Terletak di pantai utara Jawa membuat letak Tegal menjadi strategis. Walaupun sudah tersedia jalan tol, banyak kendaraan kecil maupun besar yang tetap lewat Tegal dengan dalih menghemat biaya tol. Hal ini membuat pengalaman berkendara di Tegal berbeda dengan kota lain.
Lahir dan besar di Jogja membuat saya sering membandingkan perbedaan berkendara di Jogja dan Tegal. Walaupun di Jogja sudah macet di mana-mana, pengendara masih tergolong selow. Sedangkan di Tegal, pengendara harus berbagi aspal dengan kendaraan besar seperti truk dan bus 3/4 yang senang berhenti seenak hati.
Sebagai seorang pendatang, saya mengalami beberapa culture shock saat berkendara di Tegal:
Daftar Isi
Di Tegal, lampu lalu lintasnya agak laen
Normalnya lampu hijau bergantian secara berurutan searah jarum jam. Namun di Tegal berbeda, jika dari sisi barat hijau, sisi timur juga hijau. Jika sisi utara hijau, sisi selatan juga hijau. Tentu saya yang belum terbiasa dengan lampu merah model seperti ini sempat shock dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi.
Bahkan saat pertama kali berkendara di perempatan Pacific Mall Tegal, saya sempat meneriaki goblok kendaraan yang berjalan dari sisi berlawanan. Saya tidak tahu kalau saya hijau ternyata di sisi yang berlawanan lampu lalu lintasnya juga hijau.
Menurut teman saya yang ahli transportasi, hal tersebut sangat lazim terjadi di dunia belahan lain. Hal ini diimplementasikan apabila arus lalu lintas dianggap tidak padat. Namun apakah hal ini cocok diterapkan di Tegal? Padahal di pantura banyak kendaraan besar yang melintas. Sehingga peluang terjadinya crash atau kecelakaan menjadi tinggi. Tampaknya peraturan ini perlu dievaluasi demi keamanan dan keselamatan saat berkendara.
Berbagi aspal dengan truk dan bus 3/4 di Pantura
Di Jogja saya sering menemui kendaraan besar di jalan lingkar atau ring road. Sedangkan di Tegal, baik truk ataupun bus lazim kita temukan di jalur pantura.
Saking banyaknya truk yang melintas, saya sekarang bisa membedakan bahwa truk terdiri dari beberapa jenis. Ada tronton, trailer, container, colt diesel hingga fuso yang dapat kita jumpai di pantura. Truk-truk tersebut membawa barang untuk didistribusikan ke tempat tujuan.
Belum lagi bus 3/4 atau elf jurusan Tegal-Pemalang yang sering berhenti menaikkan atau menurunkan penumpang dengan seenak hati. Bagi yang belum tahu, bus 3/4 adalah mini bus seperti bus jurusan Jogja-Tempel. Kehadiran bus 3/4 ini sangat membantu transportasi bagi para pelajar untuk menuntut ilmu..
Bau teh yang menyengat
Tegal memiliki beberapa pabrik teh yang terkemuka. Tercatat nama-nama besar seperti Tong Tji, Poci, 2 Tang, Gopek dan Dandang memiliki pabrik di Tegal. Banyak pabrik teh didirikan di kota ini dengan alasan untuk mendekati bahan baku. Dengan mendirikan pabrik teh mendekati bahan baku diharapkan transportasi bahan baku dari kebun ke pabrik menjadi minimal dan keuntungan menjadi maksimal. Deretan kebun teh dapat kita temukan dengan mudah di kaki Gunung Slamet, Bumijawa, Tegal.
Culture shock terakhir saya ketika berkendara di Tegal adalah bau teh yang menyengat ketika melewati pabrik teh. Hal ini termasuk culture shock yang menyenangkan karena bau teh yang terkadang bercampur dengan bau bunga melati ini sangat memanjakan indera penciuman.
Itulah culture shock saat berkendara di Tegal. Walaupun kaget, jangan sampai culture shock ini mempengaruhi fokus berkendara ya Gaes.
Penulis: Arief Nur Hidayat
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Misteri Desa Cawitali Bumijawa Tegal, Tempat Persinggahan Syekh Siti Jenar