Beberapa hari yang lalu, saya membaca poster raksasa di gedung Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Tulisannya “Selamat Datang Mahasiswa Biasa Aja di Kampus Overrated”. Poster ini menghadap taman Fisipol dan terpampang gamblang agar dibaca siapa saja yang melintas.
Maksud poster raksasa ini jelas pengin bilang kalau mahasiswa dan Universitas Gadjah Mada itu biasa aja. Poster ini ingin menyindir orang-orang yang terlalu mengagung-agungkan UGM.
Pendapatan tersebut sah-sah saja. Namanya juga berpendapat, tapi jujur saja, saya kurang sependapat. Bagi orang-orang yang pernah mencicipi studi di kampus medioker seperti saya. Saya menamatkan sarjana di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Kenapa? Pertama, mahasiswa UGM itu nggak biasa aja. Mereka minimal punya keberuntungan lebih daripada yang lain. Yaa gimana nggak punya keberuntungan lebih, orang yang mau masuk banyak, tapi yang keterima sedikit. Pasti persaingannya ketat dong.
Ini juga dikonfirmasi beberapa meme di Instagram tentang betapa susahnya masuk UGM. Apalagi, mahasiswa yang masuk melalui jalur tes perlu bersaing dengan ribuan calon lain. Mereka perlu skor yang benar-benar tinggi untuk bisa tembus. Ini butuh persiapan dan belajar mati-matian. Itu mengapa saya agak heran mahasiswa UGM disebut sebagai orang biasa saja.
Kedua, bilang UGM overrated itu jadi problematis kalau diucapkan mahasiswa UGM itu sendiri. Soalnya kalian nggak pernah ngerasain kuliah S1 di kampus-kampus medioker seperti saya.
Saya merasa sangat bersyukur bisa melanjutkan studi di UGM. Saya merasakan betul betapa ketimpangannya. Mari saya uraikan alasan kalau UGM nggak overrated dan mahasiswanya harus lebih banyak bersyukur sekaligus bangga (bukan sombong lho, ya).
Fasilitas UGM jauh di atas kampus-kampus medioker
Saya coba uraikan beberapa perbandingan agar siapapun pembuat poster itu lebih bersyukur. Dari sisi fasilitas, kampus medioker nggak bisa dibandingin sama UGM. Mari saya tunjukkan betapa timpang.
Di kampus medioker, nggak ada perpustakaan dan digital library yang layak seperti punya UGM. Nggak ada pula fasilitas reservasi komputer buat cari e-book, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi alumni kayak di Fisipol UGM. Komputernya iMac pula.
Di kampus medioker, nggak ada fasilitas ruang reservasi mahasiswa buat diskusi dan rapat untuk kepentingan akademik atau non akademik. Apalagi fasilitas coworking. Fasilitas-fasilitas pendukung yang tampak sepele, tapi membantu seperti Fisipoint juga sulit ditemukan di kampus medioker.
Sadis nggak perbandingannya? Masih mau lagi? Oke. Di Kampus medioker, nggak ada taman penitipan anak (daycare) buat mahasiswi maupun dosen yang juga seorang ibu. Sementara, itu ada di UGM. Gimana? Ngawurkan timpangnya. Akui saja lah, UGM memang kampus yang bagus dan layak dibanggakan.
Kualitas dosen nggak kaleng-kaleng
Kalau hanya fasilitas, kampus medioker juga bisa mengejar dalam waktu beberapa tahun. Tapi UGM, bukan cuma unggul dalam hal fasilitas, tapi juga sumber daya manusia. Dosen-dosen UGM rata-rata keren dan bertaraf internasional. Dosen berkualitas yang keren di Kampus medioker adalah kualitas dosen rata-rata di Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Itu kenyataannya ya. Selama 4 tahun kuliah S1 di kampus medioker, hanya ada 2 dosen yang menurut saya berkualitas dan saya kagumi. Sekarang, saya kuliah di UGM, semua dosen saya kagumi karena berkualitas semua. Kalau nggak percaya, cobain deh anak Fisipol UGM pertukaran mahasiswa ke kampus medioker. Biar tau rasa.
Ekosistem belajar dan penugasan
Karena dosennya berkualitas, maka ekosistem belajarnya juga berkualitas. Meski saya S2, nggak ada tuh dosen langsung ngasih tugas presentasi tanpa pengantar konseptual dulu. Sekalipun presentasi, dosennya tetap hadir dan nimbrung dalam proses diskusi.
Dosennya berperan krusial mengawal jalan diskusi agar substansinya tetap dirasakan mahasiswa. Di kampus medioker seringnya nggak begitu. Paling nggak di jurusan saya dulu. Saya sering mengalami dosen melimpahkan proses belajar sepenuhnya pada mahasiswa. Dalih yang digunakan, pembelajaran berpusat pada mahasiswa karena sudah pembelajar dewasa. Hasilnya, ya diskusinya ngawur dan berujung pada debat kusir.
Belum lagi soal penugasan. Di Fisipol UGM, penugasannya jelas. Basisnya bacaan artikel jurnal atau chapter buku dari dosen tanpa membatasi referensi tambahan. Tugas akhirnya juga esai yang merupakan aktualisasi dari apa yang sudah dipelajari.
Sedangkan di kampus medioker, tugasnya ngawur. Setiap mata kuliah, tugasnya meneliti dan submit artikel jurnal. Nggak masuk akal bin nggak realistis. Bayangkan saya ngambil 8 mata kuliah. Setiap mata kuliah tugas akhirnya nulis artikel ilmiah. Artinya, saya harus melakukan 8 penelitian dalam satu semester (4 bulan). Ngawur nggak tuh. Peneliti BRIN aja nggak segitunya kaleee.
Kualitas pelayanan UGM memang oke
Di Fisipol UGM, mahasiswa dilayani dengan baik. Mulai dari parkir motor diprioritaskan sampai ke pelayanan akademik yang membantu mahasiswanya makin nyaman menempuh dan menyelesaikan studi.
Di jurusan saya sekarang, ada namanya Academic Engagement. Ini adalah program pelayanan untuk mahasiswa terkait urusan akademik. Bisa jadi ruang curhat personal terkait dosen pembimbing atau masalah substansi tugas akhir yang susahnya masyaallah tabarakallah. Hal pelayanan semantap ini baru saya kenal dan dapat ketika masuk jadi mahasiswa di Fisipol UGM. Di kampus medioker, nggak akan ada yang begini-begini.
Lebih dari itu, di Fisipol UGM juga ada pelayanan khusus konsultasi kejiwaan dengan menghadirkan psikolog. Jadi Fisipol UGM punya psikolog untuk membantu menangani masalah mahasiswa. Di kampus medioker, mungkin ada, tapi nanti kapan-kapan. Masih luama.
Jadi, tulisan ini bukan bermaksud menjelekkan kampus medioker, tapi ingin menyadarkan mahasiswa UGM. Ini baru dari Fisipolnya aja lho yang dibandingin. Belum yang lain. UGM itu keren. Memang layak sebagai kampus top di Indonesia.
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Tempat Nostalgia di UGM yang Bikin Alumni seperti Saya Pengin Balik Jadi Mahasiswa.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















