Masalah gaya hidup slow living mulai naik sejak tahun lalu. Banyak orang yang menyarankan gaya hidup ini di tengah kondisi ekonomi yang memburuk. Nah, buat orang Kediri, slow living bukan gaya hidup, tapi terjepit keadaan.
Ya mau bagaimana, di sini, semua orang sadar bahwa hidup hedon itu nggak masuk akal. Nggak sesuai sama pemasukan. Apalagi UMR Kabupaten Kediri itu termasuk rendah. Masalahnya lagi, masih banyak pekerja di sini yang tidak mendapat gaji sesuai standar UMR.
Saya pernah menemukan sebuah pengakuan, lewat menfess di X. Ada yang bilang kalau pacarnya cuma mendapat gaji Rp20 ribu setelah bekerja 12 jam.
Nyatanya, pengakuan seperti itu ada banyak. Salah satunya adalah teman saya sendiri. Sudah kerja sampai overtime, gajinya nggak sampai Rp1 juta. Dengan gaji cuma Rp800 ribu lebih dikit, ya gimana nggak slow living?
Daftar Isi
Upah kerja minim, kerja overtime dan palugada jadi tradisi di Kediri
Di Kediri, adalah hal yang lumrah ketika kamu mendapati ada yang cuma dapat gaji Rp700 sampai Rp800 ribu per bulan. Padahal, mereka bekerja sampai 10 jam per hari.
Sudah begitu, mereka tidak mendapat tunjangan dan mengerjakan banyak hal di luar pekerjaan utama. Malah ada yang pakai hitungan bayaran per jam atau per hari. Artinya, kalau libur ya sama dengan tidak mendapat gaji.
Gaji minimal, kerja maksimal. Sudah begitu gaji nggak sampai UMR malah jadi kewajaran. Maunya sih hidup tenang dengan gaji aman. Nyatanya, mau nggak mau, harus slow living karena miskin.
Tipe pekerjaan yang sering dicari
Saya pernah menganggur dalam waktu lama. Kerjaan saya ya cuma nyari-nyari loker, menunggu tempat open lowongan kerja. Dan ya memang, untuk di Kediri, variasi pekerjaan yang sering open loker sih itu-itu saja. Paling admin, sales, pramuniaga, waitress, atau barista coffee shop yang baru buka.
Saking seringnya masukin lowongan, saya jadi tahu rata-rata gaji di banyak tempat. Kebanyakan yang mepet banget sama UMR, banyak yang di bawah. Di Kediri ada yang bisa ngasih gaji sesuai UMR, tapi beberapa tempat saja. Misalnya, SPG/SPB brand di mall atau kasir supermarket. Itu saja beban kerja mereka cukup berat.
Untuk tawaran gaji yang lumayan besar, harus bisa masuk Gudang Garam. Namun, persaingan masuk Gudang Garam itu sangat ketat. Makanya, banyak anak muda Kediri yang memutuskan merantau. Misalnya ke Surabaya atau Sidoarjo. Semuanya demi tidak terpaksa slow living karena miskin.
Tetap didukung dengan banyaknya jajanan murah
Meski tekanan ekonomi begitu kuat, sesuai ajaran agama, kita tetap harus bersyukur. Kalau di Kediri, misalnya, banyak hal di Kediri masih murah.
Untuk makanan, masih ada ayam geprek dengan harga Rp5 ribu, lalu ada nasi pecel nggak sampai Rp10 ribu. Untuk nasi padang, sekitar Rp10 ribu. Bakso? Harganya antara Rp5 sampai Rp7 ribu. Makanya, kalau mau makan murah, nggak susah nyari.
Tapi, makanan murah tidak menjamin kehidupan jadi mudah. Pilihan slow living di Kediri seharusnya tidak dinormalisasi. Apalagi kerja overtime dan palugada, tapi gaji nggak sampai sejuta. Mengenaskan.
Penulis: Arsyanisa Zelina
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sisi Gelap Hidup di Pedesaan Kabupaten Kediri
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.