Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Air Matamu Adalah Komoditi bagi Televisi

Gusti Aditya oleh Gusti Aditya
28 Mei 2020
A A
Fungsi Menanyakan Agama Orang Itu buat Apa, sih? terminal mojok.co tiktok war tanya agama sopan atau nggak

Fungsi Menanyakan Agama Orang Itu buat Apa, sih? terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Sensor hanyalah ranah gelap dalam menyaring apa yang layak dan tidak layak bagi visual televisi. Bukan menuju ranah studi lebih lanjut mengenai perkembangan pikiran seseorang atau apa yang akan dihasilkan oleh tayangan tersebut nantinya. Sisi etis menjadi normatis, mengambang jauh dari apa yang coba dikembangkan secara manis.

Lembaga memang tidak pernah menyarankan sensor bagi entrok Sandy Tupai dan bikini milik Shizuka, namun hasil dari pengalaman sensor, yang acap kali mendapatkan teguran adalah belahan dada ketimbang perkataan licin para wayang acara televisi, menimbulkan ketakutan sendiri sehingga stasiun televisi melakukan sensor mandiri yang terkadang di luar nalar. Padahal, apa yang visual dan lisan hadirkan itu sama-sama berbahaya. Kata “bajingan” dan hinaan verbal padahal sama-sama berbahaya, namun salah satunya bisa lolos dan dibalut dalam kata “komedi”.

Persetan dengan persoalan dan pengkajian ranah etis, dalam hal rating, kumpulan kepala yang berisi otak ini hanyalah kuantitas angka. Hal ini berlangsung ajeg menjadikan budaya baru. Ketika apa yang disaksikan hal etis yang mengambang, maka budaya baru ini menjadi tidak jelas arah dan tujuannya. Kita hanyalah sapi perah industri televisi, tidak kurang dan tidak lebih.

Mau tidak mau, televisi menjadi budaya. Dan, mau tidak mau pula, acara-acara di dalamnya berperan sebagai penggerak kebudayaan tersebut. Sejak “tumbangnya” TVRI dan menjamurnya televisi milik swasta, tentu bau-bau pesing televisi mulai bertebaran dengan damai. Politik milik pemilik, juga program asal-asalan yang menggali rating dan share para penikmatnya. Mereka terus dijilat, kemudian diludahi dengan tanpa meninggalkan apa pun juga. Polanya sama, rating tinggi maka acara tetap jalan. Tidak peduli bagaimana kualitasnya.

Ada beberapa faktor yang menjadikan sebuah program memiliki rating yang tinggi. Pertama adalah sensasi, jelas ini menjangkiti pemirsanya dengan cerita bohong dan dibalut dengan label reality show. Kedua, tokoh utama yang selalu tersiksa. Sudah muncul dalam opera sabun yang mulai menjamur sejak awal milenium, tokoh utama selalu disiksa dan dibuat kalah habis-habisan.

Ketiga, yang menjadi payung untuk faktor pertama dan kedua, yakni derai air mata. Apa pun acaranya, baik itu opera sabun atau sinetron, film televisi, sketsa religi hingga pencarian bakat, kesedihan merupakan upah yang harus disetorkan untuk para penikmatnya. Entah pola semacam ini dimulai sejak kapan, yang jelas, jika host sudah mengatakan, “tanpa disadari, kita sudah mendatangkan….” maka air mata objek dan subjek adalah lahan gembur untuk menggali rating program tersebut.

Sudah hilang keberanian sebuah stasiun televisi menaruh acara-acara non-tangisan untuk diletakkan di jam prime time. Mulai dari sinetron yang menampilkan tokoh utamanya disiksa dan menengadahkan tangan sembari berdoa, FTV azab yang tentunya berlinang air mata atau reality show yang sanggup membayarkan hutang pun selalu menampilkan sisi sedih objeknya.

Acara-acara amal seperti membangun rumah, membayar utang dan memberikan uang untuk dihabiskan dalam tempo beberapa menit pun selalu mengisahkan latar belakang subjek yang terjerembab dalam kemiskinan dan kesedihan. Subjek menangis, kita sebagai objek pun turut bersedih. Semakin sedih, maka semakin menarik.

Baca Juga:

Saya Rindu Jember, tapi Tidak dengan Kenangan Buruknya

3 Alasan yang Bikin Saya Enggan Punya TV di Rumah

Televisi menjadi sebuah pertumpahan kreativitas yang sudah hilang kreativitasnya. Opera sabun kejar tayang dengan premis cerita yang begitu-begitu saja seakan dijejeli kepada si penikmat. Ketika platform digital lain menghasilkan sebuah karya yang bisa dinikmati dan diambil nilainya, maka televisi tak ubahnya menjadi sebuah mesin yang mencetak derai air mata.

Dalam kontes pencarian bakat, baik itu bernyanyi, menari, melawak hingga hapalan ayat suci pun air mata seakan harus diperas. Rasanya tak pantas untuk menangis, namun selalu ada saja momen di mana peserta ajang pencarian bakat itu harus menitikkan airmata. Entah memori kepada keluarga, atau karena kehilangan hewan kesukaannya lantaran kejar tayang sebuah air mata untuk mendongkrak rating program tersebut.

Kita terjebak di dalam lini masa di mana rasa duka Bunga Citra Lestari yang tidak lepas dari sorot kamera Indonesian Idol ketika Judika melantunkan lagu sedih. Seakan kamera tak mau lepas dari tiap tetes air mata dan kuyunya kantung mata hitam BCL yang ia tuangkan malam itu. Atau seorang gadis yang meraung-raung lantaran ditinggalkan dalam Rumah Uya dan ditutup dengan sebuah ceramah. Entah ceramah apa, yang jelas bukan kajian dosa berbohong kepada publik.

Ah, apalah kata dosa dalam ranah pertelevisian Indonesia. Televisi bukan hanya hitam dan putih, namun telah menjadi abu-abu yang kusut dan siap menjerat siapa pun juga. Bagaimana hebatnya Uya Kuya menengahi konflik, kliennya menangis lantaran kesedihan ditinggalkan oleh pacarnya, sedangkan dalam “Bumi & Manusia” di TV One bahwa Pak Budi tak setetes pun menangis padahal sawahnya gagal panen karena erupsi Gunung Bromo 2011 silam.

Ya, air mata adalah hak segala bangsa. Begitu pula klien Uya Kuya sekalipun berhak untuk menangis. Pak Budi pun dalam keheningan malam, barangkali hatinya runtuh karena sawah garapannya gagal panen raya. Namun, Pak Budi tidak menjual kesedihannya di depan kamera. Bukan bermaksud membandingkan kesedihan, namun yang ditanggung Pak Budi adalah keluarganya yang menaruh kehidupan mereka kepada sawah yang kini tertutup oleh abu.

Ditinggal pacar memang sedih. Barangkali manusia paling religius jika dihadapi permasalahan itu akan menangis. Namun, apa yang bisa diambil dari acara semacam “Katakan Putus”, “Rumah Uya” dan kawan-kawannya? Menghadirkan pesan tersirat melalui tokoh yang memberikan solusi? Ayolah, secara konsep saja sudah salah.

Rating menjadikan televisi bak kuburan masal yang memang sudah sepantasnya ditangisi. Bukan ditangisi karena programnya yang bikin haru, namun sebuah tangis melihat tayangan-tayangan saling sikut guna memperoleh rating, berani mengorbankan apa saja termasuk mutu dan otak.

Seperti yang pernah saya katakan, televisi tidak akan pernah mati selagi masih ada stasiun televisi yang mau memperjuangkan kualitas dari program-programnya. Namun, yang menjadi pertanyaan, kuat berapa lama program berkualitas ini menahan gempuran rating yang mencari derai air mata ketimbang otak yang berputar?

BACA JUGA Melihat Bagaimana Sinetron Indonesia Mencekoki Kita dengan Budaya Patriarki atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 1 Oktober 2025 oleh

Tags: kesedihanmenjual kesedihanratingtelevisi
Gusti Aditya

Gusti Aditya

Pernah makan belut.

ArtikelTerkait

Meninjau Jam Tayang Baru Tonight Show Setelah Vakum Satu Bulan Tonight Show dan Rating Televisi yang Menggerogotinya Tidak Merindukan Televisi Karena Ada Vincent Desta Show

Tidak Merindukan Televisi karena Ada Vincent Desta Show

14 Mei 2020
Polisi Virtual, Pisau Mata Ganda bagi Pemerintah terminal mojok.co

Anak Tukang Sayur Jadi Polisi Itu Istimewanya di Mana?

22 April 2021
Menerka Alasan Alur Cerita Sinetron di Indonesia Banyak yang Absurd terminal mojok.co

Ada Demo Tolak Omnibus Law, Semua Televisi Malah Diblok Acara Ruangguru

17 Juli 2020
Flash Sale Shopee Memang Bergerak Lebih Cepat dari Kecepatan Cahaya terminal mojok.co

Shopee, Sarangnya Orang-orang Minim Literasi

14 November 2020
rating review mojok

Pengalaman Saya Menjalani Bisnis yang Bergantung Pada Review dan Rating

26 Juli 2020
10 Lagu Taylor Swift untuk Menemani Momen Nangis Brutal

10 Lagu Taylor Swift untuk Menemani Momen Nangis Brutal

31 Mei 2022
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025
Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan

Gresik Utara, Tempat Orang-orang Bermental Baja dan Skill Berkendara di Atas Rata-rata, sebab Tiap Hari Harus Lawan Truk Segede Optimus!

30 November 2025
5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

2 Desember 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.