Jember, Kabupaten yang sering disebut kota, padahal sebenarnya bukan kota. Termasuk kabupaten paling timur di Pulau Jawa, Jember menjadi bagian daerah Tapal Kuda yang punya budaya begitu heterogen, warna-warni, beraneka rupa. Bisa dibilang Jember adalah tanah dengan akulturasi budaya Jawa-Madura yang sama-sama kuatnya.
Bersama itu pula di dalamnya lahir banyak cerita, termasuk mahasiswa rantau seperti saya yang kurang lebih menghabiskan waktu 6 tahun mulai dari menjadi mahasiswa baru (maba), mahasiswa pre-klinik, hingga kemudian menjalani kehidupan koas gigi dengan seluruh lika-liku yang meninggalkan kesan, hikmah, dan pembelajaran hidup dalam-dalam.
Bagi saya yang sebenarnya juga sama-sama dari Jawa Timur (namun bagian barat), Jember sudah terasa cukup asing. Budaya yang menemani saya tumbuh adalah Jawa Mataraman, agak kaget ketika pertama kali bersinggungan dengan budaya Jember yang cukup campuran, Jawa-Arekan-Madura. Membayangkan saja menjadi teman-teman saya yang berasal dari luar Jawa Timur, Jember pasti terasa lebih asing.
Pernah suatu hari saat upacara entah peringatan apa, saya yang masih maba mengobrol dengan teman sebelah saya, anak Jawa Barat yang sama-sama masih maba. Saat saya tanya kenapa dia memilih Jember, ternyata jawabannya cukup membuat saya terkejut. Sebab, dirinya mengira bahwa Jember ada di sebelah Surabaya. Nyatanya Jember masih 4 jam-an naik kereta dari Surabaya.
Dikiranya pula bandara Jember melayani penerbangan domestik dengan berbagai rute, ternyata tidak demikian. Bahkan saat itu tak ada pilihan transportasi lain. Dia harus menempuh jalur darat karena tidak ada rute penerbangan yang ia butuhkan.
Daftar Isi
Jember, daerah endemik hepatitis
Untuk saya yang kebetulan menjadi salah satu mahasiswa jurusan kesehatan di Jember, saya kira tingkat kesehatan Masyarakat Jember akan cukup tinggi. Mengingat di dalamnya berdiri banyak perguruan tinggi. Bahkan berdiri pula salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup besar di Indonesia. Namun kenyataannya tidak sejalan, baru saya tahu Jember menjadi daerah endemik penyakit hepatitis.
Rumor makanan Jalan Jawa sebagai sumber penyebabnya berhasil membuat saya dan sebagian besar teman saya tidak pernah membeli makanan di daerah tersebut selama enam tahun. Walaupun sebenarnya rumor tersebut masih diragukan kebenarannya. Lebih jauh lagi saya tahu, bahwa tingkat stunting juga masih cukup tinggi, dibersamai dengan masih tingginya angka pernikahan dini.
Sebagai mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan, mau tidak mau akhirnya saya pun terjun ke masyarakat Jember Raya. Mulai dari yang paling dekat kampus hingga pelosok Jember. Jember ini ternyata luas. Dan sering kali saya merasakan adanya ketimpangan yang begitu nyata dalam berbagai bidang antara masyarakat Jember daerah kota dengan daerah yang jauh dari kota.
Bahkan yang belum jauh-jauh amat dari kota pun, hanya lebih masuk-masuk gang di daerah padat penduduk, ketimpangan itu sudah mulai terasa.
Ketimpangan yang terasa
Waktu awal maba, program sosial yang angkatan kami lakukan adalah bakti sosial di daerah yang memang agak jauh dari pusat kota, yakni di sebuah desa arah jalan menuju Lumajang. Sebenarnya desa ini tidak terlalu pelosok, mungkin kurang lebih sekitar sepuluh kilometer dari jalan raya nasional. Namun saat mulai belok dari jalan raya, perlahan akses jalan yang kami lalui menuju lokasi semakin tidak ramah kendaraan. Kondisi jalannya berlumpur, belum aspal sepenuhnya, dan cukup licin saat musim hujan.
Program yang kami gelar saat itu adalah pemeriksaan gigi gratis dengan tindakan gigi sederhana, juga promosi kesehatan. Kebetulan, konsep promosi kesehatan yang kami lakukan adalah door to door, yang kemudian menyadarkan kami akan suatu fakta bahwa kegiatan ini tidaklah mudah.
Kami yang mayoritas bukan bersuku Madura baru menyadari kenyataan bahwa lapangan yang kami hadapi di Jember ini adalah masyarakat Madura yang sebagian tidak begitu lancar berbahasa Indonesia. Tidak sekali dua kali kami diusir dari rumah warga karena mereka mengira kami sales mencurigakan yang akan menghipnotis atau berbuat tipu daya. Singkat cerita, meski banyak kendala, kegiatan sosial pertama kita kali itu berhasil sukses.
Kehangatan yang begitu terasa
Lambat laun, makin banyak kegiatan sosial yang saya hadapi. Kebetulan pula, saya diterima di salah satu beasiswa yang mengharuskan saya lebih aktif lagi di masyarakat. Semakin banyak warna-warna masyarakat yang saya temui. Meskipun banyak kendala sebab perbedaan suku antara saya yang Jawa dan mayoritas mereka bersuku Madura, namun ada banyak kehangatan yang tetap bisa saya rasakan.
Hal lain yang membantu adalah generasi muda mereka sudah banyak yang lancar berbahasa Indonesia. Sehingga bisa menjadi perantara komunikasi di antara kami. Anjuran untuk belajar bahasa Madura memang sering kali disampaikan oleh dosen-dosen saya, tapi Bahasa Madura bukanlah bahasa yang mudah. Enam tahun berlalu pun saya pulang dari perantauan Jember tanpa skill Bahasa Madura.
Kehangatan masyarakat Jember semakin terasa ketika saya menempuh pendidikan koas. Koas gigi yang mengharuskan saya mencari pasien sendiri, mengantar saya ke daerah-daerah yang beragam di Jember. Mulai dari perumahan, pedesaan, hingga gang-gang kecil di tengah kota. Awalnya, kegiatan ini begitu menakutkan untuk saya bayangkan. Bagaimana tidak, saya bukan orang sana, tidak ada keluarga yang menjadi jembatan relasi dengan masyarakat. Pun mengingat segenap keterbatasan bahasa yang kerap kali menjadi penghalang.
Namun ternyata bayangan ketakutan saya tersebut tidak terbukti. Allah menolong saya (juga menolong teman-teman saya). Mayoritas masyarakat Jember yang kami temui, ramah, dan menyambut baik. Menyuguhkan apa saja yang mereka punya meski di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Entah itu teh hangat, kadang kala ditemani pisang goreng, selalu mereka ada-adakan untuk kami. Sering pula kita para koas diundang di acara-acara di rumah mereka (pasien kami). Baik pesta pernikahan, peringatan kematian, atau bahkan acara maulid nabi yang selalu dirayakan secara meriah oleh masyarakat Jember dengan buah-buahan dan beragam makanan. Secara tidak langsung, banyak pelajaran hidup yang bisa saya petik, mulai dari keramahan, hingga nilai-nilai kesederhanaan.
Jember selalu di hati
Tahu kocek, ketan jompo, es puter panda, atau beragam jajanan kaki lima di pinggir alun-alun, berhasil meninggalkan cerita di benak para mahasiswa rantau di Jember. Bagi saya, Jember berhasil menumbuhkan banyak cinta, entah itu dari pertemanan, relasi, pun masyarakat sekitar. Jember yang mulanya begitu asing, menjadi hangat di akhir masa studi saya disana. Masjid perumahan Mastrip yang kebetulan dekat dengan kos yang saya tinggali, menjadi tempat yang begitu merangkul mahasiswa rantau saat Ramadan tiba. Kita yang bingung berbuka pakai apa, atau sahur di mana, begitu difasilitasi untuk datang saja kesana. Ibu-ibu pengurus masjid yang begitu ramah dan doa-doa tulus mereka, hingga kini masih sering kali menghangatkan hati.
Meski tidak lahir dan besar di Jember, ada satu tempat khusus di hati saya yang berhasil ia tempati. Doaku pun tulus untuk Jember yang lebih baik, panjang umur dalam kebaikan. Lalu, semua cinta yang pernah hadir dan tumbuh di Bumi Pandalungan itu akan saya simpan baik-baik, melalui tulisan ini salah satunya.
Penulis: Belva Nuriana Rosidea
Editor: Rizky Prasetya