Kala itu, saya cukup senang mendengar informasi bawa mahasiswa UNU Yogyakarta akan menggunakan gedung barunya. Berpindah dari gedung lama yang berlokasi di Jalan Lowanu, Sorosutan, Umbulharjo.
Senang karena membayangkan akan kuliah di gedung yang tingginya sembilan lantai (angka sembilan dipilih karena melambangkan jumlah bintang pada logo NU). Lahan yang luas dan nuansa bangunan bertema modern industrial. Belum lagi fasilitas seperti kelas ber-AC, eskalator, lift, dan fasilitas lain yang tak bisa ditemukan di gedung lama. Semua itu terlintas di kepala.
Jika dibandingkan dengan gedung kampus lama, gedung baru jelas menang telak.
Saya mulai merasakan rasanya berkuliah di gedung baru UNU Yogyakarta pada semester genap tahun 2023. Menikmati ruang kelas yang lebar, bersih, dan ber-AC. Menikmati view Gunung Merapi dari lantai enam sambil sebat santai. Kuliah berjalan lebih menarik.
Sampai akhirnya saya membaca berita dari website LPTNU. Gedung baru UNU Yogyakarta dinamakan gedung Joko Widodo pada Musyawarah Nasional & Konferensi Besar NU 2023.
Ya, saya berkuliah di gedung yang bernama Joko Widodo. Menyedihkan.
Mengapa bukan nama kyai NU saja?
Kesedihan itu semakin muncul ketika ada teman yang bercanda dengan nada mengejek, bahwa saya akan lulus dari kampus Jokowi.
Saya akhirnya mempertanyakan mengapa universitas yang lahir dari Nahdlatul Ulama malah dinamai dengan nama Joko Widodo. Bukankah NU juga memproduksi banyak ulama dari generasi ke generasi. Para pemikir, cendekia, dan intelektual muslim juga banyak yang lahir dari rahim NU. Tapi mengapa harus Joko Widodo?
Misalnya adalah Wahid Hasyim. Anak dari pendiri NU sekaligus Menteri Agama keempat itu dijadikan nama salah satu universitas di Semarang . Ada juga Universitas Wahab Hasbullah dan Universitas Hasyim Asyari yang terletak di Jombang. Dan masih banyak lagi institusi perguruan tinggi berlatar belakang NU yang disematkan dengan nama ulamanya.
Selain itu ada juga beberapa universitas negeri yang menggunakan nama tokoh NU sebagai nama gedungnya. Seperti K.H. Ali Maksum dan K.H. Tolchah Mansoer yang dijadikan nama gedung Fakultas di UIN Sunan Kalijaga.
Bahkan, K.H. Hasyim Asy’ari saja dijadikan nama gedung pusat laboratorium MIPA Universitas Negeri Jakarta. Walaupun mungkin sulit mencari keterkaitan antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan pusat laboratorium MIPA. Apalagi letaknya di UNJ, yang notabenenya bukan kampus dengan background NU secara institusi. Tapi tetap menggunakan nama tokoh NU sebagai nama gedungnya.
Mengapa UNU Yogyakarta harus menamai gedungnya dengan Joko Widodo?
Penamaan gedung dengan nama seorang tokoh jelas memiliki alasan. Alasan paling sederhana adalah jasa dan kontribusi tokoh tersebut pada masyarakat luas.
Kita sebenarnya bisa menggunakan ilmu toponimi dalam upaya mencari tahu alasan penamaan gedung baru UNU Yogyakarta. Toponimi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji asal-usul, makna, dan evolusi nama-nama tempat, seperti nama kota, desa, gunung, dan sungai.
Tapi sayangnya UNU Yogyakarta tidak pernah mempublikasikan artikel resmi yang menjelaskan alasan-alasan penamaan gedung baru yang bernama Joko Widodo. Sekedar berita pun tak ada. Laman resmi milik UNU Yogyakarta hanya menyoroti peresmian gedung baru yang memang di hadiri Jokowi sebagai presiden waktu itu.
Mungkin maksud penamaan gedung baru itu adalah agar para komunitas akademik UNU Yogyakarta bisa meneladani semangat perjuangan dan pemikiran Jokowi. Lalu, semangat perjuangan dan pemikiran seperti apa yang Jokowi wariskan. Sampai-sampai UNU Yogyakarta begitu percaya diri menggunakan nama itu sebagai gedung barunya.
Sampai sekarang saya belum tahu pemikiran apa yang diwariskan oleh Joko Widodo untuk bangsa ini. Sulit sekali menemukan karyanya dalam bentuk buku yang bisa menarasikan gagasan dan ide besar tentang Indonesia. Ia tampaknya juga absen di banyak diskursus seperti: hak asasi manusia, kerukunan agama, demokrasi, ekologi, dll.
Simbol narsisme Jokowi
Saya harus meminta maaf jika tulisan saya berpotensi menyinggung; gedung baru UNU Yogyakarta adalah simbol narsisme Joko Widodo.
Narsisme yang saya soroti bukan soal gaya penampilan fisik. Tapi pada aspek pemikiran, prestasi, dan kekuasaan Jokowi. Bentuknya bisa berupa karya seni, baliho, narasi media, dll. Termasuk gedung UNU Yogyakarta.
Beberapa lagu yang dibuat sebagai puja-puji dirinya yang beredar di Youtube. Baik ciptaan seniman maupun ciptaan AI. Setidaknya ada tiga lagu yang, lirik, pencipta, dan genrenya berbeda tapi judulnya sama: “Terima Kasih Pak Jokowi”. Dan paling banyak lagu yang diciptakan menggunakan AI. Semua lagu itu bagaikan burdah pujian untuk sang junjungan: Jokowi.
Ada juga tiga patung yang dibuat saat beliau masih menjabat presiden. Satu ada di puncak Gunung Sunu (NTT), satu ada di sirkuit Mandalika, dan satu lagi ada di Kabupaten Karo (Sumatera Utara). Memang, mantan presiden sebelumnya juga punya patung. Cuma patung mereka dibangun setelah usai menjadi presiden.
Ada juga soal baliho atau media luar ruang. Saat kepulangan Jokowi ke Solo, ribuan baliho tersebar di mana-mana. CNN mencatat ada ratusan baliho terpasang di sepanjang rute kepulangan Jokowi. Semuanya bertuliskan “Terimakasih Pak Jokowi”. Ada juga yang bertuliskan Jokowi sebagai guru bangsa. Fenomena ini hanya terjadi pada lengsernya presiden Jokowi.
Masih banyak simbol-simbol narsisme Jokowi. Seperti media massa milik pemerintahan yang mengkampanyekan keberhasilan program Jokowi di akhir masa kepresidenanya. Organisasi-organisasi massa yang dibentuk dengan tugas mencintai sepenuhnya Jokowi. Partai yang kadernya menganggap bahwa Jokowi layak dijadikan sebagai nabi.
Baca halaman selanjutnya




















