Buat orang asli Jawa Timur, rujak cingur lebih dari sekadar makanan. Itu paket komplet nostalgia, rasa, dan identitas. Makanan ini sederhana, tapi setiap suapan menyimpan sejarah. Petisnya pekat dan harum, cingurnya kenyal tapi lembut, sambalnya menyatu sempurna.
Makanya waktu nemu rujak cingur di luar Jawa Timur harapan saya tinggi. Saya pengin merasakan “rumah” di lidah. Tetapi begitu suapan pertama masuk… hening. Bukan hening karena saya khusyuk menikmati, tapi hening karena bingung. Ini apaan?
#1 Petis oplosan rujak cingur yang bikin malu
Petis asli Surabaya punya karakter. Warnanya pekat, aromanya bikin ngiler, rasanya gurih-manis dengan sentuhan rasa laut. Di luar Jawa Timur, banyak yang nekat mengganti petis dengan kecap dan saus tiram. Parahnya, ada yang cuma mencampur saus kacang sama kecap terus bilang, “Ini sudah mirip.”
Hei, mirip dari mana?
#2 Membiarkan cingur keras kayak ban truk
Cingur itu butuh waktu untuk bisa sempurna. Ia harus direbus perlahan sampai baunya hilang, teksturnya empuk, dan rasanya keluar. Tetapi penjual rujak cingur di luar Jawa Timur banyak yang malas melakukan tahapan ini.
Akhirnya cingur yang disajikan keras, anyir, dan bikin rahang kerja lembur. Bahkan ada pula yang licik mengganti cingur dengan kikil sapi atau daging sapi biasa. Lha, itu sih bukan rujak cingur, tapi rujak tipu-tipu.
#3 Mengulek sambal rujak cingur setengah hati
Bumbu rujak cingur itu sakral. Harus diulek sampai halus hingga semua bahan nyatu. Petis, kacang, cabai, bawang, gula merah, garam. Nggak ada yang boleh dominan.
Akan tetapi banyak penjual KW yang nguleknya buru-buru. Akhirnya bumbu kasar, petis nggak menyatu, dan rasanya jadi pecah. Saat dimakan pun rasanya kayak hubungan yang nggak jelas: ada semua, tapi nggak nyambung.
#4 Kuah becek tanpa karakter
Rujak cingur asli itu bumbunya kental. Nempel di sayur, lontong, dan cingur. Tetapi di luar Jawa Timur, entah kenapa banyak penjual yang bikin kuahnya encer kayak air teh. Begitu disiram, bumbunya berkumpul di bawah piring. Sayurnya cuma kecipratan rasa. Jadi yang dimakan cuma sayur basah tapi tanpa jiwa.
#5 Lontong rujak cingur kacau, ada yang lembek kayak bubur tapi ada juga yang kerasÂ
Lontong itu pondasi. Harus padat, kenyal, dan bersih potongannya. Di luar Jawa Timur, kadang lontong rujak cingur ini lembek kayak bubur. Ada juga yang lontongnya keras dan nggak sedap buat disantap. Bahkan ada yang nekat mengganti lontong dengan nasi. Wah, kalau ini sih sudah kelewatan.
Nasi pakai petis jelas bukan rujak cingur. Itu namanya eksperimen gagal.
#6 Aromanya nggak sedap
Kuliner satu ini punya aroma khas dari petis, bawang putih, dan cabai yang diulek. Tetapi rujak cingur yang dijual di luar Jawa Timur kadang baunya aneh. Ada kalanya terlalu amis karena cingurnya nggak bersih. Tapi ada juga yang malah wangi aneh karena pakai penyedap berlebihan. Pokoknya hidung saya langsung bilang “skip” sebelum lidah sempat mencicipi.
#7 Sambal dingin dan hampir basi
Sambal rujak cingur itu enaknya diulek saat ada pesanan biar segar. Tetapi banyak penjual di luar Jawa Timur yang bikin sambal pagi-pagi, menaruhnya di wadah besar, terus disendok-sendok sampai sore. Akhirnya di sore hari rasanya sudah nggak segar, aromanya hilang, teksturnya mulai berubah.
#8 Eksekusi asal-asalan
Membuat rujak cingur itu sebenarnya nggak ribet, tapi butuh kedisiplinan dari penjual. Sayuran harus direbus hingga matangnya pas. Kemudian cingur harus benar-benar dibersihkan. Dan soal bumbu, petisnya halus diulek sampai nyatu.
Masalahnya, di luar Jawa Timur, saya sering ketemu penjual yang masaknya kayak lagi ikut lomba cepat-cepatan. Eksekusinya asal betul. Hasilnya? Jadi kuliner buru-buru yang nggak layak menyandang nama “asli”.
#9 Cingur harusnya jadi bintang utama, tapi malah cuma formalitas
Kadang saya ketemu penjual yang ngasih potongan cingurnya tipis banget. Persis potongan karet sandal yang kecemplung nggak sengaja. Lebih parah lagi ada yang nggak pakai cingur sama sekali tapi masih berani menyebut rujak cingur. Itu sama saja kayak jual bakso tanpa daging, sih.
Itulah 9 dosa penjual rujak cingur di luar Jawa Timur. Saran saya, kalau nggak sanggup jualan rujak cingur yang benar, ya nggak usah maksa. Daripada bikin nama besar makanan khas Jawa Timur ini rusak, mending jualan makanan lain yang memang mampu dimasak.
Soalnya begini, rujak cingur adalah ikon. Kebanggaan Jawa Timur. Kalau salah bikin, rasanya kayak bendera kebanggaan diturunin setengah tiang. Kami yang di perantauan ini membelinya bukan cuma supaya kenyang, tapi karena kami kangen rumah. Terus kalau kami cuma dapat yang versi abal-abal, rasa rindu kami malah berubah jadi nyesek!
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Daerah Penghasil Rujak Cingur Terenak di Jawa Timur.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















