Dalam multiverse tugas akhir, setiap dosen punya satu mantra sakral yang diulang-ulang di setiap bimbingan: novelty. Kata yang terdengar ilmiah, tapi efeknya seperti jampi. Bikin panik, bikin begadang, tapi nggak jelas hasilnya. Untuk mendapatkannya, mahasiswa mesti membaca penelitian maksimal lima tahun terakhir.
“Harus ada kebaruan!” kata seorang dosen, tanpa menyadari bahwa kalimat itu sendiri sudah diulang ribuan kali tanpa kebaruan. Mahasiswa yang tidak memenuhi syarat itu akan segera dikafirkan secara metodologis.
Padahal, tuntutan kebaruan itu sering datang dari dosen yang, boleh jadi, terakhir membuka jurnal saat masih menulis tesis S2. Ilmu yang mestinya terus mengalir jadi seperti air di bak mandi: menggenang dan keruh.
Tuntutan aneh dari para dosen
Sebagian dosen menuntut agar penelitian mahasiswa bersanad global atau ada kesinambungan dengan riset luar negeri. Ide yang indah, sebenarnya. Karena ilmu memang tak bisa berdiri sendirian. Ia mesti nyambung ke percakapan akademik yang lebih luas.
Kayak bunyi kutipan di halaman Google Scholar itu: “Berdiri di atas Bahu Raksasa.” Masalahnya, sebagian dari yang menuntut itu bahkan belum pernah naik ke bahu siapa pun, apalagi raksasa.
Dan di balik seruan agar mahasiswa membaca jurnal internasional, ada pula oknum yang sertifikat TOEFL-nya pun hasil nembak. Dengan kemampuan bahasa yang cuma kuat di “i love you” dan “yesterday go where”, tapi sudah berani bicara soal diskursus global dan “state of the art”.
Kondisi ini mirip dengan fenomena motivator di era 2000-an. Mereka piawai memberi nasihat cinta dan keluarga, tapi rumah tangganya sendiri medium ugly. Seperti kata salah satu penulis Mojok, “Kesalahan itu bakal jadi lebih memuakkan kalau datang bersama kemunafikan.”
Kalau diterjemahkan ke dunia kampus, kemunafikan itu muncul ketika dosen paling getol menyuruh mahasiswa membaca. Eh, dirinya sudah pensiun dari kebiasaan itu sejak lulus S2.
Guyonan kerja berat, bayaran kecil
Namun tentu saja fenomena itu tidak sepenuhnya salah dosen. Dalam guyon internal mereka, “Dosen itu singkatan dari: kerjanya se-Dos, gajinya se-Sen. Kerjaannya bikin stres, gajinya bikin mengelus dada.”
Untuk mempertahankan sertifikasi, mereka wajib memperbarui tiga hal setiap tahun: mengajar 12 SKS, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat (disingkat PkM). Yang pertama tentu bisa berjalan; dua sisanya bergantung pada dana hibah yang sering tak kunjung turun. Akhirnya, riset dilakukan setengah hati: data seadanya, ide hasil daur ulang, dan laporan yang lebih banyak formalitas daripada penemuan.
Belum lagi beban administratif. Ada laporan BKD, unggah dokumen, validasi di situs yang error di saat genting. Dengan semua itu, kalau mereka masih sempat baca jurnal, sungguh luar biasa. Tapi bukan berarti itu jadi pembenaran untuk berhenti membaca. Karena justru di situ letak martabat dosen: menjaga diri agar tidak kalah rajin dari mahasiswa yang mereka bimbing.
Tidak semua dosen kayak gitu
Mahasiswa hari ini sebenarnya sudah cukup pintar. Kampus, bagi mereka, bukan satu-satunya sumber ilmu, tapi tempat berdiskusi dan menegosiasikan ide. Mereka bisa mengkhatamkan satu RPS mata kuliah dalam satu malam, bukan karena jenius, tapi karena semua bahan sudah rembes ke internet.
Seperti kata Tom Nichols dalam “The Death of Expertise”, informasi hari ini sudah terlalu mudah diakses. Kampus bukan lagi tangga menuju ilmu, tapi hanya menjadi tangga menuju gelar.
Di tengah dunia yang berubah ini, sebagian dosen mencoba bertahan. Mereka merasa tech-savvy, percaya diri karena sudah tahu cara nanya ke ChatGPT, Claude, Deep Seek, dan sejenisnya. Selama kuota masih ada, mereka tak gentar menghadapi pertanyaan aneh-aneh dari mahasiswa. Tapi begitu kuotanya habis, maka hilang juga ilmunya.
Namun, di balik semua itu, kita perlu ingat. Tidak semua dosen seperti itu. Banyak yang tetap membaca, menulis, dan menyalakan semangat ilmiah di kelas. Mereka yang mempersiapkan materi bukan sekadar copy-paste dari ppt lama, tapi juga dengan semangat ingin tumbuh bersama mahasiswa.
Sayangnya, citra mereka sering mahjub, tertutup oleh segelintir oknum yang berhenti belajar tapi tetap ingin tampak paling tahu. Akibatnya, kampus yang semestinya menjadi ruang pencarian kebenaran justru berubah menjadi panggung pencitraan. Tempat ilmu dipamerkan, bukan dipelajari.
Penulis: Muhammad Asgar Muzakki
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kelakuan Dosen yang Bikin Ngelus Dada, Seenaknya Sendiri dan Bikin Naik Pitam Mahasiswa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















