Sebagai pelanggan setia Trans Jatim, saya merasa cukup berhak untuk sedikit bawel. Sudah beberapa kali saya menulis soal layanan ini. Kadang isinya apresiasi, tapi lebih sering keluhan yang nggregesi. Dan kali ini, perhatian saya tertuju pada satu hal yang makin lama makin membuat pengalaman naik Trans Jatim menjadi lebih tidak nyaman. Yakni, tentang para sopirnya, terutama yang bertugas di K3 alias koridor Gresik–Mojokerto.
Entah kenapa, koridor ini sering banget dapat sopir yang gaya menyetirnya ugal-ugalan. Ketika naik K3, saya selalu mencari tempat strategis. Tempat di mana saya dapat pegangan. Sebagai gambaran, tempat duduk bus jalur ini adalah letter U. Jadi, penumpang depan berhadapan, dan bagian belakang menghadap depan.
Dari posisi tersebut, memang bus ini tidak terlalu pas untuk dibuat kebut-kebutan. Sebab, ada banyak kursi yang tidak ada pegangan. Khususnya kursi belakang yang tengah. Ketika rem mendadak, maka bisa saja njlungop, alias jatuh ke dapan dengan tiba-tiba.
Ada saja penumpang yang terlewat oleh Trans Jatim
Istri saya pernah cerita, di sebuah halte ada ibu-ibu gendong anak, kondisi sedang hujan, ia membawa payung, tapi pengemudinya terlalu ngebut, sehingga nggak sempet berhenti. Padahal, kalau dilihat, bus masih muat-muat saja. Menyebalkan, kan? Halte jelas terlihat, penumpang masih muat, tapi bus meluncur saja tanpa menurunkan kecepatan. “Kok ndadak jadi bus patas?” pikir saya.
“Kecepatan segini nggak bisa berhenti mendadak”, kurang lebih begitu respons sopirnya. Kemudian mereka coba cek bus selanjutnya ternyata masih lama. Dan si sopir hanya merasa bersalah sebentar. Kemudian ugal-ugalan lagi. Begitu seterusnya.
Dengan kejadian ini, pertanyaan saya ke sopirnya sederhana, kalian itu sebenarnya ngejar apa? Kalau bus kota yang ngebut, alasannya jelas: kejar setoran. Salah sih, tapi setidaknya ada motif ekonomi yang bisa dipahami. Lha Trans Jatim kan bukan begitu sistemnya. Mau ngejar apa? Jam istirahat lebih cepat? Biar bisa nongkrong lebih lama di terminal? Atau memang sekadar hobi kebut-kebutan di jalan?
Sumber Kencono versi Program Pemerintah
Selain ada penumpang ketinggalan, sebagai penumpang Trans Jatim, kami juga sering merasakan sensasi “melayang” kecil tiap bus belok atau ngerem mendadak. Pegangan jadi terasa amat sentimental sepanjang perjalanan.
Itu penumpang yang dapat tempat duduk. Beda lagi dengan penumpang yang berdiri. Ia hanya bisa berpegangan dengan lebih erat. Sebab, kalau sedikit saja terlepas, bisa wassalam. Pokoknya benar-benar edyan sih.
Saya paham, bus harus tepat waktu. Nggak ada yang protes soal itu. Tapi tepat waktu itu beda dengan ugal-ugalan. Tepat waktu itu soal disiplin, bukan soal memaksa penumpang jadi lebih waspada akan hukum Newton. Maksud saya, kalau sopirnya begini, lantas apa bedanya dengan Sumber Kencono di jalur lintas provinsi itu?
Harus ada perbaikan
Saya, dan banyak penumpang lain akan sepakat kalau Trans Jatim sudah lumayan bagus dari sisi konsep dan tarif. Tapi pelayanan pengemudi juga bagian dari keseluruhan kenyamanan. Kalau sopirnya terus ngebut tanpa kontrol, apa gunanya semua sistem yang sudah tertata rapi?
Kami penumpang bukan hanya mau sampai tujuan, tapi juga butuh perjalanan yang aman. Pun tidak sedikit penumpangnya adalah warga yang sudah dalam keadaan lelah. Ada pekerja, mahasiswa pulang kampung, anak sekolahan, sampai lansia sepuh.
Karena itu, tolonglah Pak Sopir. Kami cuma minta melaju dengan normal. Tak usah terlalu ngebut. Toh, kalau ada kejadian tak diharapkan, kalian juga yang bakal kena getahnya, bukan? Jadi, mari sama-sama melakukan tugas dengan baik. Kami yang bayar pajak, dan kalian bekerja sesuai SOP yang tertera. Semoga saja kedepannya lebih baik.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Trans Jatim Koridor 7, Seburuk-buruknya Transportasi Publik. Masih Perlu Banyak Belajar dan Berbenah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















