Selama ini kita terbiasa melihat kualitas bandara dari desain dan fasilitas umum yang disediakan (kebersihan toilet, ruang entertainment, dan keramahan petugas). Kalau ada bandara yang desainnya megah, toilet bersih, dan memiliki fasilitas entertainment yang komplit, sebagian besar dari kita akan bilang bandara tersebut bagus.
Padahal selain memberikan pelayanan yang maksimal dan fasilitas yang berkualitas, sudah waktunya bandara di Indonesia tak hanya berfungsi sebagai tempat transit yang nyaman, tetapi juga menjadi tempat promosi makanan atau kuliner daerah setempat.
Belum ada yang aktif mempopulerkan makanan khas daerah di area bandara Indonesia
Selain menjadi pintu gerbang transportasi udara, bandara adalah area strategis yang bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya lokal dan kuliner khas daerah di mana bandara tersebut berada. Sayangnya, mayoritas bandara di Indonesia belum ada yang serius menggarap hal tersebut. Kalau saya amati, bandar udara berskala internasional di Indonesia baru sebatas mempopulerkan oleh-oleh khas daerahnya. Bukan secara khusus menjual makanan khas daerah.
Sebagai contoh, di Bandara Juanda (Surabaya) yang berlokasi di Sidoarjo, tidak ada yang menjual rujak cingur (makanan khas Surabaya) dan lontong kupang (makanan khas Sidoarjo). Di Soekarno-Hatta (Jakarta) pun tak ada yang menjual ketoprak yang menjadi makanan khas Betawi.
Lalu di Sultan Hasanuddin (Makassar) saya juga tidak menemukan coto dan konro (makanan khas Makassar). Saya malah menemukan soto Lamongan dan bebek Madura di sana. Padahal yang saya sebutkan di atas berstatus bandar udara internasional. Jumlah pengunjungnya mencapai ribuan setiap harinya.
Nggak jauh berbeda dengan bandara besar, bandara domestik skala kecil di Indonesia juga tidak terlihat memiliki stand makanan khusus daerahnya. Sebagai contoh, saya tidak menemukan gohu atau pisang mulu bebe di Bandar Udara Sultan Babullah Ternate. Saya pun tidak bertemu papeda kuah kuning di Bandar Udara Ilaga Papua Pegunungan.
Kondisi di luar negeri
Sebagai perbandingan, bandara di negara lain biasanya menyediakan makanan khas negaranya untuk diperkenalkan kepada wisatawan. Sebagai contoh, Changi Singapura memiliki banyak kedai yang menjual kaya toast, chicken rice, dan Hainan chicken rice yang merupakan kuliner khas negaranya.
Atau, jika kita pergi ke KLIA Malysia, di setiap area nyaris selalu ada penjual nasi lemak (kuliner khas Malyasia). Contoh lainnya, saat saya pergi ke Jepang, di Haneda Airport dan Narita International Airport juga mudah sekali menemukan sushi (kuliner ikonik dari Negeri Sakura).
Pengelola bandara di luar negeri sadar kalau bandara adalah area stategis tempat di mana banyak orang dari luar daerah bahkan luar negeri singgah. Untuk menarik sebanyak mungkin wisatawan, mereka tak hanya fokus pada pelayanan, hiburan, dan kebersihan, tetapi juga makanan. Sebab mereka tahu bahwa kuliner bisa menciptakan memori yang sulit dilupakan.
Kuliner lokal menarik bagi wisatawan
Sebagai orang yang sering bepergian, saya—dan kemungkinan orang lain juga—tentu lebih suka mencicipi kuliner khas daerah setempat saat sedang bepergian ke luar kota. Saat sedang di Makassar, saya akan memilih menyantap konro ketimbang rawon. Sebab, saya ingin mencicipi hal yang berbeda dari makanan yang biasa saya makan.
Selain itu, tidak semua penumpang pesawat terbang datang untuk berkunjung ke daerah tersebut. Bisa jadi hanya transit. Nah, kalau hanya transit, kita tidak memiliki kesempatan untuk eksplor kota dan kulinernya. Oleh karena itu kita akan senang jika ada kuliner khas daerah tersebut dijual di bandara dengan rasa yang enak dan harga sewajarnya.
Biasanya penumpang pesawat malas membeli makanan di bandara lantaran harganya melambung tinggi (bisa tiga kali lipat dari harga normal). Kalau bandara di Indonesia bersedia membuka ruang untuk kuliner lokal (khas daerah) dengan pajak yang lebih murah sehingga penjual bisa menyediakan makanan dengan harga sewajarnya, saya yakin penumpang akan lebih suka membanjiri kedai makanan lokal ketimbang makan di Yoshinoya atau A&W.
Penumpang memilih makanan familier saat berada di bandara
Jika pihak bandara tidak menyediakan restoran khusus kuliner lokal, penumpang seperti saya ini akan memilih kedai yang familier. Hal tersebut bukan karena saya tidak suka dengan makanan lokal (khas daerah). Tetapi karena memang tidak ada restoran makanan lokal yang disediakan dengan beragam daya tariknya.
Saya berharap pengelola bandara bisa membaca artikel sederhana ini dan tertarik untuk mulai memikirkan restoran yang ada di dalam bandara. Cobalah untuk meniru strategi Singapura dan Malaysia dalam mempopulerkan hidangan kebanggaan mereka.
Penulis: Tiara uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pengalaman Transit di Bandara Sultan Hasanuddin: Bandara Elite, AC dan Troli Pelit.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















