Kenapa ya praktik dokter tutup Sabtu-Minggu dan (nyaris) selalu ngaret?
“Sudah jam lima lho ini, kok Bu Dokter belum datang, ya. Antriane panjang pol-polan meneh, bisa sampai malam ini, Le,” tutur ibu saya di salah satu tempat dokter praktik di Wonosari tempo hari. Kami sudah menunggu sejak pukul 16.00, tetapi dokter langganan ibu saya itu tak jua datang.
Ibu saya punya penyakit radang amandel. Hal ini yang kadang membuatnya rentan mengalami demam tinggi. Beberapa bulan sekali, saya kerap membawanya ke salah satu dokter praktik pilihan ibu. Tidak hanya ibu saja, tetapi bapak, adik, Pak Lik, dan Budhe, jika tubuhnya gembreges langsung dibawa ke dokter praktik yang ada di sekitaran Kota Wonosari tersebut.
Saya yakin masyarakat Indonesia pasti juga memiliki dokter kesayangannya masing-masing. Mirip seperti memilih warung mi ayam lah, ya. Meski banyak pilihan, pasti yang dikunjungi itu-itu saja. Yah, namanya sudah kadung tresna dan saling percaya, selalu menjadi perkara rumit yang susah dijelaskan kata-kata.
Biasanya, dokter pilihan keluarga saya ini buka setiap hari Senin sampai Jumat pada pukul 16.00-20.00 WIB. Artinya, Sabtu dan Minggu mereka libur. Saya kira, kebanyakan dokter praktik di Indonesia juga begitu, buka hari Senin sampai Jumat dan selalu datang terlambat. Lah.
By the way, kenapa sih praktik dokter tuh cuma buka hari Senin sampai Jumat saja? Lalu, apa sebenarnya yang para dokter lalukan sebelum buka praktik sehingga sering ngaret? Kuy, cari tahu jawabannya~
Kenapa praktik dokter hanya buka Senin-Jumat saja?
Persoalan sudah kadung tresna sama dokter ini memang cukup pelik. Pernah ibu saya merasakan demam tinggi dan harus segara dibawa ke dokter kesayangan, tetapi kebetulan saat itu hari Minggu, artinya libur. Karena cukup panik, saya membujuk ibu untuk mencari dokter lain, tetapi ibu saya menolak dan lebih memilih menunggu Senin.
Tak sabar menunggu, akhirnya saya berinisiatif membeli obat di apotek. Benar saja, obat tersebut nggak mampu mengatasi rasa gembreges yang dialami ibu. Akhirnya, mau nggak mau harus menunggu hari Senin dan membawanya ke dokter kesayangan. Aneh bin ajaib, beberapa hari setelah berobat ke sana, kondisinya segera pulih dan bugar kembali.
Saya tidak ingin terlalu jauh membahas keajaiban tersebut, saya hanya penasaran, kenapa sih kalau Sabtu dan Minggu praktik dokter (pasti) libur? Padahal, sakit kan nggak bisa diprediksi, ya, bisa menyerang kapan saja, tak terkecuali pas weekend. Bukannya seorang dokter sudah semestinya mengorbankan kepentingan pribadinya demi kesembuhan pasien?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa waktu lalu, saya mencoba menghubungi salah seorang dokter perempuan, Putri (bukan nama sebenarnya). Dokter spesialis penyakit dalam yang berusia 40 tahun ini membuka praktik di salah satu wilayah di Yogyakarta.
“Kenapa hari Sabtu sama Minggu tutup, ya, kerena dokter juga punya kehidupan pribadi dan butuh istirahat. Ya kali dokter nggak boleh libur, kami juga manusia, hehehe,” tutur perempuan yang telah dikaruniai satu orang anak tersebut.
Dokter Putri menambahkan, setiap Sabtu dan Minggu, biasanya ia gunakan untuk quality time bersama keluarga. Sebagai dokter yang merangkap ibu rumah tangga, ia juga punya tanggung jawab untuk mengurus anak dan suami. Di sisi lain, ia sadar betul bahwa tidak sedikit pasien langganannya yang kadang kecelik ketika klinik miliknya tutup, mengingat sakit itu nggak bisa diprediksi.
“Kasian kadang kalau ada pasien kecelik pas aku lagi libur. Tapi, kami (para dokter) juga harus menjaga kesehatan diri sendiri demi kesehatan pasiennya. Dalam dunia dokter, ada istilah ‘first do no harm’ atau lebih baik melindungi diri sendiri lebih dulu sebelum nolong orang lain. Dengan istirahat yang cukup, justru malah bisa mengurangi human error, kok,” imbuh Putri.
Mengingat profesinya menyangkut masalah kemanusiaan, Putri mengaku pernah mendapat kritikan pada waktu libur praktik. Bahkan, ia pernah dianggap bukan dokter yang baik karena tidak bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya. Padahal, sebagai manusia biasa, ia juga butuh istirahat dan libur untuk menghindari human eror ketika menangani pasien.
Kenapa praktik dokter suka ngaret?
Sementara itu, salah satu yang juga jadi pertanyaan banyak pasien ketika periksa ke praktik dokter adalah kebiasaan dokter yang nyaris selalu datang telat atau ngaret. Saya sendiri sering banget mengalami kejadian ini. Bahkan, saya harus menunggu bersama pasien lainnya selama satu hingga dua jam lebih. Padahal, saat itu, tidak sedikit pasien yang harus segera mendapatkan penanganan.
Kita tahu bahwa praktik dokter di luar rumah sakit biasanya hanya buka sekitar 4-5 jam per hari. Artinya, jika sang dokter ngaret, durasi waktu untuk menangani pasien juga semakin pendek. Hal ini yang kemudian membuat antre panjang dan menunggu lama, padahal waktu periksa hanya beberapa menit saja. Bukankah ini cukup merugikan pasien dan membuat pelayanan dokter menjadi kurang maksimal?
Sebelum saya melemparkan pertanyaan ini ke Dokter Putri, ia sudah lebih dulu menjelaskan terkait dokter yang suka datang tidak tepat waktu. Bahkan, ia sangat sering mendapatkan pertanyaan ini, baik dari tetangga maupun para pasien. Lalu, apa sebenarnya yang dilakukan para dokter sebelum memulai praktiknya sehingga sering ngaret?
“Kami, para dokter sudah bekerja sejak pagi. Biasanya, kami dapet jatah praktik maksimal di tiga tempat dengan durasi waktu 8 jam per hari. Belum lagi para dokter spesialis bedah itu, aku yakin mereka lebih sibuk karena punyai jadwal yang nggak nentu dan kadang ada jadwal emergency. Jadi, itu yang kadang menyebabkan kami kadang telat buka praktik,” jelasnya.
Saya cukup yakin alasan tersebut tidak langsung diterima begitu saja oleh para pasien yang kerap menunggu dokter terlalu lama. Sebab, alasan yang disampaikan sebagian besar dokter sudah menjadi konsekuensi dari pekerjaannya. Sejatinya, pasien yang datang hanya butuh segera ditangani agar cepat sembuh dari penyakitnya dan bisa hidup sehat kembali.
Terlepas dari itu, sesungguhnya kebiasaan ngaret tidak hanya dilakukan oleh dokter saja. Bahkan, perilaku tidak tepat waktu di Indonesia ini konon sudah ada sejak dalam kandungan. Mulai dari mahasiswa, dosen, wakil rakyat, editor media online, pegiat jathilan hingga pejabat, semua pernah menjadi pelaku sekaligus korban dari kebiasaan ngaret.
Jadi, gimana menurut pendapat kalian, mau memaklumi atau menolak mentah-mentah alasan para dokter ini? Ya, apa pun itu, mari ikut lomba tujuh belasan biar badan tetap sehat dan tidak terserang penyakit ungkris-ungkrisen. Salam sehat!
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gelap Masa Depan Dokter Praktik Setelah Bayar Uang Gedung Ratusan Juta