Juga, dibalik manja suara, “Gift supercar-nya, kaka,” tersimpan rasa lelah yang sama dengan manusia pada umumnya.
BACA JUGA Auto Base dan Kecenderungan Bersembunyi di Balik Akun Anonim dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.