Transjakarta adalah salah satu moda favorit saya kalau ke kantor atau ya kemana saja di Jakarta ini. Tarifnya murah dengan banyak pilihan rute.
Saya juga nggak perlu takut nyasar karena para driver, atau pramudi, sudah khatam jalur mereka. Apalagi Transjakarta memiliki jalur sendiri di banyak titik. Jadi aman, nggak perlu lewat jalan sempit nan padat.
Selain itu, di setiap halte terdapat pramusapa yang siap memberikan info akurat tentang armada dan jurusannya. Akan tetapi, kenyamanan yang diberikan transum ini sempat ambyar karena satu kejadian cukup menyebalkan.
Sopir aneh di Transjakarta
Bayangkan kamu naik bus, yang udah jadi langganan kamu, tapi nyasar karena kelalaian sopir. Kan mangkel pastinya.
Belum lagi waktu presensi kantor sudah mepet. Ya itulah yang pernah saya alami beberapa waktu lalu. Memang hari itu sedang sial-sialnya. Saya dapat sopir Transjakarta yang nggak paham rute dengan drama nyasar kemana-mana.
Rute Transjakarta yang selalu saya gunakan ke kantor adalah koridor 2 jurusan sekitar Monas. Selama bertahun-tahun, saya belum mendapat sopir Transjakarta yang kurang menguasai rute. Dan saat itu sang driver membawa kami ke jalan yang salah. Celakanya, dia nggak mau nanya kalau memang nggak tahu.
Lagian aneh juga. Kenapa malah penumpang yang menjadi penunjuk jalan? Apakah bapak ini penyusup dan pura-pura jadi sopir? Saya sempat berpikir konyol saking bingungnya.
Muterin Monas sampai 2 kali, penumpang ngomel
Saat menuju halte Monas, gerak-gerik mencurigakan mulai terlihat. Eh, bapak sopir Transjakarta salah belok.
Saya masih positif thinking, dong. Mungkin dia mau menghindari macet.
Setelah menurunkan beberapa penumpang di Monas, bus biru ini pun melaju dengan pedenya. “Loh kok lurus? Oh, mungkin ada penutupan jalan sekitar Monas karena mau ada acara,” ucap seorang wanita paruh baya di dekat saya.
Di titik ini, seharusnya bus Transjakarta memang belok kiri, ke arah halte Balai Kota DKI. Tapi entah kenapa malah melenceng. Orang-orang di dalam bus pun mulai ngomel karena sudah mepet waktu bekerja.
“Ini arahnya kemana, Mbak? Tadi harusnya belok kiri ya?” Si sopir bertanya dengan nada bingung.
Lha, ini sopir asli atau gadungan sih? Masa nggak tahu jalan!
Akhirnya kami yang sudah kesal ini mengarahkan ke jalan yang benar. Entah apa yang ada di dalam pikiran sopir Transjakarta ini. Sudah ditunjukkan jalan, masih salah juga. Diminta menepi saja di halte terdekat, malah bablas. Saya pun ikut emosi karena takut telat plus takut bus ini ternyata dibajak.
Kami mengusulkan agar diturunkan di Halte Juanda atau Gambir, tapi si sopir Transjakarta malah melengos. Semua penumpang panik, bahkan ada yang teriak minta dibukakan pintu.
Sang supir tak peduli, tetap gas pol. Akhirnya, bus jurusan Pulogadung-Monas ini kembali lagi ke halte Monas dengan penuh drama kayak di film-film kriminal.
Petugas di sana sempat bingung kenapa kembali lagi. “Saya nggak tahu jalan, soalnya biasanya bukan rute ini. Makanya salah belok tadi.” Si supir menjelaskan dengan santainya. Dan, terjadilah perdebatan antara sopir dengan pihak halte. Kami semua turun dengan lega, kayak habis disandera.
Sebaiknya Transjakarta ngasih arahan ke sopir baru atau yang baru pindah jalur
Pengalaman buruk tersebut membuat saya jadi penasaran sistem kerja di Transjakarta. Jika memang sopirnya baru, seharusnya sudah ada pelatihan terlebih dahulu mengenai rute. Atau, paling nggak, ada GPS khusus agar tidak nyasar (saya kurang paham apakah fasilitas ini ada di dalam bus).
Jangan dilepas begitu saja dong tanpa pemahaman area. Kalau sudah begini, penumpang yang menderita.
Anggap saja sang sopir bukan pegawai baru, tapi pindah rute. Mungkin biasanya melayani trayek Jakarta Utara dan tiba-tiba pindah ke area Pusat.
Sebenarnya, dia juga bisa loh minta bantuan penumpang untuk menunjukkan jalan. Nggak usah malu apalagi sok tahu. Terlepas dari itu semua, pihak manajemen Transjakarta bisa berbenah terkait SDM-nya supaya tidak ada lagi kejadian serupa. Terdengar sepele tapi ini sangat menyusahkan pengguna.
Trauma naik Transjakarta koridor 2
Setelah kejadian aneh ini, saya jadi sedikit trauma naik Transjakarta, terutama koridor 2 jurusan Monas. Ini agak berlebihan tapi saya cuma takut ketemu sopir yang sama.
Pasalnya, saya inget banget saat kami teriak minta bukain pintu, bapak sopir itu nggak peduli. Bahkan saat ditegur oleh petugas di halte dan diminta menurunkan penumpang, dia tetap mengurung kami yang udah nggak karuan.
Sebelum masuk ke dalam bus, saya pastikan dulu sopirnya siapa karena saya lumayan ingat wajah dan namanya. Masih muda juga. Bahkan saya naik ojol terus beberapa hari setelah kejadian itu.
Kekesalan ini saya lampiaskan dengan mengirimkan kritik kepada pihak Transjakarta melalui akun medsos. Semoga ke depannya nggak ada lagi pengemudi Transjakarta yang buta arah dan tujuan.
Kalau diingat-ingat, menegangkan juga ya berada di dalam bus yang penuh sesak dan nggak bisa keluar. Rasanya campur aduk. Saya kayak lagi berada dalam adegan film action, menjadi “tahanan” sopir busway. Saya harap ini yang pertama dan terakhir, deh. Seram!
Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















