Coba kita perhatikan perubahan yang terjadi di dinding media sosial kita jelang Ramadan ini: Apa saja yang berubah? Kalau di linimasa saya, semakin banyak kutipan hadis dan ayat lengkap beserta terjemahannya atau kutipan nasihat yang kental dengan corak islami Arab. Sementara sebagian yang lain adalah orang-orang yang masyaallah sekali. Mereka sampai meluangkan waktu di sela-sela kesibukan untuk menghitung mundur hari kedatangan bulan Ramadan. Terlihat mulia sekali, ya, linimasa saya?
Saya paham betul bahwa Ramadan adalah bulan mulia yang kedatangannya layak disambut sebagaimana mestinya. Wong sejak TK saya sudah hafal lirik pujian di kampung yang bunyinya, “Man fariha bidukhuli romadhona, haramallahu jasadahu ‘alan niron”. Yang artinya kurang lebih begini, “Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya bulan Ramadan, maka jasadnya haram masuk neraka.”
Dan sudah barang tentu, pada saat itu saya merasa sangat PD bahwa saya akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang jasadnya tidak akan menyentuh api neraka itu. Pasalnya, saya senang sekali ketika Ramadan datang. Walaupun sebenarnya rasa senang saya karena akan ada banyak makanan di rumah dan dibelikan baju hari raya, sih. Tapi pokoknya saya bersuka cita menyambut Ramadan, jadi saya pasti tidak akan masuk neraka. Begitu pikiran saya saat itu.
Saya jadi teringat petuah ngelantur tapi logis dari Cak Dlahom dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Di situ ia mencoba mengkritik orang-orang desa saat menyambut Ramadan, mulai dari bikin hajatan besar, pasang banner di mana-mana dengan tulisan Marhaban Ya Ramadan. Seolah mereka sudah rindu betul dengan bulan ini.
Akan tetapi, ketika Cak Dlahom yang sering dianggap sinting itu bertanya kepada salah satu panitia penyelenggara penyambutan tersebut mengenai alasan: Kenapa ada ibadah-ibadah yang diwajibkan termasuk puasa Ramadan? Si panitia membisu. Seperti halnya kita yang sering terburu-buru ingin terlihat menjadi yang paling rindu dengan bulan Ramadan, tapi lupa bahwa hakikatnya sesuatu diwajibkan karena manusia tidak suka mengerjakannya.
“Karena sesuatu yang wajib, dimaksudkan Allah untuk meninggikan derajat umat manusia, lalu apa hebatnya orang yang melakukan apa yang ia sudah sukai? Apa akan naik kelas kita kalau hanya mengerjakan apa yang sudah kita bisa lakukan dan kita senangi?” Begitu kira-kira kata Cak Dlahom.
Seperti orang-orang desa tempat Cak Dlahom tinggal, kita ini memang sering tidak jujur. Bahkan pada Allah sekalipun. Kenapa kita tidak terus terang kepada Allah bahwa kita ini hamba amatir yang keberatan menjalankan ibadah wajib termasuk puasa Ramadan? Namun kita siap dan berupaya ikhlas menjalankannya supaya naik kelas atau ditinggikan derajatnya di hadapan Allah.
Countdown atau hitung mundur menuju bulan Ramadan selain tidak jujur, juga gagal memaknai Ramadan itu sendiri. Kenapa? Pasalnya Ramadan harusnya menjadi bulan di mana kita berlatih untuk menjalankan hal-hal yang baik. Nah hasil latihannya kapan bisa terlihat? Ya saat di luar latihan, saat sebelas bulan selain Ramadan.
Lha kalau menjelang Ramadan saja kita baru excited, apa gunanya sebelas bulan lain selama ini? Ke mana hasil latihan dari Ramadan sebelumnya? Masa seriusnya kalau tiap mau latihan doang? Prakteknya malah nggak serius dan justru fokus nungguin waktu latihannya. Kalau jadi atlet dan bertumpu dengan cara berpikir seperti itu, kita sudah pasti dipensiunkan dini. Lha buat apa ngeluarin biaya latihan tapi yang dilatih nggak berkembang?
Tapi nggak apa-apa, kok. Bukan berarti countdown H- sekian Ramadan itu nggak ada gunanya sama sekali. Pasti ada gunanya. Mungkin sekalian memberi peringatan untuk segera berbelanja kebutuhan pangan yang bisa disimpan sebelum harganya melonjak. Atau minimal memberikan inspirasi buat bikin konten bagi budak konten seperti saya.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.