Kali pertama saya ingin belajar mengendarai motor adalah sewaktu SMP—saat itu usia saya 14 tahun. Jujur saja, waktu itu saya iri melihat beberapa teman sebaya yang sudah fasih mengendarai roda dua tersebut, bahkan ada pula yang membawa motornya ke sekolah. Dia dibelikan motor oleh orang tuanya setelah merengek dan mengancam tidak akan masuk sekolah sebelum motor ada di rumah.
Pikir saya waktu itu—bayar uang bulanan saja sudah mahal kok ya bisa-bisanya mengancam orang tua dengan hal yang belum dikatakan penting-penting amat. Ya, mungkin karena sayangnya orang tua kepada anak, daripada sekolah terbengkalai lebih baik dikabulkan saja permintaannya.
Walau saat itu saya sudah belajar mengendarai motor, tapi belum pernah terbesit sedikit pun di pikiran untuk membawa motor ke sekolah—terlebih saya masih SMP—belum cukup batas minimal untuk seseorang membawa kendaraan. Jadi secara otomatis dan sudah menjadi rahasia umum bahwa anak SMP yang membawa motor ke sekolah pasti belum memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi).
Dari info yang saya ketahui, batas usia minimum ter-update untuk pembuatan SIM golongan C adalah 16 tahun. Namun, saat ini banyak sekali remaja bahkan anak-anak di bawah umur yang ditentukan sudah mengendarai motor di jalan besar dan seringkali tidak mengindahkan peraturan saat membawa kendaraan.
Tidak memakai helm pun pengaman yang lain, mengendarai dengan sembarang—asal ngebut dan ugal-ugalan—jika belok tidak menggunakan lampu sen—yang mana dapat membahayakan pengendara lain—juga tidak mawas diri melihat spion jika ingin menyusul kendaraan lain atau saat keluar dari gang. Betul-betul berpotensi membahayakan pengemudi juga orang lain di sekitarnya.
Tentu, kemudian hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama khususnya bagi para orang tua. Tidak perlu lah mengikuti permintaan anak untuk mengendarai kendaraan sendirian apalagi hanya sekadar gaya-gayaan atau ikut-ikutan teman. Jika tidak dicegah, kecelakaan akan menjadi sesuatu yang paling tidak diinginkan. Bukannya saya mendoakan yang buruk, tapi sudah banyak kasus yang seperti demikian.
Saya sendiri baru membawa kendaraan setelah memiliki SIM, tepatnya saat kelas 2 SMA sewaktu usia sudah 17 tahun. Dengan penuh kehati-hatian sekaligus gemetaran saya berkendara karena saya sadar yang namanya jatuh cinta itu pasti akan berujung dengan sakit. Itu kenapa memakai atribut keselamatan merupakan suatu kewajiban dalam berkendara.
Selain itu, harus juga mematuhi rambu lalu lintas, yang sering dan biasa ditemui adalah lampu lalu lintas—biasa disebut dengan lampu merah—tujuannya jelas agar lebih tertib dalam berkendara sehingga kecelakaan bisa diminimalisir. Perlu diingat juga, gunakan lampu sen beberapa saat sebelum berbelok.
Pada saat teledor, saya pernah jatuh dari motor hanya karena sudah pede memberi lampu sen namun abai untuk melihat spion dan tidak hati-hati terhadap pengendara lain yang sedang melaju motornya dengan cepat. Alhasil kaki saya memar, meski jatuh dan motor bebek saya sedikit rusak, beruntung tidak sampai berujung dengan rawat inap di Rumah Sakit.
Seringkali saya melihat anak-anak mengendarai motor, sudahlah tidak memakai helm, menerobos lampu merah pula. Entah memang karena si anak nekat padahal sudah diberitahu sebelumnya, atau memang orang tuanya yang tidak peduli akan hal tersebut –anak dibiarkan saja membawa motor tanpa diberi teguran tegas. Sayangnya memang di tempat tersebut jarang ada polisi yang jaga, sehingga banyak orang yang berkendara dan tidak mengindahkan peraturan begitu nyamannya berlalu-lalang.
Saya sebagai masyarakat biasa paling tidak ikut menghimbau melalui tulisan kepada para orang tua di mana pun berada, agar mencegah anak yang masih di bawah umur untuk berkendara. Masa depan dan nyawa mereka terlalu berharga untuk ditukar dengan sebuah keegoisan. Apalagi jika orang tua merasa sudah cukup hanya dengan menyampaikan teguran.
Boleh jadi, minat dan bakat anak adalah motor-motoran tapi tentu ada tempat yang layak untuk balapan dengan tidak mengabaikan perlengkapan keselamatan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian serta arahan dari orang tua, syukur jika memang kelak ada dukungan bagi anak agar potensi dan cita-cita tidak hanya sekadar harapan.