Membuat sebuah karya apa pun itu pasti ada yang nggak suka dan ada yang suka. Ada fans ada pula haters. Begitu pula dengan menulis, apalagi menulis di Terminal Mojok. Menulis di sini mungkin bagi sebagian kecil orang merupakan idaman, maka dari itu mereka berlomba-lomba untuk lolos.
Tetapi yang perlu dipahami adalah menulis di Terminal Mojok juga termasuk ke dalam kategori karya. Maka dari itu, apa yang saya utarakan di atas masih berlaku. Sebagai penulis, tentu harus bisa menerima kritik, saran, dan kalau perlu ujaran kebencian dari para pembacanya. Jika diibaratkan rantai makanan, penulis itu berada di rantai paling bawah. Kemudian di atasnya ada editor atau redaktur, dan di atasnya lagi ada komentator.
Begitu pula ketika saya memutuskan buat nulis di Terminal Mojok. Meski belum sesukses Mas Seto atau seasyik Mas Gusti Aditya dalam menulis di kanal yang identik dengan warna kuning—untung nggak dibilang media Golkar— itu, tetapi saya sudah beberapa kali membaca komentar di sana. Baik yang mengomentari tulisan penulis lain maupun tulisan saya. Ya, saya juga merasakan bagaimana tulisan saya dicaci maki abis oleh para komentator itu.
Setelah sharing sama penulis lain, ternyata memang komentator tulisan di Terminal Mojok ini memiliki keunikan tersendiri. Mereka ini tersaring dari jutaan netizen yang menyempatkan diri membaca artikel di kanal ini. Saking uniknya, saya akhirnya melakukan observasi kecil-kecilan untuk menemukan tipikal tukang komen tulisan Terminal Mojok. Serta bagaimana harusnya penulis menanggapinya.
Pertama: Pembaca Judul
Setiap artikel yang dimuat di Terminal Mojok bakalan dibagikan juga melalui seluruh akun media sosial mojok. Facebook, Instagram, sampe Twitter. Khusus tulisan Terminal Mojok, saya sering mendapati dibagikan di Facebook dan Twitter saja. Alhasil belum juga masuk ke laman Terminal Mojok, sudah ada yang komentar.
Belum genap lima menit artikel di-share, langsung ada yang komentar. Menohok lagi komentarnya. Warganet jenis ini, setelah saya amati ternyata hanya membaca judulnya saja. Mereka menyamakan Terminal Mojok sama Tribunnews yang baru baca judulnya saja menimbulkan emosi. Ini Mojok woy! Kelasnya beda, dong. Dalam menghadapi tipikal komentator semacam ini, saya sarankan setiap penulis membagikan link tulisannya lagi di reply. Biar puas!
Kedua: Ahli Agama
Selayaknya netizen pada umumnya, mereka yang berkomentar di setiap tulisan Terminal Mojok saya amati pun sudah menjelma menjadi ahli agama. Tingkatannya bukan ustaz lagi, sudah syekh. Mau menanggapi tulisan saja pakai hadis segala.
Apalagi syekh-net (syekh yang cuma ngomong di internet) ini suka membanding-bandingkan aliran. Bahkan tak jarang menuding penulis sesat. Nggak ngerti agama, dan seringnya disuruh belajar lagi. Banyak cara untuk menanggapi komentator semacam ini.
Yang pasti teman-teman penulis bisa dengan me-like komentar itu. Iya, like. Manfaatkanlah tombol jempol ke atas. Menyukai komentar bukan berarti sepakat dengan komentarnya loh ya. Itu seperti tanda apresiasi kita sebagai penulis karena tulisannya telah beliau baca. Entah membaca seutuhnya atau judulnya saja. Siapa tahu dengan itu, mereka di sana tersenyum-senyum sendiri. Membuat orang lain senyum kan baik juga.
Ketiga: Tukang Dark Jokes
Kamu kenal Coki Pardede? Itu loh yang senang bikin dark jokes atau komedi gelap. Ternyata di antara komentator Terminal Mojok juga banyak loh yang punya bakat kayak Bang Coki. Bahkan jokes-nya lebih dark, saking gelapnya sampai nggak kelihatan di mana lucunya.
Simpel banget menanggapi komentator macam begini. Sebagai penulis, saya malah paling senang dibuatkan dark jokes dari tulisan saya. Bolehlah sesekali membalasnya dengan emotikon tertawa yang ada air matanya itu. Atau kalau sedang semangat-semangatnya ngetik, balas menggunakan “HAHAHAHA” dan semoga dia bangga sudah numpang melucu dan bisa bikin penulis tertawa di kolom komentar.
Keempat: Akademisi
Tulisan saya soal banyaknya tugas itu nggak disangka mendapat komentar yang lumayan banyak. Saya sebagai penulis bolehlah bangga sedikit. Apalagi karena banyak yang komen tulisan saya jadi trending. Di samping itu saya sebenarnya takut juga, sih.
Gimana nggak takut? Yang komen itu kelihatan akademis semua. Nggak tahu deh, dia itu guru, dosen, mahasiswa, atau malah siswa. Dibaca dari komentarnya sih, bisa masuk dalam kategori orang berpendidikan. Susah menanggapi warganet macam akademisi ini.
Barangkali kalau mau diladeni bisa membalasnya lewat argumentasi dengan teori yang rada ndakik-ndakik. Atau jika nggak mau ribet ya tinggal minta maaf saja. Bisa nulis gini: “Maaf saya nggak bisa memenuhi teori anda, sebaiknya saya belajar lagi.” Lagian, heran deh, kalau nggak sepakat sama tulisannya bikin tulisan tandingan kan lebih bagus.
Jadi, bisa kelihatan sedikit akademis gitu. Kalau cuma komentar mah semua orang bisa. Tunggu dulu, apakah para akademisi semacam ini bakalan beranggapan tulisan di Terminal Mojok adalah produk literasi? Coba aja nulis dulu, siapa tahu bakal dilolosin tulisannya.
Kelima: Ahli Misuh
Dari semua tipikal komentator, menurut saya tipe terakhir ini yang paling keren. Sangat mencerminkan netizen Indonesia. Komentator yang hobinya misuh di kolom komentar Terminal Mojok hampir selalu ada. Kayaknya mereka ini banyak yang membelah diri.
Tulisan saya juga beberapa kali di-pisuhi sama mereka. Ada yang bilang saya sedang berak bukan menulis, atau semacamnya. Tulisan dari penulis lain pun sama. Komentar sejenis ini lebih baik didiamkan saja, kalau bisa dikasih formalin biar beku tuh jari nggak bisa misuh lagi. Mau diladeni pun percuma, bukannya adem malah tambah mangkel.
Udah ah, semoga nggak ada yang bilang menggeneralisir. Karena mau bagaimana tipikal tukang komen, penulis Terminal Mojok nggak bakalan kapok buat nulis. Semakin dikomentari, penulisnya malah semakin menggila buat nulis. Jadi komentator tipe apa pun yang komen malah jadi bahan bakar buat nulis. Hahaha.
BACA JUGA Tantangan Penulis Pemula Melawan Penulis Berprivilese Ketenaran atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.