Kadang orang mengeluhkan pendeknya ingatan masyarakat tentang kesalahan para koruptor atau politisi jahat. Baru beberapa waktu seseorang dihujat, kini dia sudah dipuja-puja lagi di televisi atau kembali terpiih menjadi anggota dewan.
Sebenarnya, itu hal yang wajar belaka. Daya ingat manusia memang terbatas. Kalau pernah menonton film kartun “Inside Out” Anda mungkin sudah punya gambaran bagaimana otak secara berkala membuang hal-hal yang sudah tidak penting atau tidak memiliki kegunaan praktis sekadar agar ada ruang bagi memori-memori baru.
Betapa pun menakjubkan organ bernama otak, ia tetap punya keterbatasan, Ia tak mampu menyimpan segala hal yang ada, semua yang tertangkap indera, seluruh yang terjadi pada kita. Kapasitas otak terbatas. Seperti hard disk atau memory komputer.
Di sinilah tulisan berperan penting. Ia membantu menjadi media penyimpanan informasi di luar otak. Setelah ada tulisan, akuntan tak perlu menghapal semua aliran uang keluar masuk. Ia cuma perlu ingat di mana ia mencatatnya. Ini secara berlipat-lipat meningkatkan volume data yang dapat ia kelola. Setelah ada buku, Anda tak perlu mengingat semua detail sejarah Indonesia. Anda hanya perlu mengingat hal-hal inti, kata kunci atau tanggal penting yang bisa membantu Anda untuk mencari kembali informasi yang diperlukan sewaktu-waktu.
Berkat tulisan, manusia bisa membangun struktur-struktur masyarakat rumit seperti negara. Birokrasi tak mungkin ada tanpa tulisan. Konsep kompleks macam demokrasi hanya bisa dibangun utuh setelah ada tulisan. Demokrasi tak terbangun secara naluriah meski ada bagian-bagiannya yang bersifat instingtif.
Selagi membaca prolog buku “Collapse” karya Jared Diamond, saya diingatkan kembali akan pentingnya penemuan aksara dan aktivitas membaca itu sendiri. Kata Jared, sebelum ada aksara, masyarakat masa lampau pra aksara kesulitan bertahan menghadapi perubahan iklim karena fluktuasi perubahan itu kerap terjadi dalam hitungan dasawarsa atau lebih.
Karena rentang waktu yang panjang ini, ingatan masyarakat lisan tak banyak membantu. Misalnya ketika ada perubahan dari iklim kering yang sulit pangan ke iklim basah yang lebih subur lalu ke iklim kering lagi, manusia yang belum kenal aksara menghadapi risiko bencana lebih tinggi. Mereka hanya bisa mengandalkan memori otak yang terbatas. Kemungkinan besar mereka sudah terlena dengan iklim basah yang produktif, lupa dan tak belajar menghadapi iklim kering yang membuat makanan sulit didapat yang sebenarnya pernah mereka alami di awal hidup mereka.
Inilah contoh betapa tanpa tulisan, bertumpu pada memori semata bisa berakibat fatal. Ketiadaan tulisan juga menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan suku Inca dari pasukan Spanyol sebagaimana diulas Jared Diamond di bukunya yg lain “Guns, Germs, and Steel.”
Saya lalu teringat bangsa saya tercinta. Bangsa yang walaupun tingkat melek aksaranya tinggi tetapi tingkat literasinya termasuk rendah. Memang benar kini sudah ada banyak buku dan tulisan. Topiknya pun beragam. Ada sejarah, sastra, kajian lingkungan, kajian psikologi, ekonomi, sains, teknologi. Macam-macam. Sangat membantu otak pokoknya.
Namun kalau buku-buku itu dibiarkan teronggok saja dan tidak dibaca, ya tidak heran mantan koruptor bisa terpilih lagi menjadi anggota dewan. Tak aneh banyak yang masih mengelu-elukan orde baru. Pantas gerakan lingkungan ya gitu-gitu saja, sekadar slogan-slogan kosong yang tak menyentuh inti permasalahan. Kalau kita masih malas membaca, apa iya nasib kita akan jauh berbeda dengan nenek moyang di masa pra-aksara?
BACA JUGA Buzzer: Niatnya Ngejebak Tapi Malah Kebongkar atau tulisan Rika Iffati Farihah lainnya. Follow Facebook Rika Iffati Farihah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.