Beberapa kali saya suka membaca postingan orang-orang yang suka nyinyir ketika melihat emak-emak yang keranjingan membeli peralatan masak. Bagi penglihatan orang awam, tindakan para emak-emak ini merupakan sebuah pemborosan yang absurd. Tiap jalan ke toko tangannya selalu gatel buat ngambil peralatan masak di rak alat masak. Kadang beli panci presto, besoknya beli panci anti lengket, besoknya lagi beli panci anti gores. Belum lagi harga yang ditawarkan untuk produk itu terbilang mahal-mahal.
“Kalau ada yang murah, kenapa harus beli yang mahal, sih?”
Oho, nggak semua orang menganut paham seperti itu, yah. Ada beberapa orang yang selalu mengamalkan paham ‘Ada harga ada rupa’. Kadang untuk mendapatkan kualitas yang bagus yah mau tak mau kita harus rela mengeluarkan kocek lebih besar. Kecuali kalau lagi diskon loh, ya. Nah, masalah perdiskonan kayak gini mending nggak usah debat sama yang namanya emak-emak, mereka jauh lebih paham dan ngerti masalah ini.
Coba bayangkan saja, misal kita membeli barang agak mahalan dikit tapi awet dan bisa digunakan hingga puluhan tahun lamanya dan bandingkan dengan barang yang harganya lebih murah tapi tiap tahun kita harus ganti karena cepat rusak. Mana yang lebih murah? Kan mending keluar duit di awal lebih mahal tapi ngirit ke depannya kan, ya. Lagi pula yang namanya peralatan masak itu semakin hari harganya semakin mahal saja, jadi bisa dibilang punya peralatan masak berkualitas di masa kini merupakan harta karun di masa depan.
“Beli barang mahal-mahal, tapi nggak pernah dipakai. Disimpen terossssss!”
Ada yang punya pengalaman punya emak kayak gini? Sekali lagi, bagi orang awam tentu nggak akan paham dengan maksud dan tujuan para emak-emak ini. Mereka ini bukannya mau menumpuk-numpuk barang tak terpakai hanya karena nafsu belanja yang tak terkendali. Tapi mereka ini menunggu momen yang tepat untuk menggunakannya.
Saya punya teman yang waktu kerja itu suka membeli peralatan masak dan peralatan membuat kue. Tiap gajian dia kadang membeli mixer, microwave, blender, set pisau, dan lain-lain. Padahal tiap hari dia itu sibuk kerja dan nggak sempat masak. Barang-barang yang dia beli itu hanya menumpuk dan memenuhi ruangan. Tapi setelah dia resign, ternyata dia menggunakan semua alat masak yang dia beli itu untuk membuat usaha masakan dan kue sendiri di rumah.
Ketika saya kecil, saya juga heran sekali dengan simbah putri saya. Beliau ini tiap kali punya uang lalu mipik (mencicil) beli beberapa peralatan masak yang super besar. Kadang beli dandang, kadang kuali besar, kadang wajan super jumbo, kadang cobek dengan diameter 30 cm, dan beberapa peralatan masak lainnya. Padahal setiap harinya itu simbah kalau masak yah pakai peralatan masak kecil-kecil dan semua barang yang ia beli itu hanya disimpan di gudang.
Ternyata bagi para orang tua zaman dulu, membeli perkakas untuk masak kayak gitu tuh seperti halnya sebuah harta yang nantinya akan diwariskan untuk anak cucu. Di zaman itu belum ada yang namanya catering, sehingga orang-orang kampung jika ada hajatan yah dikerjakan sendiri dengan cara bergotong royong. Untuk alat masaknya pun, menggunakan sistem pinjam meminjam tanpa harus membayar. Jadi jika ada hajatan, si tuan rumah akan meminjam panci besar di rumah A, meminjam dandang di rumah B, meminjam tungku kayu di rumah C, dan begitu seterusnya.
Beberapa orang tua rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli peralatan dengan kualitas yang bagus dan tahan lama. Jika dirawat dengan baik, peralatan masak kayak gitu akan bertahan hingga puluhan tahun. Hingga sampai saat ini ibu saya masih masak menggunakan semua peralatan masak almarhum mertuanya.
Simbah saya mencicil peralatan masak ini sudah dimulai dari tahun 90-an awal dan alat-alat ini sudah banyak sekali digunakan untuk prosesi hajatan di kampung saya dari rumah ke rumah. Bayangkan alat masak bisa jadi sarana membantu orang lain nyatanya kan, ya. Alat masak ini dulunya juga digunakan bergilir untuk membuat syukuran sunatan ketiga kakak saya. Ketika simbah saya meninggal, alat ini juga digunakan untuk membuat selametan dan ketika ketiga kakak saya beserta saya menikah juga masih mengunakan alat masak ini. Bisa dibayangkan jika harus membeli peralatan masak itu saat ini, harganya sudah naik belipat-lipat kali.
Sebenarnya membeli peralatan masak berkualitas kayak gini tuh merupakan investasi jangka panjang dalam rangka menekan pengeluaran di kemudian hari. Teori pengiritan kayak gini tentu tak akan lepas dari perhitungan jeli para emak-emak. Jadi, mulai sekarang kalau ada emak-emak yang sangat hobi menumpuk-numpuk alat masak, jangan suka berburuk sangka dulu, ya.
BACA JUGA Adu Dapur Antar Wanita dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.