Dalam sebuah perbincangan di warung kopi—sebelum PSBB diberlakukan—kawan saya yang bukan orang Jawa sempat mengonfirmasi kepada saya, apa benar istilah kelamin digunakan orang jawa untuk memanggil anak?
Pertanyaan tersebut diakuinya terbesit setelah menyaksikan siaran ILC (yang entah apa temanya saya lupa) di YouTube pada bagian ketika dalang edan Sujiwo Tejo berujar, “Orang Jawa itu dari kecil sudah dididik akrab dengan hal-hal tabu. Para orang tua kalau manggil anaknya itu dengan sebutan alat kelamin. Kalau cewek dipanggil vagina, kalau cowok penis.”
Setelah mengasih tunjuk video tersebut kepada saya, kawan saya ini lantas bertanya, “Masa orang Jawa manggil anaknya; na vagina, gitu? Kok aneh, ya?” Mendengar itu saya ngeklek (terbahak) dengan cara paling radikal. Ya bukan begitu juga Sutrisnooo.
Khazahan Jawa memang terlampau luas untuk diarungi, terlalu dalam untuk diselami, dan terlalu abstrak untuk dipahami. Untuk menggambarkan betapa kayanya khazanah Jawa bahkan ada anekdot berbunyi: kalau bahasa Indonesia cuma punya satu istilah untuk ‘makan’, maka lain lagi dengan orang Jawa. Bagi masyarakat Jawa, makan bisa dicacah-cacah menjadi sekian deksripsi tergantung siapa yang menggunakan istilah tersebut? Makan dalam istilah jawa bisa berupa, mangan, mbadok, madhang, nyekek, nguntal, dhahar, dan segala macem. Pun berlaku untuk hal-hal lainnya.
Termasuk dalam urusan panggilan terhadap anak. Untuk memudahkan identifikasi objek yang dipanggil, biasanya para orang tua akan memanggil anaknya dengan sebutan sesuai dengan jenis kelaminnya. Fungsi lain yakni jika seseorang tidak mengenal si anak, maka cukuplah dia memanggil anak tersebut dengan jenis kelaminnya maka si anak pun akan segera mengerti bahwa dialah yang dipanggil.
Seperti contoh, dulu sewaktu kecil banyak sekali kawan-kawan saya dari laki-laki atau perempuan yang ikut main di pekarangan rumah simbah. Ketika ada anak yang berlari-lari di bibir jurang, maka simbah akan menegurnya dengan ungkapan, “Jangan dekat-dekat jurang cung, bahaya.” Kata cung tersebut merujuk pada kawan laki-laki saya yang memang sedang di tepian jurang. Tanpa diperingati dua kali, kawan laki-laki saya pun akan mengerti bahwa dirinyalah yang diwanti-wanti.
Dalam istilah linguistik memanggil anak dengan sebutan nama kelamin disebut dengan kramanisasi seks. Yaitu strategi penghalusan ekspresi seks dalam kehidupan orang Jawa. Selain untuk memudahkan dalam hal identifikasi gender, kramanisasi menurut beberapa pakar linguistik dan mengutip pendapat dari Sujiwo Tejo secara lebih jauh mengandung unsur sex education, satu hal yang penting disampaikan dengan gamblang tapi dianggap tabu oleh sebagian orang. Apalagi kalau bahasnya di hadapan anak-anak.
Jika beberapa anak-anak kota punya pengalaman mati kutu ketika kepergok nonton adegan esek-esek sama orang tuanya, beda lagi dengan kami anak turun Jawa yang kebetulan juga dari desa juga. Saya kasih tahu, semasa kecil kami bahkan sering nonton adegan ciuman antara Bari Prima dengan lawan mainnya bareng sama para orang tua kami. Dengan sendirinya kami akan paham, bahwa adegan tersebut hanya patut dilakukan oleh orang dewasa. Mangkanya tanpa disuruh pun kami para anak-anak akan mengambil inisiatif untuk menutup pandang beberapa saat selama adegan tersebut berlangsung. Meskipun sesekali wejangan tersebut akan keluar juga dari mulut para orang tua kami yang termangu di depan TV.
Nah, kawan-kawan sekalian, saya nggak akan pakai teori yang ndakik-ndakik untuk memaparkan temuan mengenai panggilan kelamin terhadap anak di Jawa. Dari informasi yang saya gali sendiri dari simbah, berikut adalah beberapa jenis sapaaan dengan menyebut jenis kelamin yang cukup populer dan familiar:
Satu: Panggilan untuk laki-laki
Dimulai dari panggilan yang paling populer yaitu, le atau thole. Ada yang menyebut kalau thole merupakan gabungan dari dua unsur kata yaitu, thol dan le. Thol artinya konthol (kelamin laki-laki) sementara le adalah anak. Dengan begitu panggilan thole sama maknanya dengan menyebut, “anak yang ber-konthol” yang otomatis bermuara kepada anak laki-laki.
Sedangkan menurut simbah saya, thole merupakan akronim dari kata konothole yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia maka artinya menjadi penisnya. Karena penis hanya dimiliki oleh anak laki-laki, maka panggilan tersebut sudah jelas ditujukan untuk bocah laki-laki. Konthole juga sering diambil thol saja dalam penyebutan. Akar katanya adalah konthol (penis).
Berikutnya ada juga panggilan cung yang merupakan kependekan dari kata kuncung. Kalau diartikan secara halus, panggilan ini diambil dari istilah tren gaya rambut ala anak-anak Jawa desa tempo dulu. Gaya cukur kuncung ini definisi sederhananya bisa dilihat dari gaya cukur Ronaldowati dalam serial Ronaldowati yang tayang di TPI beberapa tahun yang telah lewat. Saking trennya gaya cukur seperti ini, Didi Kempot bahkan mengabadikannya dalam salah satu lirik lagunya yang berbunyi: cilikanku rambutku dicukur kuncung.
Setelah berdiskusi dengan simbah, kuncung sendiri ternyata bisa berkonotasi erotis. Kuncung ditujukan pada kelamin laki-laki yang bentuknya lonjong dan memiliki kuncung (bagian kepala kelamin sebelum disunat) di depan. Saya sendiri agak kurang mantap, apakah mengartikan kuncung dengan pucuk kelamin laki-laki sudah tepat? Kata cung nggak jarang juga dianggap kependekan dari kata kacung. Makna kasarnya adalah pesuruh. Simbah saya memberi dua alternatif tafsir untuk kata ini.
Pertama, pesuruh diidentikkan dengan anak-anak yang sering disuruh ibunya untuk sekadar membeli terasi dari warung tetangga. Karena masih terlalu general, maka simbah memberi alternatif kedua, yaitu merujuk pada pekerjaan sebagai pesuruh atau kacung yang pantasnya diemban oleh anak laki-laki. Kacung dalam konteks tafsir yang kedua merujuk pada jenis pekerjaan berat. Terakhir, ada lagi ungkapan yang cenderung halus dan bukan merupakan jenis kramanisasi seks, yaitu panggilan nang. Kata nang tidak lain adalah akronim dari kata lanang yang berarti laki-laki.
Dua: Panggilan untuk perempuan
Kramanisasi seks untuk panggilan perempuan yang umum adalah wuk. Asal katanya adalah wawuk, dimaksudkan untuk menyebut kelamin perempuan. Atau kalau di desa saya lebih populer dengan sebutan bawuk dengan arti yang sama. Bawuk dalam pengertian simbah saya adalah istilah untuk menggambarkan bau tidak sedap. Ini sesuai dengan kodrat kelamin perempuan yang sesekali memang menguar aroma tidak sedap. Saat sedang keputihan misalnya.
Disusul sapaan selanjutnya yaitu, nduk atau genduk. Keduanya memiliki padanaan arti dengan belenduk dan gendukan/gundukan, atau dalam bahasa Indonesia: bulatan. Hal ini meunjukkan ciri perempuan yang khas dengan bulatan di dadanya (payudara). Sapaan lain yang masih memberi gambaran tentang payudara adalah nok atau denok.
Sebutan nok atau denok pada dasarnya berarti gumpalan. Ditujukan kepada perempuan karena perempuan lah yang memiliki gumpalan di dadanya. Simbah memberi perspektif lain bahwa nok adalah plesetan untuk genok/genuk, wadah air terbuat dari tanah liat. Cara memasukkan air ke dalam genok/genuk adalah dengan disiramkan atau dikucurkan. Bagi simbah, ini adalah gambaran kelamin perempuan sebagai wadah untuk disirami atau dikucuri air (mani) laki-laki dalam hubungan persenggamaan.
Karena sedari kecil sudah dididik untuk menembus batas-batas ketabuan, maka ketika membincang mengenai kondisi biologis, kesehatan reproduksi, maupun sex education menjadi sesuatu yang nggak mengagetkan bagi kami.
Saya malah kadang heran sama orang-orang yang mau nyebut vagina saja dengan malu-malu kucing. Padahal vagina atau penis bukan termasuk istilah yang kotor dan menjijikkan, kecuali apa yang keluar dari keduanya. Bukan juga tidak pantas untuk dikatakan secara terang-terangan. Sebab keduanya memang ada dalam diri kita. Dan sialnya, orang-orang yang menyebut alat reproduksi ini dengan nama aslinya, sering kali diidentikkan dengan sosok yang mesum dan cabul. Meski memang ada juga yang begitu, beberapa.
BACA JUGA Hierarki Penyebutan Orang Meninggal dalam Bahasa Jawa dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.