Sepertinya bagi Tempo, tiada hari tanpa mengkritik kinerja pemerintah. Tempo tanpa satire yang pedas, layaknya sayur tanpa kuah. Kayak ada yang kurang gitu buat saya.
Nggak kehitung udah berapa wajah tokoh yang menjadi bahan kreativitas Tempo buat dibikin karikatur. Dicekal? Urusan belakangan. Toh, bukankah harusnya ada kebebasan dalam berekspresi?
Mungkin begitu Tempo menjual dirinya kepada publik. Di mana mereka terus menjaga konsistensinya untuk mengawal berbagai kebijakan dan terobosan pemerintah dengan kritik maupun pujian yang bernada sindiran. Ya, mumpung masih pakai sistem demokrasi, kan?
Konsistensi Tempo akhir-akhir ini ditunjukan salah satunya dengan memberikan tanggapan begitu pedas atas sebuah terobosan baru dari Presiden Jokowi yang mengangkat tujuh anggota staf khususnya yang berasal dari kalangan anak muda atau yang disebut-sebut sebagai kaum milenial.
Mereka squad U-40 dengan kompisisi antara lain Putri Indahsari Tanjung (pendiri Creativepreneur), Adamas Belva Devara (pendiri Ruangguru), Ayu Kartika Dewi (perumus gerakan SabangMerauke), Angkie Yudistia (Pendiri Thisable Enterprise yang tunarungu), Gracia Billy Mambrasar (pemuda Papua peraih beasiswa Oxford), Aminuddin Ma’ruf (mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Indonesia), dan Andri Taufan Garuda (CEO Amartha).
Dilansir dari akun media sosial Instagram milik Tempo, tanggapan tersebut diberi tajuk yang cukup suuzon yaitu “Staf Khusus Pura-pura Milenial”.
Oke, biar nggak terlalu mbulet dan panjang lebar saya rangkum aja ya komentar pedas dari Tempo tentang pengangkatan staf yang realtif muda oleh Pak Jokowi. Antara lain, langkah yang sia-sia, sekadar pencitraan belaka, staf-staf masih bau kencur, dan nggak urgent-urgent amat.
Beberapa kali membaca komentar tersebut, saya justru mempertanyakan, apa iya media kelas kakap kayak Tempo baper berat sama Pak Jokowi?
Pasalnya, sebagai orang yang mendapatkan wejangan dari orang tua kalau, “Tak ada yang sia-sia di dunia ini,” saya begitu heran pada Tempo yang katanya kritis malah membangun pesimisme publik. Dengan sadar, Tempo malah nyerobot pekerjaan dukun dengan main ramal-ramal soal masa depan kawula muda di kubu Jokowi yang “katanya” bakal sia-sia aja. Hal itu sama saja dengan Tempo menganggap bahwa kawula muda nggak akan punya andil dalam usaha negara dan bangsa untuk menjadi lebih baik.
Ya, sekarang aja Pak Jokowi peduli dan mengajak kaum milenial unjuk gigi secara langsung dibilang sia-sia. Jangan-jangan nanti kalau Pak Jokowi nggak mesra sama kaum milenial juga dikritik pedas. Saya mbayangin begitu dilemanya Pak Jokowi~
Lagian, siapa juga yang tahu kalau nantinya para kawula muda pilihan Presiden Jokowi tersebut malah sangat produktif saat diberi jabatan strategis di dalam naungannya?
Beranjak ke urusan pencitraan-pencitraan Presiden Milenial, sepertinya Tempo yang kali ini malah menekankan secara tidak langsung bahwa pencitraan itu nggak baik. Apalagi kalau dilakuin sama seorang presiden. Kalau tindakan presiden itu sebagai pencitraan, maka bagi saya seorang presiden berhak buat pencitraan di depan rakyatnya. Apalagi, Pak Jokowi adalah seorang presiden yang tingkah lakunya bakalan jadi panutan seluruh masyarakat Indonesia. Kalau pencitraan yang positif nggak dilakuin oleh seorang pemimpin, malah jadi aneh, kan?
Lagian Tempo malah yang aneh dan suuzan mulu. Siapa juga yang tahu niat Pak Jokowi itu mau pencitraan atau bukan. Lah, situnya aja bikin tanggapan pedas terhadap Presiden Jokowi juga biar bisa pencitraan sebagai media yang kritis, kan?
Selain itu, Tempo dengan nada sok-sokan bilang kalau para kawula muda yang diangkat staf tidak punya daya tekan seperti yang dimiliki elite partai politik. Lantas, sebegitu remehkan keberadaan milenial bagi kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia?
Sepanjang sepengetahuan saya yang cetek ini, seorang simbol negara memilih staf-stafnya itu buat membantu terselenggaranya urusan kepresidenan dengan baik. Mendukung segala keputusan dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya rencana ke depan yang telah dibuat oleh sang pemimpin.
Jadi, buat apa pakai ditekan-tekan segala? Apalagi kalau staf isinya elite politik semua. Ya, kita tahu sendiri elite politik malah sukanya bikin ribut dan skandal, ditambah lagi seneng banget saling serang. Saya khawatir bukannya jalan, malah nanti ambyar.
Nggak berhenti sampe di situ aja. Ngomongin Tempo buat urusan ini saya malah jadi geram. Apalagi Tempo pernah dengan entengnya ngomong, “Untuk sekadar meminta masukan, Jokowi bisa kapan saja memanggil para milenial itu tanpa perlu memberi jabatan.”
Ya, saya pun sebagai kaum milenial akan selalu sedia setiap saat kalau diminta presiden untuk berbagi pengalaman dan berdiskusi bagi kemajuan bangsa. Kalau Tempo cemburu dan menganggp nggak urgent ya udah deh. Tapi mbok pilihlah kata-kata yang nggak mengundang rasa antipati dan kekecewaan kepada pers itu sendiri dong.
Ya saya tahu sih Tempo bener-bener perhatian ke Pak Jokowi, tapi stop meremehkan milenial. Perlu diketahui, kaum milenial itu bukan hanya sebagai pelengkap dari kehidupan bernegara dan barang yang bisa ditarik ulur sesuka jidat. Namun, ia juga merupakan komponen penting dalam sebuah negara.
Ah, sudahlah. Saya nggak mau terus-terusan menyerang Tempo. Takut loh nanti semisal cuman dibilang “sia-sia” dan “pencitraan” belaka. Apalah daya, Tempo kan pers. Kebebasan berekspresi Tuhannya. Jadi jangan salahkan, jangan ributkan pula.
Cukup saya ingat kata-kata dari guru ngaji saya yang bilang kalau khilaf adalah sebuah keniscayaan bagi semua manusia. Demikian juga Tempo yang isinya juga manusia, tentu bisa khilaf. Toh, media pers juga boleh kok baper. Apalagi baper sama Pak Jokowi. Sudah pasti terfasilitasi dalam sistem demokrasi~
BACA JUGA Tafsir Sampul Jokowi dan Hidung Pinokio di Majalah Tempo Menurut Para Visual Artist atau tulisan Ravi Oktafian lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.