Bagi sebagian mahasiswa, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu momen paling diingat selama kuliah. Selain akan mengenal banyak mahasiswa dari berbagai fakultas dan program studi, momen KKN ini memungkinkan mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat. Tidak hanya dari masyarakat dalam provinsi kampus tersebut berada, tetapi bahkan sebagian kampus memberikan kesempatan bagi mahasiswanya untuk KKN ke luar provinsi dan luar pulau, termasuk saya yang melaksanakan KKN UGM di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Di kalangan mahasiswa UGM, KKN ke luar provinsi maupun luar pulau Jawa bukan sesuatu yang wah atau pun baru. Sebab, dari sejarahnya sendiri, KKN UGM dimaksudkan untuk memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat yang masih tertinggal sehingga pembangunan sosial dan ekonomi dapat lebih cepat terlaksana. Pada tahun 2023, tim saya bersama tiga tim lain dari UGM melaksanakan KKN di Provinsi Maluku. Tim saya sendiri kebagian di Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru.
Bagi mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Pulau Buru mempunyai pesona sendiri karena memiliki daya tarik sejarah sosial-politik sejak masa orde lama. Bagi orang yang mencintai karya sastra pun, istilah “Buru” sudah diidentikkan dengan tempat yang mempunyai makna mendalam karena merupakan daerah di mana salah satu sastrawan legendaris Indonesia menuliskan karya-karya terbaiknya, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Dua alasan tersebut membuat saya kala itu sangat bersemangat melaksanakan KKN UGM di Pulau Buru.
Daftar Isi
Disambut lalapan ayam porsi jumbo dan dangdut khas Jawa Timuran
Sebelum sampai ke lokasi KKN, kami sudah mendapatkan informasi dari salah satu KAGAMA (Keluarga Gadjah Mada, organisasi alumni UGM) yang kami kenal bahwa masyarakat di Kecamatan Waeapo banyak yang keturunan Jawa. Hal ini disebabkan daerah tersebut merupakan wilayah transmigrasi yang merupakan program pemerintah pada era 80-an. Meskipun begitu, kami merespons dengan biasa saja. Toh, namanya juga transmigran, masa ya bakal mendominasi? Pasti masih banyak penduduk aslinya lah.
Akan tetapi, satu per satu praduga kami terpatahkan. Setelah menaiki kapal PELNI selama tiga hari tiga malam, di malam itu akhirnya kami tiba di salah satu balai desa di Kecamatan Waeapo untuk disambut secara sederhana untuk kemudian dipersilakan istirahat. Saat itu, hal pertama yang mengejutkan adalah makanan yang disajikan ke kami sangat Jawa, yaitu lalapan sayur dan ayam goreng yang sambalnya cukup medok. Ditambah lagi, ternyata kepala desanya malah fasih berbahasa Jawa karena keturunan orang Magelang. Musik pengiring makan pun dangdut Jawa Timuran yang meskipun tidak terlalu keras karena sudah malam, jedag-jedug-nya masih terasa khas.
Sambil menghabiskan lalapan ayam yang porsinya bisa buat dua orang itu, saya jadi was-was. Jangan-jangan, perjalanan tiga hari tiga malam hanyalah imajinasi atau mimpi belaka. Takut ternyata saya KKN-nya ternyata di Bantul, bukan di Maluku!
Antara percampuran budaya dan kaburnya identitas
Singkat cerita, masa-masa kaget kami pun berakhir. Akhirnya kami juga menyadari bahwa wilayah tempat kami KKN sudah cukup maju. Bahkan, beberapa anak di desa kami mengabdi, sudah ada yang menggunakan sepeda listrik. Alat pertanian juga sudah cukup modern. Hampir tidak ada yang memanen padi secara manual, sudah pakai mesin. Namun, ketika akan menggali potensi sosial-budaya, kami cukup kesusahan.
Masyarakat Buru, khususnya di wilayah unit, sebutan untuk wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat transmigran, identitas kebudayaannya cukup sulit untuk didefinisikan. Mau disebut orang Jawa, tetapi mayoritas dari mereka lahir dan besar di Buru. Mau disebut orang Maluku, mereka fasih berbahasa Jawa dan hanya bisa sedikit-sedikit berbahasa lokal. Mereka juga hidup berkelompok dengan sesama komunitas Jawa. Bahkan, di sebagian titik, berkelompok sesuai asal daerah orang tua mereka.
Pada akhirnya tugas kami untuk menggali potensi mereka tidak tuntas. Kami hanya mengamini bahwa mereka adalah masyarakat yang unik, tetapi sekaligus prihatin. Mereka mengagumi dua kebudayaan sekaligus, Maluku dan Jawa. Namun, keduanya tidak ada yang mereka pahami dengan benar-benar utuh. Muatan lokal di sekolah pun sampai sekarang belum bisa memfasilitasi fenomena unik tersebut.
Pentingnya keterlibatan aktif mahasiswa KKN dan pemerintah setempat
Selama sekitar empat puluh hari di Kabupaten Buru, kami lebih banyak berinteraksi secara kasual dengan masyarakat setempat. Tidak ada proker yang benar-benar menyelesaikan masalah yang ada di desa pengabdian. Namun, bukan berarti KKN yang kami sebut babat alas (karena memang lokasi baru) ini gagal total. Pada tahun 2024, langkah kami di Kabupaten Buru dilanjutkan oleh adik tingkat, meskipun di daerah yang berbeda. Lebih Maluku, alias tidak di wilayah unit lagi.
Kesalahan pertama kami ketika akan melaksanakan KKN UGM di Kabupaten Buru adalah menyerahkan secara total masalah penempatan kepada pemerintah daerah. Kami terlalu percaya bahwa akan mendapatkan lokasi yang paling cocok. Namun, nyatanya, setiap pihak mempunyai kepentingan masing-masing dan belum tentu sinkron. Mahasiswa perlu aktif untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhannya juga. Kami lalai di tahap ini.
Akan tetapi, tetap saja pengalaman KKN di Kabupaten Buru tersebut sangat berkesan. Tanpa itu, saya nggak akan menemui orang dengan logat Maluku, tetapi berbahasa Jawa dengan fasih. Saya nggak akan tahu sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) versi masyarakat lokal. Saya nggak akan tahu ternyata Nahdlatul Ulama punya LAZISNU, tidak hanya Muhammadiyah dengan LAZISMU. Terakhir, saya nggak akan tahu bagaimana rasanya terombang-ambing di kapal selama tiga hari tiga malam bersama kecoa. Rasanya tidak ada perjalanan yang tidak ada arti.
Penulis: David Aji Pangestu
Editor: Rizky Prasetya