Kita lupa bahwa kuliah bukan sekadar soal mendapatkan ijazah
Kuliah adalah latihan berpikir, belajar bertanggung jawab, mengenal ragam sudut pandang, dan membentuk karakter. Khususnya untuk menghadapi tekanan akademik maupun sosial.
Saat seseorang meremehkan proses ini, maka yang diabaikan bukan sekadar mata kuliah, tetapi pondasi untuk menghadapi kehidupan setelahnya. Mereka yang dulu terlalu fokus pada pencitraan, terlalu sibuk menjadi aktivis di luar tapi tak pernah hadir secara utuh di ruang kelas, kini menyadari bahwa dunia kerja tidak cukup ditaklukkan dengan gaya bicara yang meyakinkan.
Skill nyata, kemampuan berpikir sistematis, dan disiplin kerja justru lebih dihargai daripada gaya hidup keren yang hanya laku di linimasa. Apalagi setelah terbentur gaji yang menyedihkan dan jauh di bawah UMR.
Bukan berarti semua orang yang serius kuliah pasti sukses dan sebaliknya. Namun, banyak kasus yang menunjukkan bahwa mereka yang memandang kuliah sebagai ruang pembentukan diri memiliki pijakan lebih kuat saat menghadapi realitas kerja.
Mereka lebih tahan banting, tahu cara belajar hal baru, dan terbiasa menyusun strategi ketika hidup tak sesuai rencana. Sementara mereka yang sejak awal bersikap santai, kini harus menelan kenyataan bahwa tanpa bekal yang kuat, dunia kerja hanya akan jadi putaran tuntutan tanpa penghargaan.
Menyalahkan sistem setelah hidup menderita dengan gaji di bawah UMR
Mereka mengatakan bahwa kampus tidak cukup membekali mahasiswa dengan skill praktis. Tentu saja kritik ini tidak sepenuhnya salah, tapi menjadikan kampus sebagai kambing hitam juga tak sepenuhnya bijak.
Sebab, di saat yang sama, banyak mahasiswa lain dari kampus yang sama justru mampu menemukan jalan mereka. Entah itu lewat jalur karier, wirausaha, atau proyek-proyek sosial.
Jadi, yang membedakan bukan hanya kampus atau kurikulum, tapi juga cara seseorang memaknai dan menjalani masa kuliahnya. Mereka ini yang merasakan pahitnya hidup karena hidup dengan gaji di bawah UMR karena tidak kompetitif.
Kenyataan pahit bahwa gaji di bawah UMR bukan hanya karena pasar kerja yang tidak adil, tapi juga karena kita dulu tidak cukup mempersiapkan diri. Bukan hanya tentang tidak punya koneksi, tapi juga karena kita tidak melatih kemampuan diri ketika punya waktu, ruang, dan akses di bangku kuliah.
Sekarang, ketika jam kerja mulai memakan waktu produktif dan tenaga habis untuk bertahan hidup, banyak yang baru menyadari bahwa belajar tidak pernah benar-benar berhenti. Sayangnya, waktu dan semangat belajar yang dulu diabaikan, kini sudah tak bisa kembali.
Jangan abaikan kenyataan ini
Dalam suasana hati yang kacau, banyak yang akhirnya mulai mengikuti pelatihan. Misalnya dengan mengikuti kelas daring atau sekadar bertanya kepada teman-teman lama yang dulu sempat dianggap “kaku karena kuliahnya terlalu serius”.
Penyesalan pun datang diam-diam. Bukan karena iri pada pencapaian orang lain, tetapi karena sadar telah menyia-nyiakan masa-masa penting yang bisa dimanfaatkan untuk menyiapkan masa depan lebih baik.
Kini, mereka tidak hanya harus bersaing dengan rekan seangkatan, tetapi juga dengan generasi di bawah yang jauh lebih melek teknologi dan informasi. Suram.
Bagi yang membaca tulisan ini dan masih duduk di bangku kuliah, semoga ini jadi peringatan yang tidak diabaikan. Jangan pernah menganggap kuliah cuma formalitas, karena cepat atau lambat, hidup akan menagih kesiapan kita.
Dan untuk yang sudah terlanjur menertawakan masa lalu sendiri, tak apa. Penyesalan boleh datang belakangan, asalkan tidak tinggal selamanya.
Toh hidup masih panjang, dan tidak ada kata terlambat untuk mulai belajar dengan sungguh-sungguh. Meski kali ini bukan demi IPK, tapi demi martabat, ketenangan batin, dan secuil harapan untuk mendapatkan gaji di atas UMR demi hidup yang lebih layak.
Penulis: Elika Dwi Ramadhani
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















