Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Saya Semakin Muak dengan Orang yang Bilang Jogja itu Nggak Berubah Padahal Nyatanya Bullshit!

Rifqi Candra Wibisono oleh Rifqi Candra Wibisono
19 November 2025
A A
Jogja Nggak Berubah Itu Bullshit! Cuma Omong Kosong Belaka! (Unsplash)

Jogja Nggak Berubah Itu Bullshit! Cuma Omong Kosong Belaka! (Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Ada satu kalimat yang sering saya dengar dari teman dari luar Jogja. Katanya, Jogja itu bikin kangen karena nggak pernah berubah, suasananya tenang, dan semua serba murah meriah. 

Mereka mengulang-ulang kredo ini sampai terdengar seperti mantra yang harus diucapkan setiap pagi agar Tugu Jogja tetap berdiri tegak. Rasanya, mitos ini sudah lebih abadi daripada masa jabatan kepala daerah mana saja.

Masalahnya, sebagai penduduk lokal yang setiap hari menghadapi kenyataan pahit, kami harus menyatakan bahwa kalimat itu bullshit! Kami muak mendengar omong kosong itu.

Kalimat itu seakan-akan memandang Jogja sebagai time capsule yang menolak hukum inflasi dan gentrifikasi. Narasi tentang kota yang “selalu sama” ini hanya berlaku untuk batu-batuan di Jalan Malioboro. Sementara harga kebutuhan pokok sudah naik melejit sampai ke orbit planet lain.

Intinya, image “Jogja Murah” adalah sebuah kebohongan kolektif yang dipelihara demi kelangsungan industri pariwisata. Kami dipaksa tersenyum menerima turis sambil diam-diam menangis melihat harga kosan dan seporsi nasi jinggo yang dulu cuma dua ribu, sekarang harganya selevel bensin satu liter. Inilah saatnya membongkar kepalsuan ini dan menyuarakan realitas dompet penduduk lokal yang telah tergerus habis.

Harga yang menampar mitos bahwa Jogja itu murah

Jika ada satu hal yang paling cepat menampar para penganut mitos “Jogja murah,” itu adalah saat mereka membuka daftar menu di tempat makan legendaris. Tahu gudeg? Makanan rakyat itu. Sekarang, harga gudeg semakin mahal. Nasi jinggo, yang dulu jadi penyelamat saya mid-day crisis, harganya meroket hingga lima kali lipat. Ini bukan lagi Jogja yang murah, ini adalah Jogja dengan inflasi high-end.

Selain makanan, biaya hidup yang tersembunyi jauh lebih menyakitkan bagi warga lokal. Coba saja cari kos-kosan di area dekat kampus. Harga sewanya sudah bersaing dengan harga apartemen studio. Padahal, UMR daerah ini masih tertinggal jauh. Konsep “murah” ini cuma berlaku bagi turis weekend yang membandingkan harga hotel di sini dengan harga rumah mereka di BSD.

Jadi, ketika ada yang bilang “Jogja itu murah,” mereka sebenarnya hanya sedang meromantisasi kenangan indah di masa lalu. Mereka nggak mau melihat kenyataan dompet penduduk asli. Kami bukannya tidak senang dengan kedatangan turis. Namun, kami lebih senang kalau mitos ini dihentikan agar standar gaji di sini tidak ikut-ikutan stuck di zaman pra-inflasi.

Baca Juga:

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

Gentrifikasi dan perubahan wajah Jogja

Bukan cuma harga makanan, wajah kota itu sendiri kini sudah mengalami operasi plastik besar-besaran. Semakin jauh dari narasi “tidak berubah” yang sering digaungkan. Warung makan atau toko kelontong legendaris yang menjadi identitas lokal kini banyak yang tergantikan oleh coffee shop minimalis dan hotel boutique yang mengincar estetika turis. Identitas kota perlahan tergerus, diganti dengan template modern yang seragam.

Dulu, tradisi nongkrong identik dengan lesehan pinggir jalan atau angkringan yang menawarkan harga merakyat dan obrolan tulus. Sekarang, tempat-tempat ini harus bersaing keras dengan kafe-kafe instagramable yang menjual vibes dan minuman dengan harga premium. 

Kita didorong untuk bertransaksi di tempat yang mahal. Hanya demi mendapatkan foto untuk media sosial, bukan demi kehangatan komunitas.

Perubahan arsitektur ini membuktikan bahwa Jogja memang berubah. Hanya, perubahannya tidak melayani kebutuhan warga lokal. Perubahan yang terjadi melayani demand dari luar. 

Mitos kota yang “adem ayem” kini hanya menjadi marketing gimmick yang membuat investor senang. Sementara itu, penduduk lokal dipaksa menyesuaikan diri dengan harga-harga yang makin mahal di tengah gaji yang jalan di tempat

Siapa yang diuntungkan?

Tentu saja, narasi tentang Jogja yang “murah dan tak berubah” ini sangat menguntungkan segelintir pihak. Terutama influencer dan industri branding. 

Mereka terus menjual image romantis ini demi views dan endorsement. Posisi mereka seakan-akan seperti penjaga kebudayaan, padahal hanya mencari keuntungan dari mitos. Ketika datang kerjaan mereka hanya membuat konten yang aesthetic, lalu pergi, meninggalkan inflasi untuk ditanggung warga lokal.

Di sisi lain, kapitalisme pariwisata bekerja keras memastikan narasi ini tetap hidup. Karena ini adalah kunci untuk terus menarik investasi besar-besaran. 

Pemerintah daerah dan investor cenderung lebih fokus pada pembangunan yang memanjakan turis massal. Misalnya seperti hotel atau spot foto baru, daripada menaikkan UMR atau memastikan harga sewa kosan terjangkau. Mereka mengutamakan profitabilitas di atas kesejahteraan penduduk.

Inilah bagian yang paling pahit dirasakan oleh generasi muda lokal Jogja karena mereka terjebak. Mereka lahir dan tumbuh di kota yang dijuluki “istimewa,” tetapi lapangan kerja dan gaji di sini stagnan.

Sementara itu, kita tahu kalau biaya hidup sudah setara kota metropolitan. Mereka akhirnya harus pindah ke kota lain. Hanya demi mencari bukti bahwa bahwa mitos kota yang “tak berubah” justru membuat hidup mereka sendiri jadi mustahil untuk dikembangkan.

Meminta kejujuran

Sebagai penutup, kita harus jujur pada diri sendiri. Berhenti mengamini gimmick nostalgia yang merugikan. 

Mitos bahwa kota seperti Jogja “tidak pernah berubah” adalah sebuah ilusi berbahaya yang digunakan untuk membenarkan stagnasi upah dan kenaikan harga yang tidak masuk akal. Kota pasti berubah, dan berpura-pura sebaliknya hanya akan memperkaya investor dan influencer sambil memiskinkan penduduk asli. 

Mari kita akui saja. Yang ngangeni dari Jogja itu bukan karena kotanya tidak berubah. Kita kangen Jogja saat harga nasi jinggo masih masuk akal di kantong. Kota ini memang tidak berubah, tapi itu hanya berlaku untuk tugu dan kenangan, bukan untuk kesejahteraan warganya.

Penulis: Rifqi Candra Wibisono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pandangan Saya Terhadap Jogja Berubah Setelah Merantau, Ternyata Kota Ini Nggak Istimewa Amat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 19 November 2025 oleh

Tags: Angkringan jogjacoffee shop JogjaDaerah Istimewa Yogyakartagentrifikasi jogjaharga tanah di jogjaJogjaumk jogjaumr jogjaYogyakarta
Rifqi Candra Wibisono

Rifqi Candra Wibisono

Penulis kesayangan mama papa.

ArtikelTerkait

Pengalaman Ditolong Saat Motor Mogok dan Nggak Punya Uang Menyadarkan Saya Jogja Masih Berhati Nyaman Mojok.co

Pengalaman Ditolong Saat Motor Mogok dan Nggak Punya Uang Menyadarkan Saya Jogja Masih Berhati Nyaman

19 Mei 2025
Efek Negatif Penertiban Street Coffee Kotabaru Jogja yang Pemerintah Mungkin Tidak Sadari

Jika Saya Jadi Wali Kota Jogja, Street Coffee Kotabaru Tidak Akan Digusur Begitu Saja

10 Maret 2025
Kalian Masih Membela Upah Murah Jogja Ketika Defisit Gaji Jadi Realitas? Mending Kita Gelut! gaji di jogja

Kalian Masih Membela Upah Murah Jogja ketika Defisit Gaji Jadi Realitas? Mending Kita Gelut!

15 Maret 2024
8 Ciri Orang Jogja Asli yang Nggak Perlu Lagi Ditodong Pertanyaan “KTP Mana?” Mojok.co

8 Ciri Orang Jogja Asli yang Nggak Perlu Lagi Ditodong Pertanyaan “KTP Mana?”

10 Agustus 2025
Tinggal di Bangunjiwo Bantul Nggak Seburuk Itu, Ini 4 Alasan Bangunjiwo Justru Menjadi Desa Ternyaman di Jogja

Tinggal di Bangunjiwo Bantul Nggak Seburuk Itu, Ini 4 Alasan Bangunjiwo Justru Menjadi Desa Ternyaman di Jogja

18 April 2025
Taman Pelangi Jogja: Destinasi Wisata yang Dulu Memesona, Kini Biasa Saja

Taman Pelangi Jogja: Destinasi Wisata yang Dulu Memesona, Kini Biasa Saja

29 Juli 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Nggak Ada Gunanya Dosen Ngasih Tugas Artikel Akademik dan Wajib Terbit, Cuma Bikin Mahasiswa Stres!

Dosen yang Minta Mahasiswa untuk Kuliah Mandiri Lebih Pemalas dari Mahasiswa Itu Sendiri

5 Desember 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025
5 Hal yang Bikin Orang Solo Bangga tapi Orang Luar Nggak Ngerti Pentingnya

5 Hal yang Bikin Orang Solo Bangga tapi Orang Luar Nggak Ngerti Pentingnya

29 November 2025
Pengalaman Transit di Bandara Sultan Hasanuddin: Bandara Elite, AC dan Troli Pelit

Pengalaman Transit di Bandara Sultan Hasanuddin: Bandara Elite, AC dan Troli Pelit

1 Desember 2025
Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

3 Desember 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.