Tidak banyak yang tahu, angkringan aslinya dari Desa Ngerangan Klaten.
Warga Jogja tentu nggak asing dengan angkringan. Itu lho, gerobak penjual makanan nasi kucing dan berbagai lauk-pauk yang bisa ditemukan di sudut-sudut Jogja. Saking melekatnya angkringan dengan Jogja, mendiang penyair Joko Pinurbo mengabadikannya dalam satu bait sajak yang begitu masyhur “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”.
Akan tetapi, saya kerap bertanya-tanya, apakah angkringan betul-betul lahir dan tumbuh secara organik di Jogja ya? Sebab, saya sempat mendengar selentingan, angkringan aslinya berasal dari Klaten. Kabupaten sebelah yang selalu punya cerita unik di mata saya.
Daftar Isi
Tidak asli dari Jogja, tapi dari Klaten
Saya ragu-ragu Jogja adalah cikal bakal angkringan ketika mengetahui banyak penjual angkringan berasal dari Klaten. Pada waktu itu, saya nggak sengaja mendengar percakapan seorang pedagang angkringan di kawasan Malioboro. Dia mengatakan, teman yang biasa membantunya berjualan tengah pulang ke kampung halaman, ke Klaten. Pertanyaan selanjutnya, angkringan ini tepatnya berasal dari Klaten sebelah mana ya?
Rasa penasaran itu membawa saya pada sebuah penyelidikan kecil-kecilan. Ada satu liputan di CNN Indonesia siaran lokal Jogja yang menjelaskan asal-muasal angkringan dari Cawas, Klaten. Akan tetapi, saya kurang begitu yakin dengan informasi tersebut. Sebab, ada satu desa di Kecamatan Bayat, Klaten yang punya monumen patung pikulan khas angkringan lawas, lengkap dengan tungku dan ceretnya. Bahkan, peresmian monumen patung yang terletak di Desa Ngerangan Klaten itu dilakukan langsung oleh bupatinya.
Kalau angkringan tidak punya kaitan begitu dalam terhadap Desa Ngearangan Klaten, tidak mungkin monumen itu berada di sana, apalagi diresmikan langsung oleh pejabat setempat. Setelah iseng melihat data demografi penduduk desa tersebut, ternyata lebih dari 30 persen warga Desa Ngerangan Klaten adalah pedagang angkringan. Bisa dibilang, angkringanlah yang memutar roda perekonomian warga. Oh, pantas saja.
Di Desa Ngerangan Klaten, bekerja sebagai pedagang angkringan semacam garis hidup alias sudah sangat lumrah dijalani warga. Bahkan, pedagang angkringan dianggap pekerjaan yang bergengsi dan membanggakan. Mungkin sama membanggakannya ketika seseorang kerja jadi PNS atau pegawai BUMN ya. Apalagi ketika seseorang sudah punya banyak cabang angkringan, sudah pasti dia menjadi mantu idaman yang diperebutkan orang tua. Punya cabang hingga Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Lampung, Kalimantan akan menjadi poin plus.
Perkembangan angkringan
Lantas, siapa sih yang memelopori penyebarluasan angkringan sampai ke daerah-daerah tadi? Dialah Karso Djukut, warga Dukuh Sawit, Desa Ngerangan, Klaten. Dia dan beberapa orang lain mengawali berjualan makanan dan minuman sederhana dengan membawa pikulan. Awalnya, mereka berjualan ke Kota Solo sekitar 1930 hingga 1940-an.
Merekalah yang mencetuskan racikan jahe dan teh khas angkringan dengan mencampur beberapa merek teh dengan takaran tertentu. Saat ini teh racikan itu malah dikenal dengan teh Solo dengan tagline “nasgitel” atau panas, legi, kentel (panas, manis, pekat). Sementara angkringan lebih melekat pada citra Jogja. Padahal dua hal itu bermuara dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten.
Angkringan kemudian mengalami perkembangan hingga masa kontemporer yakni menggunakan gerobak dan berjualan secara mangkal. Namun, seiring perkembangan waktu, ada sedikit perbedaan penyebutan angkringan. Di Solo tempat makan semacam ini lebih dikenal dengan hik (baca: hek) kepanjangan dari Hidangan Istimewa Kampung. Entah singkatan ini benar atau hanya cocokologi belaka seperti singkatan Cari Uang Jalan Kaki alias cuangki di Bandung. Sementara, daerah lain seperti Jogja menyebutnya dengan angkringan yang berasal dari kata “nangkring” atau nongkrong.
Kendati beda penyebutan, secara garis besar menu makanan dan minuman yang disajikan mirip. Angkringan hadir dengan ciri khas menu nasi kucing lengkap dengan makanan pelengkap atau pendamping seperti gorengan dan sate-satean. Nggak lupa selalu ada ceret di atas tungku anglo arang yang siap menjamu pelanggan dengan berbagai jenis minuman.
Pelestarian angkringan di Desa Ngerangan Klaten
Angkringan menjadi sebuah khazanah kuliner dan budaya yang makin dikenal seantero Indonesia karena hidangannya yang murah meriah. Selain itu, angkringan jadi tempat paling egaliter karena semua kalangan boleh datang. Bahkan, kepopuleran tempat makan ini nggak cuma di Indonesia, angkringan Desa Ngerangan Klaten sudah melanglang buana sampai ke negeri-negeri lain nun jauh. Putra Desa Ngerengan asli yang membawa angkringan sampai Korea, Jepang, dan Belanda. Ngeri kali, bah!
Pemerintah setempat melihat fenomena angkringan jadi potensi desa yang harus terus dipertahankan. Angkringan seperti sebuah legenda hidup dari Desa Ngerangan Klaten. Itu mengapa di sana dibangun museum angkringan. Museum itu berisi memorabilia sejak awal tercetusnya sampai perkembangannya di era kontemporer. Mungkin terdengar remeh, tapi dari sudut pandang sejarah ini penting demi keberlangsungan angkringan.
Upaya lain dari pemerintah setempat, mereka mengadakan edukasi dan pembinaan melalui sekolah angkringan. Ya, kalian nggak salah baca, ada sekolah angkringan di Desa Ngerangan Klaten. Tentu bukan seperti sekolah pada umumnya yang mengajar calistung ya. Di sini para murid diajarkan “seni” berjualan angkringan yang baik dan benar, serta seluk-beluk perniagaannya.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah desa ini saya rasa sangat diperlukan. Sekarang ini banyak bermunculan pedagangan kaki lima, terutama di luar Jogja, Klaten, Solo, yang menggunakan nama angkringan, tapi secara filosofi dan praktik jauh berbeda dengan angkringan yang sahih. Bisa dikatakan, angkringan-angkringan ini abal-abal dan bentuk bid’ah yang menyalahi sunnah.
Penulis: Rizqian Syah
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.