Penjual kue pancong di Tegal merana begitu harga gula naik. Akhirnya nggak jualan di bulan puasa.
Pernah makan kue pancong? Sepintas, bentuk kue tradisional ini mirip dengan kue pukis. Sejauh saya menelusur, tidak ada literatur yang menjelaskan bagaimana asal mula jajanan tradisional ini tercipta. Ada yang menyebut kue pancong berasal dari Betawi. Namun, ada pula yang menyebut bahwa kue pancong asli dari Jawa Barat. Entah mana yang benar.
Selain perbedaan pendapat tentang darimana kue pancong berasal, cerita dibalik nama “pancong” juga ada dua versi. Versi pertama, disebut kue pancong karena cara membuatnya menggunakan cetakan kue dari wajan yang bernama pancong. Versi kedua menyebut bahwa pancong adalah singkatan dari pantat dicongkel, yang menggambarkan bagaimana proses pembuatan kue ini.
Jika kamu asing dengan nama kue pancong, mungkin daerah tempat tinggalmu lebih mengenalnya dengan sebutan kue pancung, bandros, ataupun gandos. Intinya, kue pancong adalah jajanan tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut, santan, dan garam. Adonan tersebut kemudian dipanggang menggunakan wajan cetakan.
Daftar Isi
Penjual kue pancong: jual murah, untung tak seberapa
Pak Kusnadi adalah salah satu penjual kue pancong yang biasa menjajakan dagangannya di sekitaran Alun-alun Slawi Kabupaten Tegal. Seperti penjual kue pancong pada umumnya, Pak Kusnadi tidak berjualan di dalam lapak yang teduh. Setiap hari, ia harus memikul gerobak khas kue pancong di pundaknya, berjalan puluhan kilo mengais rezeki dari pembeli.
Ketika ada kesempatan ngobrol panjang lebar dengan beliau, Pak Kusnadi banyak bercerita tentang bagaimana suka duka menjadi penjual kue pancong. Ah, tidak tepat disebut suka duka sebetulnya. Cerita yang mengalir dari Pak Kusnadi, kebanyakan mengandung bawang. Sebuah cerita tentang perjuangan yang jauh dari kata suka.
Salah satunya, yang sering Pak Kusnadi alami, yaitu kue pancong dagangannya masih banyak tersisa. Padahal, di hari itu beliau sudah berjalan jauh bersama dengan matahari. Namun apa daya, rezeki belum menjadi miliknya. Meski demikian, Pak Kusnadi menganggap itu sebagai sebuah risiko. Pak Kusnadi sadar, kue pancong yang dijual dengan harga murah meriah tak bisa membuatnya pulang dengan membawa untung melimpah. Habis maupun tidak habis.
“Yang penting ada buat makan hari ini,” begitu kata Pak Kusnadi. Matanya tampak menerawang.
Pantang menggunakan bahan sisa
Sebetulnya, adonan kue pancong yang tidak habis masih bisa digunakan untuk keesokan harinya. Dengan catatan, adonan tersebut dimasukkan dulu dalam cetakan dan dipanggang setengah matang. Esok harinya, kue pancong tinggal dipanaskan lagi ketika ada pembeli. Dijamin, rasanya masih enak. Pembeli pun tidak akan menyadari bahwa adonan yang digunakan adalah adonan sisa kemarin.
Akan tetapi Pak Kusnadi pantang melakukannya. Daripada menggunakan bahan sisa untuk dijual kembali, Pak Kusnadi memilih untuk membagikan sisa kue pancongnya kepada orang-orang yang dia temui dalam perjalanan pulang. Kadang pula Pak Kusnadi membaginya kepada para tetangga. Jadi, adonan yang dia gunakan tiap harinya adalah adonan yang baru.
Melihat penjual kue pancong seperti Pak Kusnadi, tiba-tiba saya jadi ingat investigasi penjual curang yang pernah ditayangkan di televisi. Demi meraup untung sebesar-besarnya, mereka rela menggunakan bahan sisa bahkan bahan yang sudah kedaluwarsa. Risiko kesehatan pelanggan? Ora urus! Sing penting cuan.
Pak Kusnadi, penjual kue pancong di Tegal yang memilih tidak berdagang di bulan puasa
Mendengar cerita Pak Kusnadi, saya jadi penasaran bagaimana kabar dagangannya di bulan puasa. Dalam benak saya, kue pancong ini pasti bakal kalah pamor dengan takjil lain. Selain itu, bukankah akan sulit bagi penjual kue pancong mendapatkan pelanggan di pagi hingga siang hari? Apalagi Pak Kusnadi biasanya mangkal di depan gerbang sekolah yang ada di Tegal. Rasa-rasanya, libur berjualan adalah pilihan terbaik.
Benar saja. Ketika pertanyaan tentang bagaimana nasib kue pancongnya di bulan puasa, Pak Kusnadi menyebut bahwa setiap bulan puasa, dia tidak hanya menahan lapar dan dahaga tapi juga puasa berjualan.
“Trus untuk sehari-hari bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.
Pertanyaan saya lalu dijawab Pak Kusnadi dengan sebuah tawa. Tawa yang entah kenapa terdengar getir di telinga saya.
Alasan tidak berjualan
Alih-alih menjawab bagaimana cara bertahan di bulan puasa, Pak Kusnadi justru bercerita tentang alasan dia tidak berjualan pancong keliling Tegal selama Ramadan. Rupanya bukan hanya faktor kebanyakan orang sedang puasa yang membuat dia berisiko untuk kehilangan pembeli, tingginya harga bahan baku kue pancong di bulan puasa juga turut menjadi pertimbangan.
Di bulan puasa, harga kelapa memang sering kali lebih mahal dibanding hari-hari biasa. Padahal kelapa adalah bahan baku membuat kue pancong. Bukan hanya itu, gula pasir yang digunakan untuk taburan kue pancong juga sering kali menggila harganya di bulan puasa.
“Pembeli itu kadang minta gula pasirnya yang banyak. Masa mau saya tolak?”
Atas pertimbangan itulah Pak Kusnadi memutuskan untuk berhenti berjualan selama bulan puasa. Dia lebih memilih untuk berkumpul bersama keluarga, makan seadanya dari sisa-sisa uang yang dia sisihkan selama berjualan.
“Kalau ada rezeki, pengin ganti profesi jadi tukang kredit panci. Tidak jadi penjual kue pancong lagi biar tidak bingung kalau harga kelapa dan gula naik,” kata Pak Kusnadi sembari menyerahkan kue pancong pesanan saya.
Saya tidak tahu perkataan terakhir Pak Kusnadi itu guyonan atau serius. Yang jelas, harga gula dan kelapa yang mendadak mahal di bulan puasa itu memang ngeselin. Sialnya, hal itu selalu terjadi lagi dan lagi.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Duka Penjual Ikan Hias Keliling di Malang Kala Ramadan, Hanya Ingin Laku agar Ada Uang untuk Lebaran.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.