Memiliki orang tua seorang guru, membuat saya merasa beruntung. Bagaimana tidak, saya seringkali mendengar curhatan dari Ibu mengenai sekolah—dimulai dari lingkungan, kepala sekolah, dan yang pasti adalah kelakuan para muridnya. Awalnya saya yang tidak tahu tentang pendidikan secara internal—paling tidak kebijakan sekolah—sekarang menjadi tahu dan merasa tercerahkan.
Sudah biasa juga rasanya Ibu cerita tentang beberapa perilaku wali murid—khususnya, mereka yang suka menanyakan di akhir semester (dulu sempat menggunakan sistem caturwulan) ingin dapat bingkisan apa. Ada yang memang bertujuan untuk sekadar memberi kenang-kenangan dan ada juga yang berusaha mendapatkan hati Ibu agar anaknya bisa naik kelas.
Praktik seperti itu masih dilakukan oleh beberapa wali murid—sudah jelas Ibu menolak keras. Menurut Ibu, kalau memang tidak naik kelas—buat apa dipaksakan. Jika Ibu menaikan kelas murid dengan paksa, sedangkan standar minimal tidak terpenuhi dari segi nilai dan kehadiran—apalagi tidak masuk karena bolos—selanjutnya akan menjadi kebiasaan bagi murid juga walinya. Ibu berpendapat, pemahaman materi lebih penting dibanding hanya nilai.
Itulah kenapa, walau memiliki orang tua yang berprofesi sebagai guru, Ibu tidak pernah memaksa saya untuk mendapat nilai tinggi. Yang terpenting saya paham dengan apa yang dipelajari di sekolah. Toh, tiap anak punya kelebihan, kekurangan dan juga keunikan masing-masing.
Sewaktu SD, saya menjadi anak yang terlampau biasa. Baik dari segi pergaulan, maupun nilai yang didapat. Tercatat, hanya satu kali saya mendapat ranking tiga. Sampai akhirnya Ibu saya menyampaikan suatu wejangan yang bersumber dari sudut pandang pribadi Ibu.
“Guru itu akan ingat sama dua tipe murid—pertama murid yang pintar di kelas, kedua murid yang nakal”.
Pada poin itu, secara tidak langsung Ibu meminta saya untuk memilih, menjadi pintar atau menjadi murid yang nakal sehingga bisa dikenal guru—bahkan tidak menutup kemungkinan dikenal satu sekolah.
Saya menjalankan apa yang dikatakan Ibu. Semasa SMP adalah waktu di mana saya giat dalam belajar. Atas kerja keras yang saya lakukan, sampai lulus sekolah ranking yang didapat selalu empat besar. Bahkan rangking pertama sudah dirasakan. Sampai banyak guru yang mengenal, wejangan Ibu amat sangat tepat.
Setelah lulus SMP dan masuk SMA, semangat belajar saya memudar, seperti anak SMA kebanyakan, saya lebih suka main dan kumpul bersama teman, dibanding harus belajar. Motto saya selama SMA adalah, “Nggak perlu nilai bagus, yang penting bisa lulus”—tentu ini tidak layak ditiru.
Pada periode ini, saya menjadi murid biasa saja yang tidak dikenal oleh banyak guru. Banyak yang mengenal saya justru semua pedagang di kantin—karena di sela-sela jam pelajaran berlangsung, saya selalu menyempatkan diri izin ke kantin untuk membeli camilan.
Di masa kuliah—karena saya merasa belajar di jurusan yang saya minati—keinginan belajar pun kembali meningkat dan kembali berhasil “merebut” hati dosen dari nilai yang saya dapat. Ditambah saya sempat menjadi asisten laboratorium untuk kebutuhan praktikum selama dua tahun.
Ibu saya pun sampai dengan saat ini masih bercerita tentang siapa saja murid yang masih diingat—padahal anak tersebut sudah lulus belasan bahkan puluhan tahun lalu. Kriterianya masih sama, antara pintar dan nakal. Untuk murid yang nakal, akan lebih diingat oleh Ibu karena pastinya sempat berurusan langsung—kena teguran sampai dengan dihukum. hehe.
Kenakalannya beragam, ada yang kabur dari sekolah tanpa izin dari guru padahal di jam pertama (pagi)—ada. Ada yang suka buat onar di kelas—Ibu sedang mengajar, murid lelaki ada yang jalan-jalan di kelas sambil menggoda-goda anak perempuan—dan masih banyak kelakuan absurd lainnya namun masih dalam batas wajar.
Cara demokratis dari Ibu perihal penentuan bagaimana saya harus bersikap selama sekolah, membentuk karakter saya pada saat ini di dunia kerja. Menjadi orang baik, “nakal”, atau “pemberontak” itu merupakan pilihan masing-masing. Terpenting, tetap bertanggung jawab atas apa yang dilakukan baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Jika guru adalah pengalaman terbaik—dalam poin ini, Ibu menjadi sesuatu yang berharga dalam hidup meski seandainya tidak berprofesi sebagai guru sekalipun.