Mereka yang sedari awal percaya eksistensi Tuhan dengan memeluk agama sesuai keyakinan—menganggap menjadikan sesuatu selain Tuhan atau agama diatas segalanya adalah murtad. Pun juga terjadi hal yang sama dalam dunia sepakbola—kamu pindah klub yang kamu dukung maka kamu murtad.
Ini terjadi mungkin hanya untuk kalangan supporter saja. Bahwa klub saya adalah agama saya. Klub kamu adalah golongan kafir dan #bukangolongankami. Tidak heran jika akhirnya muncul fanatisme buta dalam sepakbola. Ada semacam magnet besar yang menjadikan kita khusyuk dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang supporter dalam kaitannya dengan memberikan dukungan kepada klub kebanggaan.
Menjalankan kewajiban sebagai bentuk rasa syukur atau peribadatan kepada Tuhan dalam agama dianggap setara dengan kewajiban mendukung tim kebanggaan dalam sepakbola. Saya sangat yakin, mereka yang tidak punya idola dalam dunianya masing-masing tidak akan bisa paham apa yang saya utarakan ini.
Seperti halnya agama, sepakbola sebenarnya mengarah kepada hal yang sama dengan yang ajarannya ditanamkan dalam agama. Sepakbola adalah semacam dogma—bahwa mendukung tidak butuh melihat apa, dari mana dan bagaimana. Tidak perlu neko-neko. Bahwa saya hanya butuh menyatakan syahadat (pengakuan) mendukung kepada sebuah klub dan saya telah menjadi umat (supporter) agama (klub) itu.
Mendukung adalah sepenuhnya menyerahkan jiwa dan raga untuk klub kebanggaan. Bahwa ketika dogma tentang keagungan klub saya sudah merasuk kedalam jiwa dan pikiran—tidak ada yang lain terlintas selain saya adalah wujud eksistensi klub saya.
Kepada mereka yang masih sering menggaungkan kata-kata loyal untuk klub kebanggaan adalah supporter yang masih dalam tahap ajaran syariat. Mereka masih belajar menjalani kewajiban sebagai seorang supporter menuju kata sejati dalam tahap makrifat. Bagi mereka yang baru sampai pada ajaran ini, anda mau macam-macam dengan klub saya maka anda berhadapan dengan saya—tidak jauh berbeda dengan agama pada arti yang sebenarnya. Untungnya, di sepakbola terutama dunia supporter belum ada undang-undang penistaan kepada klub atau supporter.
Ironisnya, hal-hal diatas yang menjadikan sepakbola sebagai agama didukung dengan kultur masyarakat kita yang semakin kesini semakin rendah nilai-nilai kemanusiaan yang bisa diserap ke dalam jiwanya. Arahnya tentu sangat jelas, fanatisme buta. Dan jika sudah begitu? Kita mulai dan bahkan sudah sering disuguhi pemandangan yang asik masyuk tentang kekerasan dan bahkan pembunuhan dalam sepakbola.
Akibat fanatisme ini ada yang dengan secara terang-terangan memberikan pengajaran kepada sesama supporter untuk saling membenci. Dan yang paling tinggi ajarannya, darah supporter yang berseberangan klub dengan saya adalah halal adanya.
Sejak 2016, organisasi independen Save Our Soccer (SOS) mencatat setidaknya 22 kasus supporter sepakbola Indonesia meninggal akibat sepakbola. Sepuluh kasus diantaranya mengarah kepada tindak kekerasan yang berujung penganiayaan dan pembunuhan. Menarik mundur kebelakang pun juga tidak jauh berbeda, bahkan bisa dibilang brutal dan diluar nalar.
Bahkan saya yang pada hakikatnya mulai terpengaruh dengan ajaran agama sepakbola ini, merasa muak dengan video-video yang beredar mempertontonkan begitu hinanya seorang supporter yang berseberangan dengan kita diperlakukan. Ditendang, dihantam, dipukul dibanting membabi buta. Seakan dengan melakukan ini, si pelaku akan mendapatkan pahala dari klub kebanggaannya. Ketika kejadian semacam ini terjadi berulang kali, saya yang seorang awam dan sedang dalam usaha terbaik saya menjalankan ajaran agama sepakbola saya dengan khusyuk ini mulai marasa ragu akan kebenaran ajaran ini.
Dalam ajaran semua agama menyatakan, membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia. Penghilangan nyawa secara paksa dalam berbagai alasan dan perspektif tetap saja sebuah pelanggaran. Pelanggaran dalam kemanusiaan, pelanggaran dalam adab, lebih-lebih pelanggaran dalam hukum. Kalau politik mah saya tidak bisa menjawab.
Berkaca dari hal-hal yang marak tentang agama belakangan, saya sebenarnya tertarik untuk paling tidak memberikan sedikit “jiwa” saya agar sepak bola terutama dunia supporter bisa dimurnikan ajarannya sebagaimana beberapa agama dewasa ini berusaha membenahi kemurnian agamanya. Agama yang menyebabkan perang dan kemudian sentimen-sentimen agama kepada kelompok-kelompok minoritas di masa lalu toh akhirnya berangsur-angsur berubah seiring perkembangan jaman.
Bahwa saat ini masih ada sentimen besar terhadap mereka yang minoritas adalah kenyataan yang harus kita saksikan. Tapi bahwa semakin kesini, kemoderatan beberapa agama menjadikan kehidupan beragam menjadi toleran harus menjadi hal yang bisa kita terapkan dalam sepakbola. Paling tidak ada nilai-nilai yang bisa kita petik untuk kebesaran sepakbola. Saya berpikiran bahwa dogma yang telah mengakar dalam jiwa seorang supporter bisa kita manfaatkan menuju kejalan damai antargolongan supporter yang lebih besar.
Kita umat (supporter) sebuah agama (klub) berpeluang menciptakan hal yang besar dalam konteks ajaran agama sepakbola dengan meniru ajaran agama yang sebenarnya. Paling tidak hal paling mendasar untuk membangun ini adalah saling membutuhkannya kita dengan klub kita, saling membutuhkannya kita dengan supporter lainnya yang jika tidak dalam kebaikan yang sebenarnya—paling tidak saling membutuhkannya kita untuk saling “mencaci” antar supporter atau beda suporter.
Pada akhirnya, sebagai insan supporter yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, saya masih sangat yakin bahwa masih banyak orang-orang baik diantara tiap supporter di Nusantara ini yang memiliki jiwa kemanusiaan untuk bisa saling mempererat silaturahmi antar umat supporter. Membangun kembali semangat saling peduli.
Walaupun tidak sebagai teman dalam arti sebenarnya, toh kita masih bisa menganggap sesama supporter sebagai teman yang dulu pernah saling menghujat karena berada dalam satu rumah dengan kamar yang terikat dalam adab-adab yang berlaku dalam rumah itu. Sebuah rumah yang dikhususkan untuk seluruh supporter Indonesia. Tidak memandang agama klubmu apa, karena memaknai toleransi, kita bisa bersama dalam bingkai Kesatuan Republik Supporter Indonesia yang berbeda kebanggaan namun tetap satu Indonesia!