Trans Jogja menyapa jalanan Jogja pada 2008. Saat itu, ia berjalan berdampingan dengan bus kota konvensional. Seiring daya jelajah Trans Jogja yang semakin luas, pamor bus kota konvensional meredup.
Berbeda dengan bus kota konvensional, Trans Jogja tidak bisa berhenti di sembarang tempat. Sudah ada halte khusus yang disediakan.
Halte mereka dibedakan menjadi dua, yaitu halte permanen dan portable. Halte permanen dijaga oleh pegawai Trans sendiri, sementara yang portable tanpa penjaga.
Saya sendiri termasuk orang yang akrab dengan Trans Jogja. Saya sudah mengandalkan alat transportasi sejak masih sekolah. Sudah puluhan halte saya lewati. Dari beberapa halte tersebut terdapat beberapa halte yang membuat stres para penumpang.
Inilah dia.
#1 Halte taman parkir Ngabean
Terletak di bagian dalam taman parkir Ngabean membuat armada Trans Jogja dari arah utara dan selatan dapat singgah di halte ini. Halte ini merupakan titik transit yang cukup ramai. Ukuran halte yang kecil tidak sebanding dengan banyaknya calon penumpang pada saat liburan. Bahkan halte ini juga dilengkapi oleh parkiran kecil yang terletak di utara halte.
Saya mempunyai kesan yang tidak menyenangkan mengenai halte taman parkir Ngabean. Saya pernah menunggu armada Trans Jogja hingga satu jam lamanya dikarenakan Jogja macet akibat liburan. Perlu diketahui, Trans Jogja belum memiliki lajur khusus layaknya Trans Jakarta. Ini adalah PR bagi penyedia layanan agar bagaimana carany,a armada Trans Jogja dapat datang tepat waktu seperti tabel jadwal yang terpasang di dinding halte.
#2 Halte Candi Prambanan
Walaupun memiliki ukuran halte yang lebih besar dari halte taman parkir Ngabean, halte Candi Prambanan tetap bikin penumpangnya stres. Begitu turun, kita akan langsung ditawari naik becak, andong, dan ojek untuk menuju objek wisata Candi Prambanan. Padahal kan kami bukan pelancong. Lama-lama rasanya sebal juga.
Kalau dari sisi pelancong, letak halte ini juga kurang strategis. Letaknya itu terlalu jauh dari pintu masuk Candi Prambanan. Oleh sebab itu, pelancong harus menyambung dengan moda transportasi lain. Ongkos Trans Jogja sebesar 3.500 rupiah tidak sebanding dengan dengan ongkos becak yang mencapai 20.000 rupiah. Ribet banget.
Belum lagi jika kita ingin pulang ke kota menggunakan halte yang sama. Calon penumpang diwajibkan antre ke belakang satu per satu. Kalau ada calon penumpang yang berusaha menerobos antrian, tetap dibiarkan. Selain itu, armada Trans Jogja sering ngetem lama di halte ini dikarenakan driver beli minum atau ke toilet terlebih dahulu.
#3 Halte Malioboro 1
Terdapat tiga halte Trans Jogja di Jalan Malioboro. Halte Malioboro 1 terletak di ujung utara, halte 2 di depan Kantor Kepatihan, dan halte 3 di depan Benteng Vredeburg, Nah, Halte Malioboro 1 inilah yang paling ramai penumpang baik yang naik maupun turun.
Idealnya, penumpang yang turun dipersilahkan terlebih dahulu sebelum penumpang yang naik. Namun, ada saja penumpang yang buru-buru naik memperebutkan tempat duduk. Penumpang seperti inilah yang membuat stres penumpang lainnya.
Itulah tiga halte yang selalu membuat stres penumpangnya. Slogan “Ayo Naik Bus” yang tertera di bodi Trans Jogja harus dibarengi dengan perbaikan fasilitas halte dan juga ketepatan jadwal kedatangan bus.
Penulis: Arief Nur Hidayat
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kapok Naik Trans Jogja Setelah Satu Kali Mencobanya