Ngawi hari ini serupa Tangerang 30 tahun silam atau Mojokerto 20 tahun lalu. Daerah ini perlahan menjelma jadi kota industri, bukan lagi melulu sebagai kota penghasil padi. Apalagi sekadar kota keripik tempe seperti yang kita kenal selama ini.
Lihatlah, lahan-lahan sawahnya mulai ditumbuhi bangunan-bangunan pabrik, dirambati kos-kosan, warung makan, angkringan, toko kelontong, jasa laundry, hingga kafe-kafe. Ratusan hektare sawah kini tak lagi dibajak traktor, tapi sudah “dibajak” investor-investor.
Tak usah merantau jauh, kerja di Ngawi aja karena banyak pabrik di sini
Contoh paling nyata untuk menggambarkan transformasi Kota Ngawi ini adalah Desa Karangtengah Prandon. Di desa yang berjarak 5 kilometer dari pusat kota, yang luasnya hanya 6,292 dan berpenduduk 5.750 jiwa ini, sekarang telah berdiri empat perusahaan besar: Wilmar (produsen pangan), Wai Hing dan Royal Regent (pabrik mainan), serta Dwi Prima Sentosa (pabrik sepatu). Ini belum termasuk pabrik-pabrik mungil yang nyempil di antara keempatnya, seperti pabrik es Malindo dan pabrik lilin Wax Industry.
Di desa/kecamatan lain, proses industrialisasi serupa bukan tidak ada. Misalnya di Desa Karangharjo, kini sedang dibangun pabrik sepatu Sintec. Di Geneng, telah beroperasi PT GFT Indonesia Investment, pabrik mainan asal Hongkong. Di Karangjati sudah ada pabrik sepatu Pei Hai. Sementara di Paron terdapat pabrik garmen Classita.
Saya tidak tahu di mana lagi pabrik-pabrik baru akan berdiri. Yang pasti, fenomena ini merupakan angin segar buat kalian, wahai anak-anak muda Ngawi! Kalian tidak perlu lagi jauh-jauh merantau ke Surabaya, Tangerang, atau kota-kota besar lainnya untuk bekerja. Apalagi sampai minggat ke Malaysia atau Brunei seperti yang dilakukan kakak-kakak kalian sebelumnya. Cukup nang kene-kene wae.
Baca halaman selanjutnya: Mengurangi angka pengangguran…




















