Beberapa tahun lalu, banyak orang dengan santainya mengatakan bahwa kuliah hanyalah formalitas. Mereka dengan gagah menyebut hidup itu soal praktik, bukan teori. Tapi kini, mereka menangis dan menderita karena harus hidup dengan gaji di bawah UMR.
Mereka merasa cukup percaya diri untuk tidak terlalu serius menjalani masa perkuliahan. Asal lulus tepat waktu dan IPK tidak terlalu memalukan itu sudah cukup.
Banyak yang menjalani kuliah hanya sekadar absen, mengerjakan tugas sebisanya, dan bahkan lebih fokus mempercantik feeds Instagram daripada menyimak materi dosen. Pandangan seperti itu terdengar keren di awal, terutama karena banyak tokoh sukses yang dijadikan pembenaran.
Mulai dari Bill Gates sampai para pengusaha muda yang mengaku “belajar dari kehidupan langsung”. Mereka lupa bahwa Indonesia bukan Silicon Valley, dan realitas kita sering jauh lebih kejam dari motivasi-motivasi seminar berbayar.
Slip gaji di bawah UMR yang bikin merana
Setelah 5 tahun berlalu, mereka yang dulu menganggap kuliah hanya formalitas kini menatap selembar slip gaji dengan mata berkaca-kaca. Gaji mereka bahkan belum menyentuh standar UMR.
Hidup semakin berat karena harus bayar kontrakan, cicil motor, membantu keuangan orang tua, dan sesekali harus pura-pura bahagia di media sosial. Dunia kerja yang digambarkan sebagai tempat aktualisasi dan pengembangan diri justru terasa seperti mesin pengisap waktu dan energi.
Yang lebih menyakitkan, rekan kerja yang dulunya dianggap “kupu-kupu” alias kuliah-pulang-kuliah-pulang, ternyata kini lebih tenang menjalani hidup dengan posisi kerja lebih mapan dan mental lebih stabil. Sudah begitu, gaji mereka jauh di atas UMR.
Baca halaman selanjutnya: Jangan sepelekan kuliah kalau nggak mau menyesal.




















