Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus Loker

Quiet Quitting: Seni Bekerja Seperlunya dengan Istilah yang Lebih Ribet Aja

Seto Wicaksono oleh Seto Wicaksono
3 September 2022
A A
Quiet Quitting: Seni Bekerja Seperlunya dengan Istilah yang Lebih Ribet Aja

Quiet Quitting: Seni Bekerja Seperlunya dengan Istilah yang Lebih Ribet Aja (Unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Pada heboh quiet quitting ngapain, sih?

Istilah baru di dunia kerja saat ini semakin banyak dan ruwet. Beberapa waktu misalnya, kita semua sempat dibuat keheranan dengan istilah hustle culture. Nggak semua orang langsung memahami istilah ribet tersebut. Ada yang mesti baca beberapa artikel dulu, ada yang harus mendengar celotehan seseorang yang dianggap pakar di podcast, ada juga yang harus mengecek penjelasan secara visual melalui YouTube.

Padahal secara sederhana, hustle culture adalah bekerja tanpa henti, tanpa kenal lelah, dan nggak sedikit juga yang sampai mengorbankan banyak waktu istirahat. Nggak bisa dimungkiri, jika dilihat dari sudut pandang lain, sebagian pekerja bisa mencapai apa yang ia inginkan dalam ruang lingkup pekerjaan melalui hustle culture ini. Misalnya saja insentif atau bonus hingga posisi atau jabatan yang lebih baik.

Pada masanya, mungkin juga sampai dengan saat ini, sebagian kalangan tergolong overused dalam menggunakan istilah hustle culture. Beberapa kali lembur karena memang sedang ada target yang harus dicapai, langsung mengeluh hustle culture. Kerjaan lagi menumpuk, dibilangnya hustle culture. Ditegur oleh atasan karena laporan yang belum tuntas, langsung memberi label hustle culture.

Belum tuntas bahasan soal ruwetnya hustle culture, baru-baru ini malah muncul lagi istilah baru di dunia kerja yang nggak kalah bikin mumet: quiet quitting. Konon, quiet quitting merupakan counter atau setidaknya bentuk perlawanan untuk istilah hustle culture. Sederhananya, konsep quiet quitting adalah bekerja seadanya, seperlunya, dan hanya mau bekerja sesuai deskripsi pekerjaan. Juga, ogah jika diminta lembur.

Jujur saja, saat kali pertama mengetahui istilah tersebut, saya sempat mbatin, “Akal-akalan pekerja mana dan istilah apa lagi ini?”

Wajar saja saya berpikir demikian. Lha, wong konsep quiet quitting sama seperti konsep ruwet lainnya, nggak bisa dipukul rata untuk semua posisi dan bidang pekerjaan. Ini yang harus dipahami oleh para pekerja biar nggak gampang menggeneralisir suatu tren di dunia kerja.

Gimana, ya? Para pekerja, termasuk saya, pada dasarnya digaji oleh perusahaan dengan segala benefit yang sudah kita sepakati. Selama hak masih diberikan sebagaimana mestinya, bisa dipertanggungjawabkan, dan nggak ada aturan yang dilanggar, menjadi wajar jika ada tugas tertentu yang diberikan, target mepet, atau sesekali lembur, kan?

Baca Juga:

5 Hal yang Mungkin Terjadi Andai Saya Jadi Karyawan MR DIY

Loker Management Trainee Membuat Orang Biasa Susah Masuk Perusahaan Impian: Nggak Semua Orang Ingin Jadi Manajer!

Pada titik tertentu, istilah quiet quitting juga berpotensi overused di kalangan pekerja. Dikit-dikit dikaitkan dengan istilah quiet quitting seperti yang sudah-sudah. Jika nggak disikapi dengan bijak, tren ini bisa membawa petaka bagi diri sendiri. Alih-alih kemampuan, peluang karier, atau benefit bertambah, ealah malah stagnan.

Begini. Jika sedang berada di situasi tersebut, saran saya, coba luangkan waktu barang sejenak. Pikirkan kembali, sampeyan ini memang lagi malas bekerja saja, sedang bosan mengerjakan hal itu-itu saja di kantor, atau mau resign tapi belum dapat kesempatan untuk pindah ke kantor lain, lantas menggunakan istilah quite quitting sebagai dalih untuk bekerja seadanya?

Sebagai karyawan, saya cukup memahami keresahan serupa. Namun, saya nggak serta merta menjadikan istilah atau tren quite quitting sebagai alasan. Sebab, sebagai karyawan saya sudah cukup paham bahwa segala hiruk-pikuk di dunia kerja itu ada masanya. Dalam hal ini, perusahaan juga mesti peka untuk melakukan refreshment kepada para karyawannya. Misalnya dengan melakukan outing atau kegiatan menyenangkan lainnya, rotasi posisi, promosi jabatan, atau pemberian tugas baru untuk dapat mengobati kebosanan dalam bekerja.

Di sisi karyawan, misalnya sudah mentok, dibanding terus menerus menjadikan istilah quite quitting sebagai tameng, jika memang sudah bosan bekerja di suatu perusahaan dan pengin tantangan baru atau peningkatan benefit, ya lebih baik mulai kirim CV ke banyak perusahaan. Kalau sampeyan mbatin, “Tapi kan nggak segampang itu, Bos!” setelah membaca pernyataan tersebut, saya cuma pengin mengingatkan saja, itu memang salah satu dinamika yang harus dihadapi dalam proses menemukan kantor yang sesuai harapan, Bos.

Cepat atau lambat kita semua akan berhadapan dengan hal tersebut di jalur masing-masing. Sepakat atau nggak, suka atau nggak, ya memang begitu realitasnya.

Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Terima Kenyataan bahwa Work-Life Balance Memang Bukan untuk Semua Pekerja.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

Terakhir diperbarui pada 3 September 2022 oleh

Tags: bekerjahustle cultureKaryawanperusahaanquiet quitting
Seto Wicaksono

Seto Wicaksono

Kelahiran 20 Juli. Fans Liverpool FC. Lulusan Psikologi Universitas Gunadarma. Seorang Suami, Ayah, dan Recruiter di suatu perusahaan.

ArtikelTerkait

5 Tipe Respons Bos saat Dipamiti Karyawannya untuk Mengikuti Seleksi CPNS TERMINAL mojok.co

5 Tipe Respons Bos saat Dipamiti Karyawannya untuk Mengikuti Seleksi CPNS

28 Februari 2021
3 Culture Shock yang Saya Rasakan Saat Beralih Kerja Remote dari Kerja Kantoran, Nyatanya Nggak Seindah Konten TikTok

3 Culture Shock yang Saya Rasakan Saat Beralih Kerja Remote dari Kerja Kantoran, Nyatanya Nggak Seindah Konten TikTok

8 Oktober 2025
4 Contoh Pertanyaan Cerdas yang HRD Tidak Ingin Kamu Tanyakan Balik Saat Interview Kerja

4 Contoh Pertanyaan Cerdas yang HRD Tidak Ingin Kamu Tanyakan Balik Saat Interview Kerja

9 Januari 2024
5 Alasan Orang Jepang Betah Kerja di Indonesia Terminal Mojok

5 Alasan Orang Jepang Betah Kerja di Indonesia

22 Desember 2022
Kerja Berharap Reward? Jangan Jadi PNS! Shutterstock

Kerja Berharap Reward? Jangan Jadi PNS!

24 April 2022
Perusahaan Shuttle Kendaraan Asal Bandung Culas, Rekrut Karyawan dengan Kedok Internship Supaya Murah Mojok.co

Perusahaan Shuttle Kendaraan Asal Bandung Culas, Rekrut Karyawan dengan Kedok Internship Supaya Murah

17 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025
5 Hal yang Jarang Diketahui Orang Dibalik Kota Bandung yang Katanya Romantis Mojok.co

5 Hal yang Jarang Diketahui Orang di Balik Kota Bandung yang Katanya Romantis 

1 Desember 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

3 Desember 2025
Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.