“Saya orang Indonesia. Tapi saya tidak suka dangdut.” Pernyataan ini keluar dari mulut salah satu teman saya yang mungkin sudah muak dengan stereotip bahwa semua orang Indonesia pasti suka dangdut. Perlu dicatat bahwa dia hanya ada di level tidak suka—tapi bukan lantas membenci. Stereotip yang mengakar dan menyebar ini membuat dia merasa menjadi korban menyerataan selera. Meskipun banyak orang pula yang mengamini stereotip tersebut.
Bagi teman saya, dangdut—secara budaya maupun secara musikal—adalah hal yang tidak cukup menarik untuk dikulik. Minimnya kritikus dangdut dirasakan oleh teman saya seperti hal yang biasa-biasa saja dan tidak pantas untuk disematkan pada identitas kebangsaan atau semacamnya. Dia juga beranggapan bahwa tidak ada hubungannya antara selera musik dengan nasionalitas. Nggak nyambung!
Jika dilihat dari sejarahnya, dangdut adalah musik yang tercipta dari berbagai macam karakteristik musikal yang pernah memapar Indonesia. Musik Melayu, musik India, Arab, hingga musik Rock menjadi landasan terbentuknya aliran musik ini yang masih popular hingga saat ini. Berawal dari dangdut klasik yang cukup kompleks dan elit, hingga koplo ala Pantura dengan segala gimmick-gimmick yang disajikan menjadi perjalanan panjang musik dangdut hingga saat ini.
Perjalanan panjang dan kekhasan itulah yang membuat musik ini—langsung maupun tidak langsung—tersemat sebagai identitas kebangsaan. “Kamu tidak suka dangdut? Wah, tidak nasionalis kamu. Tidak Indonesia.” Pernyataan ini juga sering keluar dari mulut-mulut orang yang mengetahui bahwa teman saya tidak suka dangdut. Saya sendiri juga masih belum tahu pasti, apa alasan teman saya tidak suka dangdut.
Salah satu dugaan saya adalah, bahwa teman saya ini adalah anak dari seorang bapak yang cukup Rock ‘n Roll. Ini bermula dari era 80-an ketika terjadi perseteruan hebat antara musik Rock dan dangdut, dan bapak teman saya berada di sisi musik Rock. Sebagaimana wajarnya ego seorang bapak yang menginginkan sang anak meneruskan semangatnya, maka diturunkanlah semangat itu—yang mungkin sudah tidak relevan saat ini.
Gelagat ketidaksukaan teman saya pada dangdut memang tak pernah secara terang-terangan ditunjukkan. Sering terjadi ketika kami sedang nongkrong, lalu salah satu dari kami memutar musik dangdut, maka teman saya ini akan minggir atau mendengarkan musik sendiri melalui earphone yang tak pernah lupa dibawanya kemana pun. Bahkan pernah beberapa kali teman saya meminta untuk mematikan musik ini yang diputar—“wes, ra usah nyetel lagu. Omong-omongan wae!”
Pernah juga ketika salah satu tetangganya punya hajat menikah dan menyewa orkes dangdut untuk pestanya, teman saya ini hanya berdiam diri di kamarnya dengan musik-musik Metallica kesukaanya yang diputarnya dengan volume tinggi. Telinga saya sudah mau pecah ketika masuk ke dalam kamarnya. Rasanya seperti adu kencang antara Rock—Metal—dan dangdut.
Tidak ada yang mengetahui pasti, apa yang membuat orang tidak suka pada aliran musik ini. Padahal ada ungkapan bahwa “sesangar-sangarnya atau serockstar-rockstarnya kamu, pasti akan bergoyang kalau ada musik dangdut.” Ungkapan ini tidak berlaku pada teman saya dan mungkin pada beberapa orang.
Padahal saat ini, apa yang tidak menarik dari musik yang satu ini? Para penyanyinya saja sudah sangat menarik. Gimmick-gimmick yang disuguhkan juga sangat menarik. Lalu varian musiknya juga bermacam-macam, hingga yang sempat viral kemarin—yaitu naiknya kembali Didi Kempot¸ The Godfather of Broken Heart ke permukaan. Segala kemenarikan di atas juga tak membuat teman saya berubah pikiran.
Memang, masalah musik adalah masalah selera. Dan masalah selera adalah masalah masing-masing orang. Kita tidak bisa memaksakan selera kita pada orang lain—pun sebaliknya. Saya tidak bisa memaksa teman saya mendengarkan dangdut. Teman saya juga tak bisa memaksa saya mendengarkan Metallica. Memaksakan selera hanya akan membuat pertengkaran—ndak bagus.
Pada akhirnya, saya berhenti mencari-cari alasan mengapa teman saya tidak suka musik dangdut. Saya sendiri pun tidak pernah beralasan ketika suka atau benci terhadap sesuatu. Seperti dalam dunia percintaan, kita bisa saja suka terhadap seseorang tanpa alasan apapun. Kita juga bisa membenci orang juga tanpa alasan apapun.
Wah, mulai ramashook iki!