Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Tren Hijrah yang Banyak Dipersoalkan Umat

Rohmatul Izad oleh Rohmatul Izad
17 Desember 2019
A A
ahli bid'ah, Tren Hijrah yang Banyak Dipersoalkan Umat
Share on FacebookShare on Twitter

Boleh jadi, tren hijrah yang terjadi di sebagian umat Islam Indonesia saat ini telah memberi warna baru bagi gerakan Islam post-modernisme. Gerakan hijrah ini bukan khas terjadi di ranah pemikiran keislaman atau keagamaan. Akan tetapi lebih pada tren budaya pop perkotaan yang membaur antara tren keagamaan dan model baru pakaian Muslim serta gaya hidup. Di satu sisi, tren hijrah menghasilkan corak baru dalam beragama yang non-kultural. Sementara di sisi lain, ada semacam nilai komoditas yang diproduksi terkait dengan budaya pop seperti pakaian yang secara imajiner dianggap ‘Islami’.

Bahkan, baru-baru ini ada iklan di beberapa televisi swasta, yang isi materi iklan tersebut berkaitan dengan pasta gigi yang salah satu bahan materialnya terbuat dari kayu siwak yang dulu juga dipakai oleh Rasulullah untuk menggosok gigi. Di bagian akhir iklan itu, muncul kata-kata “hijrah”, yang lagi-lagi, secara imajiner dikaitkan dengan aktivitas keagamaan dan mengiring opini publik untuk ikut serta dalam gerakan hijrah itu. Sebab, aktor iklannya juga orang-orang yang telah ‘hijrah’, yang mungkin sebelumnya sangat jauh dari nilai-nilai agama.

Model iklan di atas hanyalah contoh kecil, betapa tren hijrah ini menjadi semacam nilai komoditas baru yang membawa-bawa agama ke ranah ekonomi kapital. Padahal, tak ada sangkut-pautnya antara pasta gigi dan tren hijrah, tetapi ia seakan-akan memiliki nilai baru yang diciptakan. Supaya orang berbondong-bondong menjadikan perkara hijrah ini menjadi tren Islami, yang selanjutnya menjadi budaya paten Islam. Akhirnya, Islam menjadi terkesan receh, di mana tren keagamaan saja sangat mudah menghasilkan nilai komoditas baru bagi kapitalis, yang pada gilirannya agama disalahgunakan.

Di samping itu, tren hijrah yang terjadi saat ini, khususnya di kalangan artis, sebenarnya telah merombak makna hijrah yang sesungguhnya. Mereka tidak memperluas makna hijrah tetapi justru makin mempersempit. Sebab, ada anggapan bahwa seseorang tidak akan menjadi cukup Islami sebelum ia akhirnya berhijrah. Jelas, anggapan semacam ini tak lebih dari tipudaya dan tidak didasari oleh cara berpikir yang benar.

Dulu, hijrah bermakna pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, yang di tempat semula mengalami tekanan, intimidasi, dan bahaya yang terus mengancam. Dalam kasus warga Makah di masa Rasulullah, umat Islam mengalami tekanan yang luar biasa padahal mereka sangat cinta dengan tanah airnya, tetapi apa boleh buat, solusi terbaiknya adalah hijrah. Dalam pengertian inilah seseorang dapat disebut hijrah, yakni berpindah dari satu tempat ke tempat yang baru atas dasar tekanan dan tidak memungkinkan untuk melangsungkan hidupnya di sana.

Hijrah dalam pengertian di atas artinya berpindah secara fisik, tetapi agaknya berbeda dengan istilah transmigrasi sebagaimana umum terjadi di Indonesia, yang terakhir ini lebih pada perpindahan dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang jarang, hijrah sendiri tidak akan terjadi tanpa ada tekanan dari dalam.

Seiring berjalannya waktu, makna hijrah mengalami perluasan makna, ini terjadi di Indonesia sekitar tahun 1980-an. Hijrah di tahun-tahun itu dimaknai berpindah dari perilaku buruk ke perilaku yang baik, artinya hijrah berarti pindah secara moralitas tingkah laku. Tetapi hijrah model ini tidak terlalu populer, sebab perilaku moral seseorang seringkali tidak dapat diprediksi, ia sifatnya cair, yang bila dikaitkan dengan toleransi agama, sikap hijrah ini kadang berbelok-belok.

Di tahun 2000-an hingga hari ini, makna hijrah telah sebegitu berubah seakan memiliki makna yang setara dengan orang yang baru saja berpindah agama. Tentu bila sekadar makna masih bisa diperdebatkan. Tetapi bila ia telah menjadi tren baru, maka akan membudaya dan menjadi warna baru bagi corak berkeislaman seseorang. Sebuah tren budaya boleh jadi akan mengambil bentuknya dari contoh yang diberikan oleh masa lalu, tetapi tren budaya juga bisa sama sekali baru dan bisa juga bertentangan dengan yang semestinya.

Baca Juga:

Saya Muslim, tapi Saya Enggan Tinggal Dekat Masjid dan Musala

3 Lagu Natal Paling Enak Versi Pendengar Muslim

Ini tidak berarti bahwa tren hijrah bertentangan dengan kaidah agama. Sebab, agama itu fleksibel dan dinamis, bila menyangkut urusan agama biasanya dikembalikan ke individu masing-masing. Orang tidak bisa saling menyalahkan hanya karena berbeda, tetapi seseorang tidaklah dibolehkan bila mengorbankan akidah hanya demi toleransi semata, begitupun sebaliknya.

Tren hijrah hari ini, menurut hemat saya, sudah melampaui makna yang sesungguhnya. Ia seperti gerakan baru dalam beragama yang menggiring para pelakunya untuk menjaga jarak dengan corak keberislaman yang umum selama ini. Saya tidak mau mengatakan bahwa umat Islam terpecah-pecah menjadi berbagai golongan, sebab orang-orang yang menjadi bagian dari arus tren hijrah ini seringkali tidak jelas latas golongannya.

Sebab, sekadar berislam saja tidaklah cukup, seorang umat perlu membingkai keyakinanannya dengan struktur keagamaan yang sudah terlanjur ada saat ini. Misalnya ada Sunni, Syi’ah, Ahmadiyah, Wahabi, dll, yang satu sama lain dalam hal-hal tertentu menegaskan berbeda. Meski umumnya tidak saling menyalahkan, tetapi saling menghargai sesuai dengan pemahaman keagamaan yang sampai kepadanya. Dan tentunya saja, perbedaan itu sudah menjadi bagian dari fitrah manusia yang perlu dijaga selama tidak ada gesekan-gesekan.

Sebagai gerakan baru, tren ini bisa disebut sebagai gerakan post-hijrah (isme). Sebab, ia sebetulnya mengambil bentuk baru yang tidak ditemukan contohnya di masa lalu. Istilah ‘isme’ yang sengaja saya pisahkan dalam tanda kurung, menjadi penanda bahwa mereka tidak betul-betul hijrah dalam pengertian yang umum dipahami. Akan tetapi lebih pada corak keagamaan model baru yang justru masing diperdebatkan oleh banyak kalangan, khususnya mengenai apakah cara berislam mereka dapat diverifikasi kebenarannya? Dalam arti, sesuai Alqurankah, haditskah, lalu bagaimana bila merujuk pada khazanah Islam dan keulamaan pada masa lalu? Pertanyaan-pertanyaan ini boleh jadi belum terjawab secara tuntas.

Hal yang bagi saya sangat mencolok dalam tren post-hijrah (isme) ini adalah seakan-akan orang yang berada di dalamnya mengalami fase perpindahan agama dan membabat habis masa lalunya yang seakan tidak Islami. Misalnya dari segi moral, juga pemahaman agamanya secara fundamental seperti akidah, atau soal berpakaian, memelihara jenggot, model celana agak pendek di atas mata kaki, bergamis, hijab longgar, dan tentu saja gaya hidup yang cenderung berubah. Padahal, hal-hal selain soal moral dan akidah hanyalah perkara budaya semata, yang seakan dipaksakan menjadi ‘Islami’.

Bagi saya, corak berislam seperti ini seperti membangun ideologi baru dalam agama yang sengaja mengaburkan persoalan antara yang sakral dan yang profan. Antara mana yang Islam dan yang bukan, dan boleh jadi yang belum hijrah dianggap tidak cukup Islami bila disebut sebagai umat Muslim. Tetapi akhirnya, tidak ada ruang bagi kita untuk saling menyalahkan dan menganggap diri kita yang paling benar, sebab agama merupakan hak prerogatif Tuhan dan Dia-lah yang berhak memutuskan mana yang benar dan yang salah.

BACA JUGA Betapa Sulitnya Bergaul Dengan Orang yang Baru Hijrah atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 17 Desember 2019 oleh

Tags: hijrahmuslimtren hijrah
Rohmatul Izad

Rohmatul Izad

Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo.

ArtikelTerkait

4 Hal yang Saya Nikmati Saat Natal sebagai Seorang Muslim Terminal Mojok

4 Hal yang Saya Nikmati Saat Natal sebagai Seorang Muslim

2 Desember 2022
Penyesalan Seorang Pembuat Konten Hijrah terhadap Aktivitas Hijrahnya terminal mojok.co

Penyesalan Seorang Pembuat Konten Hijrah terhadap Aktivitas Hijrahnya

27 Februari 2021
Pria yang Jadi Penjahat Kelamin dan Kekhawatiran pada Anak Perempuannya

Pria yang Jadi Penjahat Kelamin dan Kekhawatiran pada Anak Perempuannya

23 Maret 2020
tren hijrah

Tren Hijrah dan Betapa Mengerikannya Komodifikasi Agama

9 Agustus 2019
Bukan Ibadah Salat Saya yang Kecepetan, tapi Salat Anda yang Kelamaan mojok.co/terminal

Muslim Nggak Usah Sensi sama Tempat Ramai Hanya karena Masjid Sepi

20 Mei 2020
Saya Muslim, tapi Saya Enggan Tinggal Dekat Masjid dan Musala

Saya Muslim, tapi Saya Enggan Tinggal Dekat Masjid dan Musala

10 September 2025
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Kalau Mau Menua dengan Tenang Jangan Nekat ke Malang, Menetaplah di Pasuruan!

Kalau Mau Menua dengan Tenang Jangan Nekat ke Malang, Menetaplah di Pasuruan!

15 Desember 2025
3 Rekomendasi Brand Es Teh Terbaik yang Harus Kamu Coba! (Pixabay)

3 Rekomendasi Brand Es Teh Terbaik yang Harus Kamu Coba!

18 Desember 2025
Solo Gerus Mental, Sragen Memberi Ketenangan bagi Mahasiswa (Unsplash)

Pengalaman Saya Kuliah di Solo yang Bikin Bingung dan Menyiksa Mental “Anak Rantau” dari Sragen

13 Desember 2025
Isuzu Panther, Mobil Paling Kuat di Indonesia, Contoh Nyata Otot Kawang Tulang Vibranium

Isuzu Panther, Raja Diesel yang Masih Dicari Sampai Sekarang

19 Desember 2025
Suzuki S-Presso, Mobil "Aneh" yang Justru Jadi Pilihan Terbaik setelah Karimun Wagon R Hilang

Suzuki S-Presso, Mobil “Aneh” yang Justru Jadi Pilihan Terbaik setelah Karimun Wagon R Hilang

13 Desember 2025
3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

16 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”
  • Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah
  • Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia
  • Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka
  • Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran
  • UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.